Tampilkan postingan dengan label life. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label life. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Desember 2016

Ironi Cinta Pertama.

Dewata, begitu orang menyebutnya. Entah mengapa nama itu terdengar magis dan indah pada saat yang bersamaan. Seakan jika ada seseorang yang menginjakkan kakinya di tempat itu, ia akan menemukan berbagai hal yang belum pernah ia temukan back at home. Seperti namanya, tempat itu ialah tempat dimana para dewa bersamayam dan memberikan keindahan tiada dua bagi semua rakyatnya. Orang bilang sih, nirwana dunia. Dan memang benar begitu adanya, karena lelaki itu pun merasakan hal yang sama dengan tempat magis ini.

Ketika untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat ini, lelaki itu selalu berandai-andai jika kelak tempat ini akan menjadi tempat pertemuannya dengan sosok wanita lain nun jauh di sana, dimana ia akan menemukan sosok yang jauh berbeda dengan wanitanya yang dulu, dimana ia akan melarikan diri dari sebuah fakta bahwa hati itu masih terus bergeming di tempat yang sama.

Statis. Diam. Menyedihkan.

Lelaki itu meringis jika ia mengingat hari-hari awalnya di tempat ini. Bagaimana pemikiran-pemikiran seorang penyendiri itu mengapung bebas di lautan pemikiran tak berujung tanpa makna. Dulu ia kerap berpikir tentang begitu banyak hal; tentang kisah cinta kedua orang tuanya yang kini menjadi rumah untuk dirinya kembali, tentang kehilangan yang membuat sosok kecil dalam dirinya mendewasa beberapa tahun lebih cepat, tentang keluarga yang selalu membawa perasaan hangat dalam dada, tentang kawan lama yang begitu cepat berjalan meninggalkan relung hati itu. Anything. Anything that comes across that busy bubble of his mind.

Namun lalu hari-hari monokrom penuh kesendirian dan pemikiran itu mulai terganti dengan warna-warna sederhana yang membuat hidupnya senada lebih bermakna. Pergi dari rumah tidak lantas membuat seseorang kehilangan makna rumah itu sendiri, begitu katanya setiap ia mengingatkan hati miliknya yang mulai merindu. Dan benar saja, mereka yang membuat hari-harinya lebih berwarna serta merta membuat senyum itu lebih sering berkembang, mata itu lebih sering menyala, dan tawa itu lebih sering terdengar. Setidaknya untuk sesaat ia merasa penuh.

Tapi orang-orang itu tidak lantas bisa mengusir pergi pemikiran-pemikiran miliknya. Lelaki itu kerap pergi menyendiri ke pantai manapun yang bisa ia datangi sendiri. Merokok berbatang-batang hingga ia lupa sudah berapa kali ia menghembuskan kepulan tipis asap rokok di bawah langit sore Bali. Menulis beratus-ratus kata dalam jurnal miliknya mengenai berbagai pemikiran yang tak pernah sampai hati ia bagi kepada siapapun. Mendengarkan lagu dari playlist yang ia buat secara acak agar ia bisa merasa dikejutkan dengan lagu-lagu tak terduga itu. Mengingat-ingat kembali sosok cinta pertamanya.

Ah, cinta pertama ya.

Rabu, 16 April 2014

Celotehan Lewat Tengah Malam.

It's been a long while, hasn't it? Apa kabarmu, sayangku? Baik-baik saja bukan? Well, setidaknya kuharap begitu.

Bicara tentang baik-baik saja, akupun baik-baik saja di sini. Itupun jika dirimu ingin tau kabarku. Entahlah, terkadang hati ini masih tetap saja berharap tentang eksistensi dirimu yang dulu di hati ini. Kemana kamu yang dulu? Sudah pergi kah? Atau telah berubah? Aku rasa berubah adalah jawaban yang paling tepat. Everythings change, begitu orang-orang selalu mengatakan. Namun terkadang pikiran ini selalu membatah dan mempertanyakan, mengapa tidak bisa tinggal dan tetap seperti ini? Mengapa harus berubah jika dapat tetap seperti ini?

Suatu hari seseorang mengatakan padaku, kamu pun sendiri berubah, Tata. Kenapa tidak pernah mempertanyakan itu pada diri sendiri? Lalu, aku terdiam. Benarkah kamu telah berubah? Ataukah hanya perspektif ini saja yang berubah letak pandang? Mungkin, kita memang berubah. Mungkin, akupun lelah. Dan memang benar, setelahnya, setelah kuhabiskan waktuku merenung, aku pun tersadar bahwa diriku telah berubah. Karena aku bukanlah seutuhnya diriku tahun lalu.

"Setiap orang mendewasa, anakku." Begitu kata bunda. "Dengan usiamu yang seperti ini, juga dengan label 'seorang yatim' yang harus kau pikul setiap hari pun, kamu telah menjalani masa pendewasaanmu dengan itu. Tidakkah kamu sadar? Banyak orang yang datang lalu pergi di hidupmu. Seperti halnya sebuah lapangan parkir, kamu tidak bisa mengkehendaki mobil siapa yang harus tinggal selamanya. Sang pemilik mobil dapat mengambil mobil itu kapan saja, dan kamu tidak dapat menahan mobil itu untuk pergi. Seperti itulah perumpamaan hidup ini. Tuhan sebagai sang pemilik mobil, dan kamu sebagai pemilik lahan parkir. Mungkin banyak dari mobil itu yang kamu sayangi yang tak ingin kamu lepaskan, tapi mobil-mobil itu bukanlah milikmu dan kamu tak berhak untuk menahan mobil itu untuk pergi. Seperti itulah, kamu juga orang-orang yang pergi dari hidupmu. Tuhan telah mengkehendaki mereka tuk pergi. Dan kamu tidak memiliki hak untuk menghentikannya karena mereka bukanlah milik kamu. Jadi, jika orang-orang itu pergi, biarkanlah mereka pergi. Setidaknya, kenangan tentang mereka akan tetap tinggal selamanya dalam dirimu. Bunda berjanji, orang-orang yang pantas akan tetap tinggal. Kamu hanya harus menunggu waktu yang tepat untuk mobil-mobil itu dilupakan pemiliknya dan dititipkan padamu untuk waktu yang cukup lama."

Minggu, 10 November 2013

Present, Future, and Happily Ever After.

As a very dreamy girl, aku selalu menginginkan konsep cinta sejati dalam hidup ini. Sebut aku ini klise, karena memang beginilah diriku adanya. Sejak kecil, aku selalu membayangkan menikahi seorang pria yang kucintai dan akan tetap kucintai hingga akhir hayatku. I dream walking down the aisle with him there waiting for me on the altar. Aku membayangkan hidup di kota besar metropolis seperti New York, tinggal di sebuah apartemen mewah bersama suami dan sepasang anak kembar, memiliki pekerjaan sebagai columnist untuk majalah The New Yorker, dan hidup bahagia selamanya. Terdengar klise bukan? Mungkin memang kehidupan idamanku itu terdengar klise, namun aku sendiri tidak dapat memungkiri betapa sempurnanya kehidupan ini jika aku memiliki hidup seperti apa yang sejak dulu kudambakan.

Faktanya, sejak aku kecil, aku sendiri selalu mengira-ngira siapa laki-laki yang akan menjadi suamiku, jodohku, ayah dari anak-anak yang kumiliki kelak. Apakah ia adalah seorang teman lama? Apakah ia adalah lelaki yang kutabrak saat dijalan? Apakah ia adalah seseorang yang akan menjadi partner kerjaku kelak? Ataukah ia adalah teman dekatku sendiri? Faktanya, aku tidak akan pernah tau. Dan itulah hal yang selalu membuatku penasaran.

Dulu, whenever I had a crush on someone, aku akan membayangkan hidupku dengan skenario dimana aku akan menikahi mereka, memiliki anak-anak yang lucu, hidup bahagia layaknya fairy tales. Namun seraya aku bertambah usia, aku mengerti bahwa kehidupan ini bukanlah fairy tales, yang mana aku dapat hidup bahagia selamanya seperti dongeng-dongen sebelum tidur yang sering kudengar dulu. Jadi, saat aku mulai menyadari fakta itu, aku mulai berhenti berharap. Aku mulai berhenti mengharapkan sebuah kehidupan layaknya dongeng-dongeng penghantar tidur. Aku mulai berhenti mengharapkan sebuah sebuah konsep ‘and they happily ever after’ dalam hidupku.

Namun disanalah ia berdiri.

Di tengah kerumunan orang banyak dengan wajah yang dapat dengan mudah aku kenali diantara wajah-wajah asing itu, ia menonton pertunjukkanku malam itu dari kejauhan. As if he transferred his energy to me, I got my whole self esteem back and I smiled and that was enough. Pagi itu, aku berharap ia dapat datang namun ia memiliki keperluan lebih mendesak yang tak dapat ia lewatkan. Jadi aku mengerti. Namun malam itu, ia ada di tengah kerumunan orang banyak, dengan wajah lelah itu seakan mengatakan ia ingin aku lebih bersemangat.

Maybe a lot of you don’t know who the hell I’m talking about, yang mana tak akan kusebutkan siapa orangnya pula. Namun tepat pada saat itu, aku mulai bisa merasakan harapan yang lebih. Aku dapat merasakan kehidupan layaknya fairy tales saat aku melihat ke dalam mata cokelatnya itu. I know this is such a rush to talk about future, but hell, I see my future in him.

Aku tau, walau pada akhirnya aku akan menyesali apa yang kutulis saat ini, yang mana aku tidak akan berakhir menikahinya seperti yang aku inginkan, aku akan tetap menyayanginya, at least for this present time. Aku tidak peduli dengan siapa ia akan berkencan nantinya. Aku tidak peduli dengan siapa ia akan jatuh cinta untuk waktu dekat. Yang aku peduli hanyalah bagaimana aku ingin menjadi yang terakhir untuk dirinya, menjadi sosok yang akan mengakhiri perjalanan cintanya, menjadi sosok terakhir yang akan ia sayangi untuk selamanya.

I know forever is a long time.