Tampilkan postingan dengan label romantic. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label romantic. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 November 2019

Sajak Rindu untuk Jogjakarta.

Remang-remang kota Jogjakarta semakin terasa indah kala pertokoan angkringan mulai membuka lapak-lapak tendanya. Mereka yang sibuk memasang pasaknya, mereka yang lupa akan waktunya, mereka yang terlalu bahagia untuk meninggalkan kota Jogjakarta—Malioboro berhasil mencampur adukkan semua rasa yang semua orang miliki menjadi satu.
Seperti dua sosok yang tengah berjalan dengan jemari mereka yang saling menautkan diri, mereka pun tak kalah serupa dengan mereka yang menenggelamkan diri dalam eloknya remang-remang kota Jogjakarta kala malam. Syahdu rasanya, mendengar sepasang yang tengah jatuh cinta, saling bercakap dengan cara yang tak biasa. Mungkin mereka pun sama dengan pasangan yang lainnya, yang pada akhirnya memiliki keharusan untuk meninggalkan satu sama lainnya. Pun cinta yang dipersatukan oleh suatu kota, kini harus merenggangkan jaraknya.
Masih terngiang kala lelaki itu mendekap manekin kecilnya, begitu ia menyebut perempuan kebanggaanya itu. Tak urung ia mendekap dan terus mendekap hingga Sang Manekin sesak kehabisan nafas, Sang Lelaki tergelak. “Eh, jangan nakal-nakal ya di kota orang.” Sang Lelaki mulai angkat bicara. “Badan kecil kaya manekin di toko baju anak-anak gini, gak akan mungkin ada yang percaya kalo kamu bilang kamu ini mahasiswa.”
Sang Manekin mendengus. “Kecil-kecil gini juga bisa bikin orang jatuh cinta.”
“Pake apaan?” Nada itu menantang.
“Pake kata-kata puitis yang bisa bikin hati orang meleleh. Trus mereka bakal mempertanyakan deh, ini beneran anak kecil atau jenius sajak yang lagi pura-pura jadi anak kecil ya?” Sejurus kemudian lelaki itu kembali mendekap manekin kecilnya hingga kehabisan nafas.
Dan ia kembali tergelak. “Mana ada yang kaya gitu di sana.” Lalu ia terdiam, membiarkan sayup-sayup para penjual asongan di sepanjang jalan Malioboro yang tengah mereka lalui itu memanggil-manggil mereka untuk sekedar membeli barangnya. “Tapi, cil, aku serius nih. Di sana jangan lupa bahagia ya?” Lelaki itu kemudian menoleh ke arah manekin kecil kesayangannya, seraya tersenyum dan kembali menautkan tangan yang sempat terpisahkan.
Dan mereka pun kembali terdiam, tenggelam dalam arus rindu yang mungkin saja sedetik dua detik kemudian akan membuat isi kepala mereka kalang kabut ketakutan. Walau kedua jasad itu masih menautkan jemarinya, namun kedua pikiran itu melayang entah kemana. Mungkin salah satu mereka tenggelam dalam pemikiran tentang kesendiriannya di kota tempat mereka pertama kali mengadu cinta. Mungkin yang lainnya tenggelam dalam pemikiran akan tempat baru nan jauh di sana dimana ia harus merelakan jauh cinta lamanya. Namun tak pernah ada yang tahu pasti, apa yang kedua manusia itu pikirkan.
Dan kala langit malam semakin pekat, kala manusia semakin menumpuk, kala ketakutan semakin menjadi—rindu mereka menari di bawah langit Malioboro malam hari.
×××××
Dan kerlip kota yang setengah pulas
Mengingatkanku padamu,
Engkau yang tersenyum, membeku dalam lalu.” — 12.08.16
Perempuan itu terduduk dan termangu di ujung balkon lantai tiga tempat indekosnya. Kerlip malam kota Denpasar memang cantik, terlebih jika ditemani secangkir teh hangat dan jurnal berisi berlembar-lembar sajak rancu hasil hari-harinya merindu. Namun entah mengapa, semakin lama ia berpikir semakin kosong pula otaknya itu. Setelah beberapa bulan lamanya berpisah dari sosok kekasihnya, ia lupa bagaimana caranya menulis dengan baik dan benar. Tangannya selalu kelu ketika jemari itu menyentuh secarik kertas dan sebatang pensil tumpul.
Kosong. Nol.  Nihil.
Perempuan itu hampir saja frustasi ketika sajak terakhirnya itu ia baca berulang-ulang dalam hati tanpa ia dapat menciptakan yang baru. Bali gak kalah indahnya kok dari Jogja, ia ingat seorang sahabat lama mengingatkannya perihal itu. Namun walau ia sudah memberitahu dirinya sendiri bahwa hal itu memang nyata adanya, yang ia miliki dahulu di kota tua bersejarah itu, tak pernah dapat tergantikan dengan kota yang (katanya) memendam berjuta hal tak terduga.
Menurutnya Jogja indah begitu adanya. Setiap jengkal, setiap sudut, bahkan setiap sisi Kota Jogjakarta memiliki keelokan yang kerap kali sulit dideskripsikan dengan sekedarnya kata-kata. Atau mungkin semua itu karena setiap jengkalnya memiliki cerita. Entahlah. Namun ia lupa rasanya. Ia lupa rasanya menikmati senja yang hangat berburu berbagai macam bacaan filsafat favoritnya di Shopping dekat Taman Pintar. Ia lupa rasanya terduduk seru di samping lelaki itu seraya menikmati pertunjukan wayang di pojok-pojok gang kecil Malioboro pada tanggal-tanggal tertentu. Ia lupa rasanya tenggelam dalam buku sajak yang mereka lahap bersama di perpustakaan kota. Pun, ia lupa rasanya menikmati sesorean suntuk bergulat dalam catur yang tiada habisnya.
“Cil, jangan bengong eh.” Sebuah suara seketika memecahkan segalanya. Ia kini terduduk tegap seraya menoleh ke arah suara, mendapati sesosok teman indekos yang menghampirinya. “Ntar kesambet woy.”
Perempuan kecil itu terkekeh ringan. “Iyanih, lagi seret soalnya.”
“Seret ide nulis ya?” Temannya dengan telak berhasil membaca isi otaknya yang kosong. Temannya kini mengambil tempat di sampingnya, menyesap secangkir teh hangat di atas balkon yang meniupkan udara malam yang menusuk. “Seret ide nulis atau lupa caranya menulis?”
Kini ia tertegun. Ia sendiri mengerti persis maksud dari kata-kata temannya. Dan jujur, ia tak tau yang mana. Yang kemudian hanya ia jawab dengan sebuah gedikkan pelan di bahu.
“Inget-inget nih ya, Cil. Nulis itu jangan dipaksain. Selama ini inspirasimu itu dia, jadi kalo dia gak ada wajar kamu jadi lupa caranya nulis. Tapi itu normal kok. Dan kalo udah begini, kamu cuma bisa inget-inget semua rasanya biar gak hilang semua kemampuan menulismu. He’s gonna be back soon, you’re going to reunite, I promise.
Lagi-lagi, ia tertegun. Ia tak tau harus berkata apa. Namun temannya benar. Mungkin ia hanya sedang lupa bagaimana caranya menulis karena tengah jauh dari muse yang ia miliki selama ini. “Do you have one, Vee? I mean, muse?” Lalu hanya kata-kata penasaran itu yang keluar dari mulutnya.
I did. He’s just long gone and you’re lucky that you still have your whole world in your hand. Jadi kalo nanti kalian udah ketemu lagi, jangan lupa bikin satu lagi sajak bagus ya.” Temannya itu mengacungkan jempolnya seraya tersenyum menyemagati. “Jarak kalian itu cuma dipisahin satu selat, bukan dunia dan akhirat.” Mirisnya, ia mengerti ucapan temannya itu yang kini bangkit dari tempatnya terduduk. “Udah yap, lanjutin lagi aja bengong cari inspirasinya.”
Dan kemudian, ia kembali termangu sendiri.
Rindu ya...
Perempuan itu segera mengeluarkan telepon genggamnya dan mengetik sebaris kata-kata dalam chatbox untuk lelakinya itu.
Ian, aku lupa rasanya punya muse aku sendiri duduk di sampingku waktu aku nulis sajak.
Terkirim.
Ian: Ya, jangan terlalu diharapinlah yang kaya gitu. Coba kamu inget-inget aja gimana rasanya jatuh cinta, semoga bisa jadi pencerahan yaa. Hehe
Dan lalu perempuan itu kembali termangu, mencerna kata-kata kekasihnya yang berada di negeri antah berantah nun jauh di sana. Ia yang gelak tawanya selalu berhasil membuatnya jatuh cinta. Ia yang sifatnya terlalu klasik untuk disandingkan dengan berbagai aw kekinian. Ia yang misinya menggali lebih dalam kota tua ini. Ia yang walau jauh senantiasa menuliskan pesan sepanjang novel. Ia yang membuatnya terus mengingat setiap jengkal Kota Jogjakarta.
Ia yang ia sebut Ian. Ia yang mungkin, saat ini sedang sibuk mengerjakan setumpuk materi fisika dasar. Ia, yang mungkin juga sedang menunggu-nunggu satu lagi sajak perempuan itu. Entahlah, kata-kata ini mulai kembali rancu. Maafkan narasi yang tak kunjung rampung ini ya, karena saat perempuan itu menarik selembar kertas cokelat dari jurnal sajaknya, ia mulai menuliskan sekata demi sekata yang mungkin patut untuk dibaca.
You ask me why I love him?


Have you ever seen a Kuta sunset?
Besides him, that was the purest and most sacred thing I’ve ever seen


Have you ever drifted on a bayou all down to Toba Lake?
The surroundings was breathtaking, just like his existence


Or watched a cold fog come drifting in Semeru?
It and so does he worth the patience


Have you heard the lullaby of paradise birds calling in the depth of Borneo forests?
Or the chirp of the crickets deep in endless green swirl of Ubud paddi?
The music is addictive and so is his raspy voice


Or do you look with awe and wonder, the shore of Karimun Jawa?
Every particle of both him and the nature intoxicates my soul
And do you think of him when you stroll along a jet above the fluorescent Paris Van Java?


Have you seen a snowflake drifting in Jayawijaya, way up high?
Or seen the sun come blazing down complimenting the blueness of Raja Ampat?
Or felt the soothing contact of Bogor rain on your moist skin?


Being with him, I’ve never felt so alive


You ask me why I love him?
I’ve got a  million reasons why;


He is my beautiful paradise
And I’m not going to deny that he imprisoned me;
Body, heart, and soul.

Ia tersenyum melihat hasil tulisannya. Mungkin, mungkin saja, yang kali ini benar-benar patut untuk dibaca. Begitu pikirnya kala ia kembali ke kamar indekosnya dan menutup buku kenangan tentang sebuah kota indah bersejarah yang dahulu pernah mengisi hari-harinya. Namun satu hal yang ia tau pasti, kekasihnya akan selalu setia menunggu untuknya kembali.

















×××××
Idektatablake production ® September 2016.
Yang kali ini saya tak tau apa namanya. Namun saya sedang menderita amnesia caranya menulis. Maafkan penulis rancu ini karena lama tak jumpa di blog berisi ribuan kata tak bermakna miliknya. Jika boleh sedikit berkata-kata, cerita malam ini diilhami oleh seorang sahabat dan kekasihnya yang cintanya dipisahkan jarak. Dan jika boleh juga bercerita sedikit, kedua sajak yang saya italic adalah dua sajak yang saya curi dari sahabat saya itu. Maaf ya sajaknya saya curi tanpa izin, namun saya harap kamu suka dengan kata-kata nan patah si penulis yang sedang amnesia ini.

Minggu, 25 Desember 2016

Ironi Cinta Pertama.

Dewata, begitu orang menyebutnya. Entah mengapa nama itu terdengar magis dan indah pada saat yang bersamaan. Seakan jika ada seseorang yang menginjakkan kakinya di tempat itu, ia akan menemukan berbagai hal yang belum pernah ia temukan back at home. Seperti namanya, tempat itu ialah tempat dimana para dewa bersamayam dan memberikan keindahan tiada dua bagi semua rakyatnya. Orang bilang sih, nirwana dunia. Dan memang benar begitu adanya, karena lelaki itu pun merasakan hal yang sama dengan tempat magis ini.

Ketika untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat ini, lelaki itu selalu berandai-andai jika kelak tempat ini akan menjadi tempat pertemuannya dengan sosok wanita lain nun jauh di sana, dimana ia akan menemukan sosok yang jauh berbeda dengan wanitanya yang dulu, dimana ia akan melarikan diri dari sebuah fakta bahwa hati itu masih terus bergeming di tempat yang sama.

Statis. Diam. Menyedihkan.

Lelaki itu meringis jika ia mengingat hari-hari awalnya di tempat ini. Bagaimana pemikiran-pemikiran seorang penyendiri itu mengapung bebas di lautan pemikiran tak berujung tanpa makna. Dulu ia kerap berpikir tentang begitu banyak hal; tentang kisah cinta kedua orang tuanya yang kini menjadi rumah untuk dirinya kembali, tentang kehilangan yang membuat sosok kecil dalam dirinya mendewasa beberapa tahun lebih cepat, tentang keluarga yang selalu membawa perasaan hangat dalam dada, tentang kawan lama yang begitu cepat berjalan meninggalkan relung hati itu. Anything. Anything that comes across that busy bubble of his mind.

Namun lalu hari-hari monokrom penuh kesendirian dan pemikiran itu mulai terganti dengan warna-warna sederhana yang membuat hidupnya senada lebih bermakna. Pergi dari rumah tidak lantas membuat seseorang kehilangan makna rumah itu sendiri, begitu katanya setiap ia mengingatkan hati miliknya yang mulai merindu. Dan benar saja, mereka yang membuat hari-harinya lebih berwarna serta merta membuat senyum itu lebih sering berkembang, mata itu lebih sering menyala, dan tawa itu lebih sering terdengar. Setidaknya untuk sesaat ia merasa penuh.

Tapi orang-orang itu tidak lantas bisa mengusir pergi pemikiran-pemikiran miliknya. Lelaki itu kerap pergi menyendiri ke pantai manapun yang bisa ia datangi sendiri. Merokok berbatang-batang hingga ia lupa sudah berapa kali ia menghembuskan kepulan tipis asap rokok di bawah langit sore Bali. Menulis beratus-ratus kata dalam jurnal miliknya mengenai berbagai pemikiran yang tak pernah sampai hati ia bagi kepada siapapun. Mendengarkan lagu dari playlist yang ia buat secara acak agar ia bisa merasa dikejutkan dengan lagu-lagu tak terduga itu. Mengingat-ingat kembali sosok cinta pertamanya.

Ah, cinta pertama ya.

Rabu, 09 Maret 2016

Analogi Matahari.

Menurutku, tak ada hal yang lebih romantis dari sebuah gerhana. Dua ciptaan Tuhan paling buruk namun juga paling indah pada saat yang bersamaan. Dua ciptaan yang terkadang nampak kasatmata bagi kita, yang terkadang dianggap sebuah angin lalu, namun pada saat yang bersamaan adalah dua hal yang memiliki andil cukup besar dalam perputaran bumi ini. Mereka, dua hal yang berbeda, yang kemarin baru saja kembali bersua setelah ribuan hari lamanya tidak berjumpa. Mereka, dua hal yang berbeda, yang bercumbu dengan begitu indahnya. Mereka adalah sepasang kekasih yang selalu berjalan beriringan, namun tak pernah dipertemukan dalam satu jalan yang sama. Dan sesedih apapun hal ini terdengar, aku sadar bahwa sesedih itulah kisah cinta kita berdua.
Mereka—anak anak kecil yang kita ajar bersama di sebuah taman belajar itu, adalah bumi kita berdua, penonton setia dari matahari dan bulan yang selalu menemani siang dan malam mereka. Mereka, yang biasanya akan riuh redam bersuara saat kamu datang, sontak akan berlarian memelukmu karena merindukan sosok matahari mereka. Taukah kamu? Untuk bumi, kamu adalah matahari—sesuatu yang menerangi bahkan di saat-saat tergelap mereka sekalipun. Taukah kamu? Untuk bulan, kamu adalah pendar cahaya pantulan terindah yang pernah bulan miliki. Dan taukah kamu? Bulan yang kumaksud adalah aku.
Orang bilang, cinta terkadang mempertemukan sepasang manusia yang tepat di saat yang salah. Dan terkadang, cinta pun mempertemukan sepasang manusia yang salah di saat yang tepat, yang kemudian menciptakan sebuah ilusi pikiran di mana semua terasa indah pada waktunya. Dan tau apa? Aku rasa kita ada definisi cinta yang kedua. Aku pikir aku adalah bulanmu, Sayang, yang akan mencumbumu hangat kala nanti gerhana menghampiri, memberi jalan bagi bulan dan matahari untuk bertemu kembali. Namun aku salah. Karena ternyata aku adalah bumi, sesuatu yang tak dapat berhenti menginginkan matahari untuk menyinari. Aku adalah anak-anak kecil itu, Sayang, yang akan berlari ke arahmu dan memelukmu hangat kala kamu kembali ke hadapanku pagi nanti.
Lucu sekali bagaimana bumi tak dapat bertahan tanpa matahari. Pendar cahayamu, tubuh tegap yang terkesan tegas itu, senyum hangat yang mampu melelehkan jiwa itu—taukah kamu bahwa sumber cahaya bumi tak boleh pergi? Namun mengapa saat wanita itu, bulan mu, datang menghampiri kala gerhana terjadi dan mencumbu bibirmu hangat, aku merasa kosong dan sendiri? Seluruh pendar cahayamu seketika redup dari bumiku, terhalang oleh sosok menawan itu.
"Key, gue rasa gue udah gak bisa ngajar lagi di Taman Belajar Ketaki ini." Entah mengapa, ucapan itu serasa petir yang menyambar bumi dan menyakiti bagian terdalam sang bumi.
Matahari, kamu tak boleh pergi.

Jumat, 22 Mei 2015

Untitled.

But he was just a boy, standing in the light of my way
Turning my life upside down with no warning
Pertemanan itu dimulai jauh sebelum hari-hari seragam putih abu-abu mendominasi kehidupan remajaku. Ia hanyalah seorang bocah lelaki yang kebetulan pergi ke tempat les yang sama denganku. Tidak pernah sekalipun ia mengucapkan sesuatu jika tidak ditanya oleh para pengajar. Namun tanpa disangka, persahabatan itu mulai tumbuh begitu saja saat kami bertabrakan di lorong gedung. Klise memang, namun semua itu mengalir begitu saja tanpa adanya paksaan. Ucapan permintaan maaf itupun tentu saja terlontar dari mulutnya. Dan entah bagaimana ceritanya, kami mulai sering berbicara.
Lucu memang jika mengingat bagaimana indahnya memiliki sahabat. Kisah suka maupun duka tentu kami bagi bersama. Bagaikan seorang teman yang telah mengenal sejak lahir, kami segera menjadi dua teman yang tak terpisahkan. Walaupun hanya dapat dipertemukan tiga hari dalam seminggu dan dua jam sekali sesi pertemuan, kami selalu memiliki cara kami masing-masing untuk menghabiskan waktu bersama. Mulai dari ngopi bareng di kedai favorit seusai les, hingga janjian untuk belajar bersama hingga larut malam. Begitu banyak cerita yang tak luput aku ceritakan kepadanya. Dengan kepribadiannya sebagai pendengar yang baik, jelas itu menjadi sebuah nilai tambah dalam persahabatan kami.
Hingga akhirnya kami lulus dan masuk ke sekolah yang sama, tak urungnya kami merasakan euforia kebahagiaan tersebut. Mulai sekarang kita sama-sama terus ya. Tak pernah aku lupa ucapannya yang begitu tulus, seakan menginginkan aku untuk tetap berada di dekatnya. Dan tolong jangan tanyakan aku bila aku menyayanginya lebih dari yang seharusnya, karena aku tidak ingin merusak segalanya. Hari demi hari berlalu tanpa lupa ia mewarnainya. Semua kenangan manis itu, mulai dari cabut sekolah seperti kebanyakan anak sekolahan jaman sekarang lakukan, hingga curhatan lewat tengah malam pun seakan menjadi bukti akan kenangan persahabatan kami tersebut.
Sampai hari itu tiba, aku ingat, di hari ulangtahunku yang ketujuh belas, seorang teman menarik kami ke lapangan dan berpura-pura menjadi seorang penghulu yang menikahkan kami. Rupawan, pintar, taat agama, penyayang orangtua, perhatian, apa lagi yang kurang? Sosoknya begitu sempurna hingga aku lupa jika di muka bumi ini tak ada yang sempurna selain Allah Sang Maha Pencipta. Namun sosoknya hampir mendekati kesempurnaan dan begitu banyak yang menyukainya. Hingga hari itu, tepat di titik itu, aku kembali bertanya kepada diri sendiri, apakah aku menyayanginya lebih dari yang seharusnya? Karena jika memang iya, seharusnya aku menyadari itu sejak awal.
Dist, nanti kalo gue udah mapan udah sukses, kita nikah beneran ya.

Minggu, 19 April 2015

Back To Zero.

Aku memutar ring fokus kameraku untuk sepersekian detik, menghembuskan nafas pelan sebelum akhirnya membidikkan kameraku tepat ke arahnya yang berlatar belakang laut yang sudah mulai menjingga. Dia, seseorang yang kujadikan objek itu, tengah asyik dengan travel journal yang ada di pangkuanya tanpa sadar dengan apa yang baru saja kulakukan. Aku melirik sepintas hasil gambar yang baru saja kuambil, tersenyum tipis merasa puas dengan hasil yang kudapat sebelum akhirnya kembali menengadahkan kepalaku ke arahnya. Dan masih pada posisi yang sama, ia tetap sibuk menuliskan sesuatu dalam travel journal-nya itu.
Terkadang aku heran, di tempat seindah ini, selalu saja ada waktu baginya untuk mengisi lembar demi lembar travel journal yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Bagiku sendiri, momen seperti ini harus diabadikan lewat jepretan jepretan tanganku yang walau memang tak seindah profesional namun tetap memiliki nilainya tersendiri bagiku. Aku sendiri sadar, coretan-coretan tangannya dalam travel journal miliknya itu adalah caranya sendiri dalam mengabadikan tiap momen yang ia lewati. Dan walau cara kami berbeda, aku tetap mengerti perasaannya mengenai konsep pengabadian sebuah momen yang dilalui.
Ageng Inas Saputra.
Dipertemukan pertama kali dengannya lima tahun yang lalu pada tahun terakhir sekolah menengah, lalu dipaksa masuk ke ruang lingkup perkuliahan yang sama pula dengannya, membuatku mau tak mau mengenal sosoknya dengan baik. Dan tanpa kusadari, we’re already these two people travelling places together. Terkadang aku suka berandai-andai tentang kemungkinan masa lalu. Bagaimana jika hari itu aku tidak pernah bertemu dengannya? Dengan siapa aku akan berada di sini hari ini? Apa ia akan merindukan sosokku yang tak pernah eksis di dunianya—nun jauh di sana?
Those are just some of the examples of how I think sometimes, which is always bothering me of course.

Senin, 23 Februari 2015

Cozy Coffee Shop.

Cozy Coffee Shop.
Disanalah gue pertama kali ketemu dia. Seorang pelanggan reguler yang selalu duduk di meja terpojok dekat jendela. Dengan setelannya yang selalu simple, gue selalu suka caranya dia berkonsentrasi dengan laptopnya serta jari jemarinya yang gemulai mengetik kata demi kata untuk entah apa yang ada di balik laptop itu.
Tapi gue suka dia. Sebut gue stalker, tapi apa salah notice seseorang yang selalu ada di sana tiap gue dateng buat order morning coffee gue sebelum berangkat kerja?
Pernah sekali waktu pas gue lagi nunggu orderan gue, dia tiba-tiba nabrak gue pas baru aja masuk. Badannya kecil mungil, perawakannya gak semampai seperti cewe kebanyakan, rambutnya selalu digulung asal, dan outfit-nya tiap dateng selalu aja kaya orang baru bangun tidur. Hari itu sih dia dateng dengan hoodie warna biru plus celana piyama dan gak lupa sepasang sendal hotel. Entah apa yang buat gue tertarik, gue sendiri juga heran. Tapi memang ada sesuatu dalam dirinya dia yang bisa bikin orang terarik.
Dan jujur, gue ngerasa lucky bisa kenal sosoknya.
Namanya Athena, biasa dipanggil Athe. Umurnya 23, baru aja lulus sekolah hukumnya, but ended up as a writer she said. Dari kecil punya mimpi buat jadi columnist di New York Times tapi cuma bisa jadi penulis novel doang. She doesn't like coffee at all, yet she enjoys the aroma of coffee beans.
Pertama kali gue kenal dia adalah saat gue akhirnya memberanikan diri buat nyapa dia di Sabtu pagi itu. Gue inget, hari itu gue gak kerja tapi entah kenapa gue pengen banget ngeliat dia di kedai kopi itu. So I ended up walking in the rain just to get myself there. Apartemen gue gak jauh jaraknya dari kedai kopi itu, tapi tetep aja. Dingin-dingin, lagi hujan di luar, tapi gue tetep keluar cuma buat ketemu dia. Gue tau kelakuan gue itu bodoh, but I never regretted that day. Because that was one of the happiest days in my life.

Sabtu, 14 Juni 2014

Kamu dan Cinta.

Cinta itu apa?

Matahari yang setia menyinari bumi kah?


Bulan yang setia menemani malam yang kelam kah?


Sepoy angin menenangkan di tengah teriknya matahari bulan Juli kah?


Atau, hujan yang setia membasahi bumi bulan Desember kah?


Entahlah, sayangku.


Namun untukku,


Tak peduli seberapa panas matahari di bulan Juli,


Tak peduli seberapa dingin hujan di bulan Desember,

Tak peduli seberapa banyak bintang yang menghiasi langit malam,

Tak peduli seberapa pahit kopi hitam yang kusesap,

Tak peduli seberapa banyak kata yang kutuliskan kini,


Cinta tetaplah kamu,


Sebuah definisi terindah dari lima huruf sederhana itu.

Dan sore ini,


Di antara rintik hujan yang tengah kupandangi,


Aku berharap atas kebahagiaanmu selalu.


Karena aku mencintaimu.


Itu sebabnya aku tak pernah selesai mendoakan keselematanmu.




*****
idektatablake ® Juni 2014.
Untuk kamu, hujan sore ini adalah puisi tentang kita.

Minggu, 13 Oktober 2013

Love Story of the Sun and the Moon.







Last night, before I went to bed, I hugged her for one last time simply to feel her before I fade away to the dreamland. But just by then, she turned to me with that curiosity on her eyes and of course, I got wonder. "Hey," her eyes getting darker with a little of grey shades. "Tell me a story about how the sun loved the moon so much, that he died every night just to let her breath." she mumbled, eyes staring right through mine.

And I smiled, simply because I knew what to say.

"Once upon a time, when the earth was still simple, the sun shone brighter than anything. The people were grateful and rejoiced every time the sun shone. He brought them joy and warmth, that he was even the source of their warmth.

But he was lonely, all by himself in the vast skies, longing for a company. He would look down at the people dancing in his radiance and wonder if he was destined to a life of solidarity. That was the price for being the brightest, he thought.

Then there was the moon. As the sun grew weary and began to disappear, she would raise into the sky, flanked by millions of stars. Her radiance was a sad kind of beauty, one that went unnoticed as the people slept. The stars watched her with wishfullness, hoping that one day they could get close enough so she wouldn't feel so empty. But they couldn't. The moon was untouchable, surrounding herself with a blanket of darkness through the cold nights.

Until one day, when the sun was sliding out of the heavens, he caught a glimpse of her. She was peeking up, a rare side of her being exposed to the light. And while the sun could shine, he knew that the moon could glow, and a faithful whisper trumped an arrogant shout any day.

So just as the stars were wandering into the night, the sun fell in love like a snowball hurdling down a mountain. How he wished to see her more than the fleeting moments he shared with her at both dawn and dusk. But the moon was untouchable, uncurable, unfreeable.

"Go," she whispered to him one of those nights with her voice that as sweet and sorrowful as the last light of the morning. "Go and let me breathe, for you and I have decided fates. You illuminate the day, and I cast a glow on the night. We will never be. Our connection would go against what all the people believe, all they know." During the summer, he would stay a little longer in case she could change his mind. But it was no use.

"Don't you dare abandon your blessings of light for my darkness." and those were the last words the moon was strong enough to speak to the sun." I responded.






***
idektatablake ® October 2013.
Just felt like to post something today. Found a tweet of someone saying, "tell me the story about how the sun loved the moon so much, that he died every night just to let her breathe." And I was literally touched. And when I searched that quotation, I found a link to a story of the Sun and the Moon on Wattpad. And really, I just felt like to post her beautiful creation. And in case you should know, this story I posted is not mine to be owned. All right reserves.