Rabu, 09 Maret 2016

Analogi Matahari.

Menurutku, tak ada hal yang lebih romantis dari sebuah gerhana. Dua ciptaan Tuhan paling buruk namun juga paling indah pada saat yang bersamaan. Dua ciptaan yang terkadang nampak kasatmata bagi kita, yang terkadang dianggap sebuah angin lalu, namun pada saat yang bersamaan adalah dua hal yang memiliki andil cukup besar dalam perputaran bumi ini. Mereka, dua hal yang berbeda, yang kemarin baru saja kembali bersua setelah ribuan hari lamanya tidak berjumpa. Mereka, dua hal yang berbeda, yang bercumbu dengan begitu indahnya. Mereka adalah sepasang kekasih yang selalu berjalan beriringan, namun tak pernah dipertemukan dalam satu jalan yang sama. Dan sesedih apapun hal ini terdengar, aku sadar bahwa sesedih itulah kisah cinta kita berdua.
Mereka—anak anak kecil yang kita ajar bersama di sebuah taman belajar itu, adalah bumi kita berdua, penonton setia dari matahari dan bulan yang selalu menemani siang dan malam mereka. Mereka, yang biasanya akan riuh redam bersuara saat kamu datang, sontak akan berlarian memelukmu karena merindukan sosok matahari mereka. Taukah kamu? Untuk bumi, kamu adalah matahari—sesuatu yang menerangi bahkan di saat-saat tergelap mereka sekalipun. Taukah kamu? Untuk bulan, kamu adalah pendar cahaya pantulan terindah yang pernah bulan miliki. Dan taukah kamu? Bulan yang kumaksud adalah aku.
Orang bilang, cinta terkadang mempertemukan sepasang manusia yang tepat di saat yang salah. Dan terkadang, cinta pun mempertemukan sepasang manusia yang salah di saat yang tepat, yang kemudian menciptakan sebuah ilusi pikiran di mana semua terasa indah pada waktunya. Dan tau apa? Aku rasa kita ada definisi cinta yang kedua. Aku pikir aku adalah bulanmu, Sayang, yang akan mencumbumu hangat kala nanti gerhana menghampiri, memberi jalan bagi bulan dan matahari untuk bertemu kembali. Namun aku salah. Karena ternyata aku adalah bumi, sesuatu yang tak dapat berhenti menginginkan matahari untuk menyinari. Aku adalah anak-anak kecil itu, Sayang, yang akan berlari ke arahmu dan memelukmu hangat kala kamu kembali ke hadapanku pagi nanti.
Lucu sekali bagaimana bumi tak dapat bertahan tanpa matahari. Pendar cahayamu, tubuh tegap yang terkesan tegas itu, senyum hangat yang mampu melelehkan jiwa itu—taukah kamu bahwa sumber cahaya bumi tak boleh pergi? Namun mengapa saat wanita itu, bulan mu, datang menghampiri kala gerhana terjadi dan mencumbu bibirmu hangat, aku merasa kosong dan sendiri? Seluruh pendar cahayamu seketika redup dari bumiku, terhalang oleh sosok menawan itu.
"Key, gue rasa gue udah gak bisa ngajar lagi di Taman Belajar Ketaki ini." Entah mengapa, ucapan itu serasa petir yang menyambar bumi dan menyakiti bagian terdalam sang bumi.
Matahari, kamu tak boleh pergi.

"Kenapa?" Aku bertanya padamu.
"Gue udah ngelamar Tanya kemarin sore. So I think it's the matter of time that Tanya and I will leave this place."
"Nan, tempat ini kita yang bangun, inget kan? Ketaki means Keara, Tanya, and Kinan. So it should've been us working our ass off for this place. You guys can stay, right?"
Suara bumi bergetar, setetes demi setetes air hujan turun membasahi langit kelabu bumi yang sejak mataharinya tertutupi oleh sang bulan, ia menjadi lebih sensitif dari sebelumnya. Benar sayangku, ia yang kumaksud adalah aku. Aku adalah bumimu. Kamu adalah matahariku. Dan Tanya adalah bulan untuk kita.
"Key, be realistic. Gue dan Tanya gak bisa selamanya stay di tempat ini. We need to leave and find something else to do. Gue gak bisa memberi makan Tanya hanya dengan menjadi relawan pengajar di sini."
"But Nan, you promised."
"Janji apa?"
"That you'd stay." Karena bumi tak akan bisa bertahan jika matahari pergi.
"I'm sorry, Key. Not for this time." Kamu menggeleng pelan, Matahari. Kamu pergi. Kamu menjauh. Kamu berlari. Dan kamu meninggalkan aku terpekur di sini.
Apa setelah gerhana usai, matahari dan bulan yang sudah beribu hari tak saling bersua itu dapat pergi meninggalkan bumi? Apa setelah gerhana selesai, bulan yang menghalangi pendar cahaya matahari untuk bumi dapat merebut seluruh pendar untuknya seorang diri? Apa setelah semua itu usai terjadi, bumi dapat bertahan sendiri tanpa bulan dan matahari?
Aku tak pernah menemukan jawabannya.
Karena saat sepucuk surat undangan itu datang, bumi hanya dapat memerhatikan dari kejauhan. Gerhana memang indah, menyaksikan sepasang kekasih yang lama tak jumpa hanya untuk bercumbu sementara. Namun yang menyakitkan dari keindahan itu, adalah pendar cahaya untuk bumi kini terhalang hingga menjadi redup yang dingin. Jikalau gerhana hanya berlangsung sementara, mengapa nyatanya ini terjadi selamanya? Namun aku tak bersuara, hanya dapat tersenyum kala mereka bercumbu, menyaksikan dalam haru sesuatu yang tak dapat dimiliki untuk menjadi bagianku.
Matahari, lain kali sempatkan diri ke Taman Belajar Key ya. Bumimu menunggu.
Salam,
Perwakilan bumi yang kehilangan sosokmu.
Secarik surat itu kuselipkan dibalik tuksedo putihmu kala kucium pipi itu untuk terakhir kalinya.
"Semoga kamu bahagia, Kinan." Dan bumi pun menyaksikan bagaimana matahari tersenyum.
×××××
"Kak Key, kok Kak Kinan sama Kak Tanya gak pernah main ke sini lagi?" Pagi kelabu itu seorang anak didikku bernama Rafi bertanya.
Aku tersenyum. "Kak Ki sama Kak Ta udah seneng, sayang. Kalo orang dewasa itu nyebutnya udah bahagia kayak di dongeng-dongeng yang biasa Kak Ta bacain dulu."
"Tapi kita kangen mereka, Kak."
"I know, Darling. Kakak juga rindu."
Ditengah percakapan itu, sehembus angin hangat menerpa ruang kelas itu, serasa seperti sosok hangat yang datang menghampiri. Seisi ruangan seketika menjadi hening, menyaksikan sosok yang berpendar cahaya itu masih tegap berdiri di ambang pintu. Senyum itu, yang serta merta melelehkan seisi bumi yang sebelumnya dilanda kedinginan, seketika membuat bumi beku itu menjadi hangat kembali.
"Kak Kinan?" Anak perempuan bernama Aldilla bersorak, yang kemudian diikuti teman-teman seisi kelasnya berlarian ke arah matahari kami.
Kamu tersenyum. Mereka tersenyum. Aku tersenyum.
Aku rasa itu adalah yang terpenting.
"Kak Kinan, kita kangen Kakak."
"Yep, me too, kiddo." Kamu mengacak rambut anak-anak kecil itu, lalu melemparkan sebuah pandangan kearahku. Kamu berhenti, lalu berdiri. "Siapa yang setuju buat free time hari ini?"
"Aku, Kak."
"Akuuu!!!"
"Aku juga, Kak."
"Iya aku!"
"Aku, Kak, aku!"
"Oke, hari ini kita free time! Yang mau gambar bisa ambil peralatannya di loker alat gambar, yang mau main bisa main di luar asal gak jauh-jauh ya, yang mau mengarang cerita dongeng kaya Kak Ta bisa ambil pensil dan bukunya, yang mau—"
"Kakak mau apa?"
Kamu tersenyum, lalu melirik ke arahku yang sedaritadi hanya bisa terdiam di tempatku berdiri. "Rapat guru sama Kak Key?"
Seketika anak-anak itu bubar, berlarian ke arah yang berbeda dan serta merta segera melakukan apa yang kamu perintahkan. Matahari, bagaimana bisa kamu melakukan itu? Dengan sekali perintah, kamu selalu berhasil membuat anak-anak itu bertekuk lutut padamu. Andai saja kamu tau, aku pun sudah begitu lama bertekuk lutut pada cahaya indahmu.
"Key..." Kamu berhenti di depanku, menatapku lekat di manik mata.
"Nan..."
"So I've read your message that you put on my tux."
"That's good." Aku mengangguk, segera berpura-pura menyibukkan diri dengan setumpuk kertas di mejaku.
"Why, Key?"
Aku berhenti. Entah mengapa merasa kelu dengan pertanyaanmu. "Kenapa apanya?"
"Jangan bohong, Key. I know you're hiding something."
Isn't that obvious, Nan? Kamu buta ya? "Maksud kamu?"
"Please, Key, for one more time. Berhenti pura-pura di depan gue. Gue kenal elo gak dari sehari dua hari yang lalu."
Lalu apa masalahnya? Bukankah seharusnya matahari sadar bahwa bumi tak akan pernah bisa bertahan tanpa matahari? Kenapa sekarang matahari menjadi begitu bodoh?
"Nan..."
"Please, be honest to me."
"Aku yang gak pernah jujur atau kamu yang emang gak pernah sadar?"
Kamu menatapku tajam, matahari. Kenapa begitu sinis? Apa salahku?
"Aku kenal kamu itu dari bertahun-tahun lalu, Nan. Kamu kenal Tanya itu, bahkan baru setelah aku kenalin."
"And the whole point is...?"
"I loved you, bastard. I've loved you all along and I still even love you. Tapi kamu end up dengan Tanya dan ninggalin tempat ini sendiri buatku. I can't, you know. Tempat ini terlalu besar untuk aku kelola sendiri. Lagipula, bukannya kamu udah janji untuk gak pergi?" Which you did anyway, Kinan.
"Key..."
"No, stop right there, Kinan. I don't need it. Inget kamu udah jadi suami siapa sekarang. Don't you dare to come closer." Karena jika kamu berhasil menarik dan merengkuh tubuhku dalam pelukmu, bisa kupastikan aku akan menangis. Dan jelas aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi.
"Key, you should've told me."
Tawa hambar itu lepas begitu saja dari bibir ini. Maafkan aku, Nan. "Kamu pikir segitu mudahnya ya, Nan, buat ngasih tau orang yang kita sayang kalo kita sayang banget kita gak mau mereka pergi karena takut sumber pencahayaan hidup kita akan pergi begitu mereka angkat kaki? Kamu pikir semudah itukah, Nan, untuk akhirnya berani angkat bicara seperti ini?"
Kamu terpekur, terdiam seakan letupan-letupan cadangan bahan kimia yang membuat dirimu bersinar menipis dan habis, sehingga membuat pendar cahayamu menjadi redup seketika.
"I thought we could be like the moon and the sun, you know. Yang walau sulit untuk bersama, pada akhirnya dapat dipertemukan dan dipersilahkan untuk mencumbu satu sama lain saat gerhana tiba. Tapi ternyata, aku itu sang bumi, yang hanya kecipratan redupmu saat bulan datang dan mencumbumu. Semua orang menatap kalian haru, karena berpikir kisah cinta kalian adalah yang paling romantis sepanjang masa. Tapi nyatanya, bumi lah yang paling tersakiti. Do you even understand my words, Nan?"
Kamu kembali mengangkat wajahmu, menatapku seraya berkata, "No, you're wrong."
Aku salah? Bagian mana, Matahari? Tolong jelaskan padaku bagian mana aku salah tentang kita.
"You're the moon, Key. Matahari dan bumi itu pada akhirnya bersama, matahari menyinari bumi dan bumi terus memutari matahari. Tapi bulan hanya dapat menyaksikan romantisnya matahari menyinari bumi dan bumi mengitari matahari. Bulan hanya bisa bersua dengan matahari beribu hari sekali. Dan bulan hanya bisa cukup merasa bangga dengan pantulan pendar cahayanya. You're the moon, Key. You're my moon."
Tapi, Kinan, kita tidak bercumbu saat gerhana terjadi.
"We may not kiss when eclipse happens. But we talk, we talk like two old friends finally find each other in the lost of life. We hug like two enemies finally settle down with one another. We wave like two strangers finally leave for good. We may not kiss when eclipse happens, Key, but know that I'm always here. Always here to share my lights with you."
Aku tersenyum, merasakan sebuah air mata mengalir bebas dari pipiku. Mungkin kamu benar, Matahari. Mungkin aku adalah bulanmu, yang hanya bisa cukup berbahagia karena pantulan cahayamu yang kamu bagi untukku. Mungkin aku adalah bulanmu, yang sekali dalam beribu hari dapat bersua walau tak bercumbu. Mungkin aku adalah bulanmu, yang akan terus mengorbiti bumi juga matahari, lalu melanjutkan hidup kala matahari menerangi bumi dan bumi memutari matahari.
Aku sayang kamu, Matahari.


×××××
idektatablake © Maret 2016.
Berhubung baru-baru ini terjadi gerhana matahari total di beberapa bagian Indonesia tercinta, saya ingin membagi kisah tetang romansa matahari dan bulan yang tak pernah dapat bersatu. Kali ini, sebuah cerita yang saya angkat dari dongeng klasik mengenai kisah cinta matahari dan bulan, saya persembahkan untuk mereka yang hanya bisa memerhatikan dari kejauhan. Semoga kelak kalian akan menemukan matahari kalian sendiri untuk kalian cumbu kelak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar