Kalau saja hari itu aku tidak menabrakmu ditengah derasnya hujan di pertengahan bulan Desember, aku yakin takdir tidak akan pernah membawa kita sejauh ini. Kita hanyalah manusia biasa saat itu, yang tidak pernah menyangka takdir akan sejauh ini membawa kita. Sepeninggal ayah beberapa tahun silam, aku telah menutup rapat-rapat pintu hati ini, membuang kuncinya jauh-jauh, berlari sekencangku, tidak membiarkan siapapun mengetuk untuk masuk. Namun kamu, entah bagaimana caramu memasuki pintu itu, kamu berhasil menembus pintu itu. Bagaikan takdir, kamu sepertinya sudah memiliki kunci cadangannya. Dan secepat hujan yang mereda, secepat itulah kau memasuki pintu itu.
Kamu baik. Secara general, baik memiliki banyak arti. Aku tidak akan menambahkan kata sekali karena itu hanya akan menjadi penilaian secara subjektif dari perspektifku saja. Sebagai sesama pecinta hujan, fotografi, serta kopi, aku masih akan tetap menilaimu secara general saja, universal tanpa membeda bedakan. Namun dengan kecerdasanmu berbicara serta berargumen saat kita membicarakan tentang kopi beraroma terbaik di dunia, aku sedikit banyak mulai terpikat, memberi sedikit saja nilai plus untukmu.
Sepeninggal ayah beberapa tahun silam, berkali kali aku selalu mengatakan pada diri sendiri untuk berhati-hati. Tidak boleh jatuh terlalu dalam. Tidak boleh menyayangi terlalu berlebih. Karena apa? Karena di penghujung hari, saat kelak mereka meninggalkanmu, mereka pun akan meninggalkan jejaknya. Baik yang berkesan maupun luka. Namun kebanyakan, saat seseorang pergi, yang mereka tinggalkan hanyalah luka. Dan seperti itu pula, aku membentengi diriku untuk tidak jatuh kepada sosokmu. Barangkali kamu tidak akan menangkapku saat jatuh, aku tidak perlu merasa lebih sakit dari yang sudah kurasakan.
Namun seperti yang kukatakan tadi, bagaikan takdir yang telah menggarisi semua jalan kita, kamu selalu saja memiliki cara agar aku tidak membentengi diriku lagi di depanmu. Dengan kepiawaianmu memikat semua hati anak kecil, sulit bagiku untuk tidak menyayangi sosokmu. Apalagi, jika hati anak kecil yang kamu pikat adalah anak-anak penderita kanker yang rutin kudatangi setiap minggunya karena aku relawan di sebuah rumah sakit anak kenamaan di bilangan Jakarta. Aku ingat percakapan kita pagi itu, saat kita tengah berkendara ditengah kelengangan jalanan kota Jakarta yang biasanya begitu padat,
"Aku punya empat adik perempuan, Na. Karena ayah sama ibu cerai pas aku umur 15, jadi mau gak mau aku harus siap gantiin ayah buat adik-adikku. Pas itu ibu lagi hamil tua, lagi ngandung dua adik kembarku yang waktu itu aku ceritain. Jadi, jangan heran yaa kalo di rumah sakit semua anak kecil pada mau deket deket sama aku."
Lalu kamu tertawa kecil, memamerkan sebuah senyum bangga karena bisa begitu saja menaklukan hati anak kecil. Dan benar saja, baru saja sampai, anak anak kecil yang sudah menjadi teman temanku itu segera mengerubungi kamu. Mulai dari, "Wahh Ka Ina bawa teman baru yaaa?" sampai ucapan, "Pacarnya Mba Ina ganteng yaaa" datang membanjiri kamu secara bertubi-tubi. Saat itu, yang aku lihat hanya senyum bahagia, walau aku tau sebenarnya dalam hati kamu pun sedih melihat anak anak itu, mengingat keadaan keluargamu yang tidak lebih baik dari nasib mereka. Aku tau, kamu juga membentengi dirimu. Aku tau tapi seperti halnya kamu, akupun menganggap semuanya tidak penting dan tidak perlu untuk dibicarakan. Seakan, itu adalah pengetahuan biasa yang tidak pernah kita besar-besarkan, cukup masing-masing dari kita saja yang tau apa yang terjadi dalam diri masing-masing.