Kepenatan otak kala itu hampir saja membuat kepalaku
meradang saat kasus yang terakhir kali aku tangani berakhir kegagalan dalam meja
persidangan tadi siang. Malam itu, di ruangan berukuran 4 x 4 meter persegi
itu, aku hanya bisa manatap miris setumpukkan map berisi kasus-kasus
persidangan sebulan terakhir yang harus kurekap dan kuserahkan kepada bagian
pembukuan advokat tempatku bekerja. Aku meringis saat menggapai map yang berada
di tumpukkan teratas itu dan menghela napas kesal.
Sebagai seorang pengacara, sudah menjadi cita-citaku
untuk memenangi setiap kasus dari para klienku. Orang bilang, pekerjaan sebagai
pengacara ada pekerjaan terkotor—hanya karena menjadi pengacara ialah membela
siapapun klien mereka, salah maupun benar. Namun sesederhana kata membela
itulah keinginanku untuk menjadi pengacara berasal. Aku tak pernah benar-benar
memusingkan perkataan para sanak saudara yang kerap kali berpikir terlalu
dangkal mengenai mimpi yang tengah aku jalani kini. Untukku, membela mereka
yang tidak seharusnya bersalah adalah pekerjaan luar biasa hebat di dunia.
Berbekal dengan kenangan pahit masa lalu, membela adalah satu hal yang tak
pernah membuatku ingin berhenti higga kini.
Atau setidaknya, hingga aku sadar bahwa membela
bukanlah pekerjaan mudah.
Aku berhenti sejenak, ketukkan pintu itu seketika
membuat pikiranku buyar. Pintu kaca itu terbuka, nampak sesosok lelaki berusia
hampir tiga puluhan itu masuk dengan dua gelas plastik putih berlogo hijau
bulat ditengahnya. Merasa lega melihat sosok itu, aku segera merebahkan kembali
kepalaku yang hampir pecah itu ke sandaran kursiku.
“Nay, udahlah. Gak usah lo pikirin kasus lo yang kalah
itu.”
Namanya Genta, seorang atasan sekaligus sahabat di
advokat kenamaan ibukota tempatku bekerja. Usianya sudah hampir menginjak kepala
tiga, namun hingga kini masih juga belum menemukan sosok belahan jiwa yang
selalu ia inginkan. Bertahun-tahun lalu, aku ingat pernah menjadi juniornya di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia tempat dimana kami berdua lulus. Lucunya,
setelah lulus dan melamar pekerjaan, aku kembali menemukannya di tempat ini.
“Ta, masalahnya ini ibu-ibu dia kena KDRT suaminya. Masa iya sih dia minta
cerai dan hak asuh anak aja, ujungnya hakim ngasih hak asuh itu ke suaminya
yang abusive itu? Gak make sense, Ta.”
“Nayara, hidup lo gak kelar hanya karena satu kasus
ini lo kalah di persidangan. Gue ngerti keinginan lo untuk membela orang itu
gede banget. Tapi apa gue butuh ambil berkas dan ngasih liat seberapa besar
jauhnya perbandingan lo menangin kasus dengan saat lo kalah di persidangan?”
Genta menyodorkan gelas itu. “Spearmint
Greentea kesukaan lo nih, diminum dulu sebelum kepala lo itu beneran
pecah.”
Dengan sigap, aku menarik mundur gelas yang ia
letakkan di atas mejaku, menyesapnya pelan hingga akhirnya aku mulai merasakan
sebagian kecil beban itu terangkat dari pundakku. “Thanks for being my savior for the night, Ta. Gue hargain segelas Spearmint Greentea ini.”
“Oh, gue hampir lupa.” Genta merogoh kantung celananya
dan meletakkan selembar kertas persegi panjang berukuran tak lebih dari 10 x 5
cm itu di hadapanku. Aku mengernyit, menatap dengan seksama selembar kertas
itu. “Weekend ini, lo berangkat ke
Sumbawa.”
“Ada masalah yang harus gue tangani, Ta?”
Genta menggeleng. “Itu tiket pesawat, Nay.”
“Iya, gue tau. Tapi dalam rangka apa?”
“Liburan.”
And that’s the end of our
conversation that night.
Lusa paginya, Genta sudah menggiringku dari apartemen dengan bekal beberapa
helai pakaian yang kujejal asal ke dalam koper dan mengirimku sesegera mungkin
ke bandara Soekarno-Hatta.
˟˟˟˟˟
Genta bilang, aku butuh liburan. Genta bilang, aku
butuh pergi keluar dan kabur sejenak dari kepenatan ibukota yang membuat seisi
kepalaku hampir gila. Genta bilang, perjalanan ini adalah sebuah hadiah; hadiah
untuk sedikit rasa terimakasihnya atas seluruh pengorbanan yang aku beri untuk
advokat miliknya itu. Tapi sejujurnya akupun sadar, ini adalah sebentuk rasa
pedulinya terhadap bawahan, sahabat, serta sesosok perempuan yang sudah ia
anggap adiknya sendiri ini. Dan karena itu, aku pun berada di sini.
Sumbawa adalah sebuah pulau yang berjarak tak begitu
jauh dari Pulau Bali yang berukuran tak lebih dari 15.488 km2.
Perjalanan yang kutempuh kemarin meliputi dua jam perjalanan udara menuju
Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan tak
lebih dari satu jam menuju Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Bima, Nusa
Tenggara Barat.
Panas; adalah kata pertama yang terlintas di otakku
kala aku menginajakkan kaki pertama kali di tempat ini. Tak jauh berbeda dengan
Jakarta, tempat ini tidak kalah panasnya dengan ibukotaku itu. Perbedaannya
hanya satu; tempat ini tidak sememekakkan telinga seperti di Jakarta. Dan
setelah kulihat hamparan padang savana selama perjalananku itu, entah mengapa
letak perspektif ini berubah. Terlebih saat kaki ini sampai juga di sebuah
pantai bernama Pantai Lakey yang jaraknya dua setengah jam perjalanan dari
pusat kota Bima.
Hamparan padang savana yang luas, beralih dengan pasir
pantai kecoklatan, digantikan dengan pemandangan laut lepas yang tak kalah indahnya.
Aku hanya bisa terdiam.
“Permisi,” suara lelaki itu memecah lamunan indahku
tentang tempat ini. Saat aku menoleh, berdiri sesosok lelaki berdada bidang
berkulit kecoklatan dengan papan selancar di tangan kanannya. “Dari Jakarta ya,
Mba?”
“Ah iya.” Aku mengangguk pelan.
“Nayara, bukan?” Lagi-lagi, pertanyaannya hanya bisa
kujawab dengan anggukan. “Gue Pujangga, Nay, kenalannya Genta. Di sini
dititipin Nayara sama Genta buat diajak keliling.”
“Oh, Genta ya?” Entah mengapa hanya kata itu yang
berhasil keluar dari mulutku. Namun saat Puja—begitu lelaki itu ingin disebut—mengajakku berkeliling, aku segera mengikutinya.
Dan di sanalah kakiku berhenti melangkah. Tak jauh
dari Pantai Lakey, bangunan sederhana itu kokoh berdiri. Di bagian kiri
bangunan itu, terdapat tempat peminjaman alat-alat surfing juga alat-alat snorkeling
ataupun diving yang dibutuhkan oleh
para turis yang haus akan tempat ini. Namanya Harapan Project. Dinamakan
begitu, karena tempat ini memiliki harapan untuk mengembangkan pariwisata serta
sumber daya yang masih belum begitu berkembang di tempat ini. Dan sesaat
setelah Puja masuk ke rumah sederhana itu, Puja kembali keluar dengan sesosok
lelaki kaukasoid berperawakan tinggi.
Namanya Carlos. Ia adalah pemilik tempat ini. Ia
bilang, ia membangun tempat ini beberapa tahun silam dengan bekal sebuah
harapan untuk memajukan tempat indah ini.
“Nayara, semoga kerasan ya di tempat ini.” Carlos,
lelaki kaukasoid yang berbicara fasih bahasa Indonesia itu, merangkulku hangat.
“Genta adalah seorang teman yang sering datang ke sini, menjadi relawan juga
donatur untuk tempat ini. Kamu itu salah seorang yang saya tau Genta pedulikan,
Nayara.”
Aku menatap heran Carlos. Aku tau, Genta memang sayang
padaku. Namun aku tidak pernah tau kalau dia sesayang itu padaku. “Genta itu
atasan saya di Jakarta sana, Carlos.”
“Tidak lebih?” nadanya terdengar meragukanku.
Yang kemudian hanya bisa kubalas dengan ringisan pelan
dan jawaban, “Mungkin sahabat. Tapi tidak lebih dari itu, Carlos.”
“Ah, I see.”
Carlos mengangguk. “Mau lihat-lihat tempat ini dengan Pujangga kah, Nayara?”
Aku mengangguk, lalu segera berpamitan kepada Carlos
untuk ramah tamah yang begitu hangat itu.
“Carlos itu hebat lho, Nay.” Selama perjalanan
berkeliling, Puja akhirnya angkat bicara.
“Intinya nih ya, Nay, Carlos itu hebat.” Puja pun
mulai bercerita. “Dia itu dulunya pengacara di Spanyol. Tapi satu hari dia
liburan ke sini, dia seketika jatuh cinta sama tempat ini. Jauh-jauh ke sini,
dia pindah dan akhirnya ngediriin Yayasan Harapan Project ini.” Aku mengangguk
takjup dengan cerita itu. “And you know
what, Nay? Gue ini juga dulunya pengacara di Jakarta. Tapi end up di tempat ini juga kaya Carlos.
Gue ini dulu temen deketnya Genta, Nay, di Jakarta. Ketemu waktu sama-sama baru
lulus dan lagi nyari kerja, pas keterima dengan posisi yang sama, akhirnya jadi
teman sependeritaan. Dulu Genta juga masih belum punya kantor advokat nya
sendiri itu, Nay.”
“Gue inget nih yak, waktu itu kita berdua ngambil cuti
dan mulai backpacking dengan rute
Bali – Lombok – Flores. Tapi lalu nyasar ke sini karena waktu itu pesawatnya
bermasalah. Akhirnya kita jalan di sekitaran Bima di hari pertama, lalu nyari
referensi kalau di sini ada yang namanya Pantai Lakey. Singkat ceritanya, di
sini juga kita berdua ketemu Carlos. Mungkin ngerasa kaya akhirnya pulang ke
rumah dan nemu tempat dimana gue bisa ngerasa bener-bener membantu, akhirnya
beberapa bulan setelahnya gue ngurus surat-surat pengunduran diri, gue balik
lagi ke tempat ini dan join Carlos
buat bangun tempat ini.”
“Sayangnya, Genta gak ikut gue. Tapi dia akhirnya jadi
donatur tetap buat tempat ini. Kadang kalo ada waktu senggang, dia ambil cuti
cuma buat main ke tempat ini. Kalo bisa dibilang, gue rasa tempat ini juga udah
kayak rumah kedua buat Genta. I don’t
know what’s inside his mind, Nay. Tapi untuk ukuran seorang Genta yang gue
kenal, delapan tahun lebih gue kenal dia, delapan tahun lebih juga gue gak
pernah lihat Genta bawa cewek ke tempat ini atau ngirim cewek manapun untuk
liburan ke tempat ini. Now I see you today,
I know what’s exactly on his mind.”
Pembicaraan itu mengambang, Puja mengenalkanku ke
anak-anak sekitar yang dibantu pendidikannya oleh mereka, ke para penduduk yang
sudah mereka anggap saudara, ke turis-turis asing yang mereka kenal karena
kerap kali berkunjung ke tempat ini. Entah mengapa, perkataan Pujangga dan
Carlos terus melekat dalam pikiran, tak dapat kucabut begitu saja dari
tempatnya.
˟˟˟˟˟
“How was it, Nay? Liburannya
menyenangkan gak? Apa kabar penduduk Pantai Lakey?”
Malam itu aku terdiam, suara deburan ombak dari
kejauhan sayup-sayup terdengar dari kamar hostelku. “It was good, I guess.”
“Gak kesepian kan? Udah
ketemu Carlos sama Pujangga belum?” Nada suaranya diujung telepon sana terdengar begitu
gembira, persis seperti anak usia lima tahun yang karyanya akhirnya dilihat
orang banyak. “Anak-anak di sana udah
pada gede ya, Nay? Pantai Lakey ombaknya masih gerak ke kiri gak?”
Aku tergelak pelan. Lucunya, disela pikiranku yang
masih bercabang karena perkataan Carlos dan Pujangga tadi siang, Genta masih
belum bisa mencium tanda-tanda gusarnya pikiran ini dan masih bisa menanyakan
hal-hal sesepele ombak yang bergerak ke kiri itu. “Genta, fun fact macam apa sih itu?”
“FYI ya, Nay, ombak di sana
itu geraknya emang ke kiri, jadi kalo lo pengen surfing di sana ya harus bisa
ngikutin arus ombak yang kidal. Oh ya, gimana kabar Carlos? Puja udah berhasil
dapet cewek bule belom, Nay, di sana? Jangan sampe kemakan omongannya Pujangga
itu ya, Nay. Mulutnya manis banget kalo udah ngerayu. Dulu nih ya—”
“Genta, kamu ini kenapasih?”
There you go, Nayara
Sarasvati. Kamu? Seriously? Semudah itu lo kepikiran seorang Genta Cakrabima?
“Kenapa apanya?”
“Ini?”
“Ini apa?”
“Ya ini, liburan ini. Apa maksudnya sih?”
“Lho bukannya tempo hari
udah gue jelasin kenapa? Kok masih nanya lagi sih, Nay?”
“Ta, di sini sepi gak ada kamu. Kalo aku bilang aku
pengen liburan di sini ditemenin kamu, what
will you say, Ta? Hell no, scratch
that. What will you do?”
Aku bisa mencium pikiran Genta yang juga mulai
bercabang di seberang telepon. “Ini ada
apa sih, Nay? Kok tiba-tiba ngomongnya aku-kamu?”
“You tell me
why, Genta Cakrabima Hadi.”
Suara itu kembali terdiam, entah mengapa aku bisa
mendengar ketegangan dalam irama napasnya. “Lo
minta jawaban, Nayara? Ok, I’ll fly away tomorrow dan nyusul lo ke sana. Bilang
Pujangga besok sore gue sampe Lakey. You’d better rest now, karena besok kita punya
obrolan penting.”
Sambungan telepon itu terputus. Dan dalam 27 tahun aku
hidup di dunia ini, aku merasa menyesali seluruh kehidupan dan keputusanku ini.
Lebih menyesal bahkan ketimbang menerima kekalahan atas persidangan beberapa
hari silam.
˟˟˟˟˟
Langit mulai menjingga kala aku terduduk di hamparan
pasirnya. Bau basah air asin makin menjadi kala Sang Surya kembali bersembunyi
di balik bahari. Air yang mulai pasang membuat pasir-pasir halus sekitaran
jemari kaki ini tergerus lepas ombaknya. Di sampingku, terduduk lelaki
berperawakan tinggi masih lengkap dengan setelan kemeja dan dasi kerjanya.
Genta Cakrabima.
“I assume it’s
too obvious ya, Nay?” lelaki itu mulai angkat bicara. “Gue jadi atasan lo,
gue jadi sahabat lo, gue ngasih tiket liburan ke bawahan gue yang lagi stress.
Emang segitu keliatannya ya?”
Ya Tuhan, rasanya ingin sekali menenggelamkan diri di
Lakey.
“Sebenernya gue pun gak pernah nge-plan kalau hari ini kejadian. Tapi
mungkin emang udah ketauan, ya… so let me
explain.”
Aku terdiam, tak berani sejengkalpun menolehkan kepala
untuk meliriknya.
“Long ago
ya, Nay, waktu lo masih jadi junior gue di UI, gue sering liat elo. Bisa
dibilang, hampir tiap hari gue liat elo. I
actually noticed you even. Nayara Sarasvati, mahasiswi fakultas hukum,
selalu order morning tea instead of morning coffee, kalo lagi ada di
perpustakaan buat ngerjain tugasnya selalu nguap abis-abisan waktu baca buku
Undang Undang, Ketatanegaraan, KUHP, atau segala macem yang menyangkut bahasan
anak hukum. Gue bahkan sadar lho, Nay, hukum itu gak benar-benar bidang lo.”
“Lalu gue lulus, gue kerja, gue usaha hingga akhirnya
gue punya kantor advokat gue sendiri bahkan di usia semuda ini. Lalu tiba-tiba,
gue kembali dipertemukan sama sosok lo, Nay. Dengan badan dan muka yang masih
kaya maba yang baru lulus SMA, lo ngelamar kerja di kantor advokat gue. Dan lo
tau apa? Gue sendiri kaget waktu liat nama lo di berkas pelamar pekerjaan,
makanya hari itu gue turun tangan langsung buat wawancara elo.”
“Dari situ gue inget, Nay, lo mulai ini semua dari
bawah. Di kantor gue. Which is a good
thing for me karena gue ngerasa bangga dengan sosok lo yang udah menjadi
bagian dari keluarga advokat yang gue bangun dari nol juga. Dan dari situ juga
semuanya bermula; gue ngasih kerjaan ini itu ke elo yang waktu masih anak baru,
gue yang mulai ngajak lo ikutserta dalam persidangan hanya agar lo bisa mulai
belajar dengan suasana ruang sidang, gue yang mulai percayain kasus-kasus kecil
ke elo. And see what you’ve become now, Nayara?
Sejujurnya, itu adalah cara-cara kecil gue buat nunjukin semua ini.”
Ini apa, Ta?
“Beberapa tahun lalu, waktu gue masih belum jadi
apa-apa. Gue ketemu Puja di salah satu law
firm tempat gue kerja dulu. Kita jadi akrab dari situ, dan mulai membagi
suka dukanya kerja jadi pengacara. Sampe satu hari kita mutusin buat pergi dan
mulai perjalanan kita sendiri, kita sampai juga di tempat ini. Nama pantainya
Lakey, Nya. Jujur gue sendiri gak sadar kalo setelahnya gue bakal ketemu sosok
Carlos di sini lalu jatuh cinta dengan tempat ini. Dengan Yayasan Harapan
Project nya ini, gue bisa ngeliat mata-mata penuh pengharapan itu dari warga
sekitar sini. They love Carlos, Nay.
Sampe akhirnya, Puja hengkang dari law
firm hanya untuk bergabung dengan Carlos di tempat ini. Singkat ceritanya,
Nay, tempat ini berubah dari nowhere and
nothing jadi rumah juga hal yang membuat gue jatuh cinta lagi dan lagi.”
“Beberapa hari yang lalu, waktu denger kabar lo kalah
dalam persidangan, gue tau banget otak lo bakal kacau amburadul karena satu
kasus ini. Gue tau, Nay, elo itu besar di keluarga yang kacau balau. Almarhum
bokap lo yang polisi itu meninggal ditembak seseorang anonim yang ternyata
adalah perampok yang beberapa tahun sebelumnya bokap lo tangkep dengan tuduhan
perampokan. Gue tau, Nay, lo jadi pengacara berbekal dengan luka lama kan? Lo
jadi pengacara semata-mata karena lo ingin dilihat cukup dewasa untuk membela
yang gak bersalah kan? I see that in you,
Nay. Gue percaya itu.”
“Jadi saat gue tau pikiran lo bakal sekacau itu, gue
beli tiket tercepat untuk lo liburan ke sini. Dan gue harap… gue harap setelah
lo kenal Carlos, Pujangga, juga penduduk sekitar sini, lo bisa lihat, Nay, di
luar sana masih banyak harapan bertebaran untuk kita percaya. And Carlos is definitely a living proof to
that. Gue gak pernah kepikiran buat ngutarain semua ini ke elo, Nay. Because I guess I know what you would have
said if I told you about this. Dan gue rasa gak ada jalan balik buat ini
semua. Jadi gue harap, gue harap setidaknya kita masih bisa tetep temenan dan
jadi atasan-bawahan yang professional. Nayara, gue—”
“Genta, lo tau gak sih lo itu cerita kaya lagi speech depan gue sama laut? You’re like having a speech for someone who’s
being told by her office-partner about his feelings.” Mataku sejujurnya
sudah berair sejak ia mulai bercerita. Namun lucunya kini aku hanya bisa
tergelak halus mendengar selaanku sendiri. “Kemarin waktu ketemu Carlos, dia
bilang aku ini orang yang spesial buat kamu. Puja juga bilang begitu, katanya
aku ini perempuan pertama yang kamu kirim ke sini buat liburan. And I didn’t know if I should feel flattered
for that or not. Yang jelas, setelah mereka ngomong gitu aku kepikiran kamu
semalaman.”
“Nayara,” Genta memutar bola matanya kesal. Aku tau,
ia benci bagaimana aku selalu menyela pembicaraannya. “Jangan aku-kamu ke gue, it feels weird to have you saying that to me.”
Lagi-lagi, aku tergelak. Ternyata untuk seukuran
lelaki yang hampir berkepala tiga, seorang Genta itu kaku banget kalau udah
ngomongin cinta-cintaan kaya gini, which
is funny I guess. “Ta, tau gak sih? Kamu itu kayak bocah SMP baru ngerasain
yang namanya jatuh cinta, di-aku-kamu-in sedikit aja langsung kaku gitu.”
“Well that’s
because you’re actually the second thing I fell in love with after this place,
Nay. Jangan salahin kalo Genta yang selama ini lo kenal ternyata sekaku ini
dalam urusan cinta-cintaan.”
Untuk kesekian kalinya, aku tergelak. Setelah
kupikir-pikir lagi, Genta adalah lelaki termanis yang pernah aku kenal. Semua effort kecilnya, selalu berhasil
membuatku tersenyum. “Nayara, it’s okay
to be sad. Itu doang yang gue mau lo tau. Tapi harapan itu ada dimana-mana.
Di kantor advokat kita; basically
karena pengacara dan notaris yang kita punya adalah dewa dewi pemberi
pengharapan bagi mereka yang hampir hilang kepercayaan, di ibukota kita
Jakarta; yang walaupun kacau balau dengan segala ingar bingar kotanya tetap
memberi harapan bagi kita semua untuk terus hidup dalam kekacauannya, ataupun
di bagian lain negeri ini seperti di Lakey; gue mau lo tau harapan itu ada di
mana-mana.”
“Indonesia itu luas, hebat, keren, Nay. Semuanya
nyampur jadi satu. Dan tempat ini memang tempat yang gue janji ke diri gue
sendiri bakal gue tunjukkin ke perempuan yang kelak mau gue ajak tua bareng.
Alam Indonesia, Nay, kalo lo tau, dia nyimpen semua keadilan dan harapan bagi
tiap manusianya. Cuma kitanya aja yang gak pernah lihat dengan seksama dan
bersyukur dengan apa yang kita punya. Gue jatuh cinta sama tempat ini, Nay.
Dengan semua ini, Nay. But please let me
tell you one cheesiest thing I’m ever gonna say to you; I guess it’s you, Nay. I
guess it’s you the first thing that crossed my mind when I think about this
place. And I guess that’s because you’re the second thing I fell in love with
after this place. I don’t want to be
pushy or anything, tapi gue pengen lo tau kalau dengan membawa diri lo ke
tempat ini juga adalah satu bentuk cara gue buat nunjukkin rasa yang gue punya
buat elo.”
Aku terdiam. Benar-benar terdiam kala itu. Aku tak tau
apa namanya ini. Proposal kah? Atau
hanya gurauan kah? Aku sendiri tidak bisa memastikan. Namun yang pasti setelah
aku memberanikan diri menatap Genta tepat di manik matanya, aku ingat ia
kembali berkata, “Let’s get married,
Nay. Gue tau ini terlalu cepet dan gue pun gak tau apa yang bakal lo bilang
sebagai jawabannya. Gue tau mungkin lo gak pernah benar-benar notice gue dulu back then in Uni dan gue pun tau kalo sekarang pun lo gak pernah mikir
buat mungkin end up and settle down with
me. Tapi kemarin setelah gue pikir-pikir, mungkin gue harus coba. Dan kalaupun
pada akhirnya lo nolak, gue rasa—”
“Genta, tau ucapan orang, just shut up and kiss me gak?” Genta melongo, nampak jelas wajah
itu kaget dengan ucapanku. “Lo itu gak lagi pidato, Genta. So just shut up now and kiss me already, mkay?” Genta masih tetap
terdiam melongo, saat pada akhirnya aku harus menarik kaus putih yang melekat
di tubuh lelaki bidang itu hanya agar bibir itu dapat kuraih untuk kucumbu. Awalnya
bibir itu tegang, namun setelah sepersekian detik berlalu aku sendiri bisa
merasakan bibirnya yang masih bau asap rokok itu mulai melemas dan hanyut dalam
sebuah ciuman itu. Di pertengahan, aku menghentikan aksi itu, tersenyum di
tengah ciuman itu seraya berkata, “I want
my proposal ring now, Genta. And
please, no more gue-elo between us.”
Ia mengerang patuh, menarik tubuh ini lebih dekat dan
kembali mencumbuku dengan hangat. Namun sialnya, ia menghentikan aksi itu
persis seperti yang aku lakukan sebelumnya. “Just in case you should know, Nay, I’ve been waiting for this my whole life. To have your body this close
to mine, to have your lips this intimate in mine. Please stay like this, Nay. Just
like this because you’re my new hope now.”
Aku tersenyum, kembali menenggelamkan tubuh ini di
balik pundak yang bidang itu. Kalau saja kamu tau, Ta, Genta itu artinya gema. Dan
kamu itu tak pernah berhenti menjadi gema di telinga juga hati ini. Aku tau
harapan itu ada dimana-mana. Tapi, Genta, kamulah definisi dari harapan itu sendiri.
If only you knew that…
˟˟˟˟˟
idektatablake ® April 2016.
Mari dukung pengembangan Harapan Project dengan visit http://proyectoharapan.org/en dan kunjungi Lakey (bila ada kesempatan). Indahnya Indonesia gak hanya sekitaran Bali aja kok :) Ayo dukung terus pariwisata Indonesia dengan terus mengunjungi tempat-tempat pariwisata di Indonesia. [All the source comes from the video of Jalan-Jalan Men 2015 Edisi Sumbawa - Lakey Lakey Sejati Part 1 and Part 2]
Luar biasa,.. Keep going ta
BalasHapusHUAHH KAFIR BACA CERITA TATA :3
Hapustetap menulis taaa suka bgt <3 -sxw
BalasHapus