Minggu, 24 April 2016

Harapan di Lakey.

Kepenatan otak kala itu hampir saja membuat kepalaku meradang saat kasus yang terakhir kali aku tangani berakhir kegagalan dalam meja persidangan tadi siang. Malam itu, di ruangan berukuran 4 x 4 meter persegi itu, aku hanya bisa manatap miris setumpukkan map berisi kasus-kasus persidangan sebulan terakhir yang harus kurekap dan kuserahkan kepada bagian pembukuan advokat tempatku bekerja. Aku meringis saat menggapai map yang berada di tumpukkan teratas itu dan menghela napas kesal.

Sebagai seorang pengacara, sudah menjadi cita-citaku untuk memenangi setiap kasus dari para klienku. Orang bilang, pekerjaan sebagai pengacara ada pekerjaan terkotor—hanya karena menjadi pengacara ialah membela siapapun klien mereka, salah maupun benar. Namun sesederhana kata membela itulah keinginanku untuk menjadi pengacara berasal. Aku tak pernah benar-benar memusingkan perkataan para sanak saudara yang kerap kali berpikir terlalu dangkal mengenai mimpi yang tengah aku jalani kini. Untukku, membela mereka yang tidak seharusnya bersalah adalah pekerjaan luar biasa hebat di dunia. Berbekal dengan kenangan pahit masa lalu, membela adalah satu hal yang tak pernah membuatku ingin berhenti higga kini.

Atau setidaknya, hingga aku sadar bahwa membela bukanlah pekerjaan mudah.

Aku berhenti sejenak, ketukkan pintu itu seketika membuat pikiranku buyar. Pintu kaca itu terbuka, nampak sesosok lelaki berusia hampir tiga puluhan itu masuk dengan dua gelas plastik putih berlogo hijau bulat ditengahnya. Merasa lega melihat sosok itu, aku segera merebahkan kembali kepalaku yang hampir pecah itu ke sandaran kursiku.

“Nay, udahlah. Gak usah lo pikirin kasus lo yang kalah itu.”

Namanya Genta, seorang atasan sekaligus sahabat di advokat kenamaan ibukota tempatku bekerja. Usianya sudah hampir menginjak kepala tiga, namun hingga kini masih juga belum menemukan sosok belahan jiwa yang selalu ia inginkan. Bertahun-tahun lalu, aku ingat pernah menjadi juniornya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tempat dimana kami berdua lulus. Lucunya, setelah lulus dan melamar pekerjaan, aku kembali menemukannya di tempat ini.

“Ta, masalahnya ini ibu-ibu dia kena KDRT suaminya. Masa iya sih dia minta cerai dan hak asuh anak aja, ujungnya hakim ngasih hak asuh itu ke suaminya yang abusive itu? Gak make sense, Ta.

“Nayara, hidup lo gak kelar hanya karena satu kasus ini lo kalah di persidangan. Gue ngerti keinginan lo untuk membela orang itu gede banget. Tapi apa gue butuh ambil berkas dan ngasih liat seberapa besar jauhnya perbandingan lo menangin kasus dengan saat lo kalah di persidangan?” Genta menyodorkan gelas itu. “Spearmint Greentea kesukaan lo nih, diminum dulu sebelum kepala lo itu beneran pecah.”

Dengan sigap, aku menarik mundur gelas yang ia letakkan di atas mejaku, menyesapnya pelan hingga akhirnya aku mulai merasakan sebagian kecil beban itu terangkat dari pundakku. “Thanks for being my savior for the night, Ta. Gue hargain segelas Spearmint Greentea ini.”

“Oh, gue hampir lupa.” Genta merogoh kantung celananya dan meletakkan selembar kertas persegi panjang berukuran tak lebih dari 10 x 5 cm itu di hadapanku. Aku mengernyit, menatap dengan seksama selembar kertas itu. “Weekend ini, lo berangkat ke Sumbawa.”

“Ada masalah yang harus gue tangani, Ta?”

Genta menggeleng. “Itu tiket pesawat, Nay.”

“Iya, gue tau. Tapi dalam rangka apa?”

“Liburan.”

And that’s the end of our conversation that night. Lusa paginya, Genta sudah menggiringku dari apartemen dengan bekal beberapa helai pakaian yang kujejal asal ke dalam koper dan mengirimku sesegera mungkin ke bandara Soekarno-Hatta.




˟˟˟˟˟

Genta bilang, aku butuh liburan. Genta bilang, aku butuh pergi keluar dan kabur sejenak dari kepenatan ibukota yang membuat seisi kepalaku hampir gila. Genta bilang, perjalanan ini adalah sebuah hadiah; hadiah untuk sedikit rasa terimakasihnya atas seluruh pengorbanan yang aku beri untuk advokat miliknya itu. Tapi sejujurnya akupun sadar, ini adalah sebentuk rasa pedulinya terhadap bawahan, sahabat, serta sesosok perempuan yang sudah ia anggap adiknya sendiri ini. Dan karena itu, aku pun berada di sini.

Sumbawa adalah sebuah pulau yang berjarak tak begitu jauh dari Pulau Bali yang berukuran tak lebih dari 15.488 km2. Perjalanan yang kutempuh kemarin meliputi dua jam perjalanan udara menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan tak lebih dari satu jam menuju Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Bima, Nusa Tenggara Barat.

Panas; adalah kata pertama yang terlintas di otakku kala aku menginajakkan kaki pertama kali di tempat ini. Tak jauh berbeda dengan Jakarta, tempat ini tidak kalah panasnya dengan ibukotaku itu. Perbedaannya hanya satu; tempat ini tidak sememekakkan telinga seperti di Jakarta. Dan setelah kulihat hamparan padang savana selama perjalananku itu, entah mengapa letak perspektif ini berubah. Terlebih saat kaki ini sampai juga di sebuah pantai bernama Pantai Lakey yang jaraknya dua setengah jam perjalanan dari pusat kota Bima.

Hamparan padang savana yang luas, beralih dengan pasir pantai kecoklatan, digantikan dengan pemandangan laut lepas yang tak kalah indahnya. Aku hanya bisa terdiam.

“Permisi,” suara lelaki itu memecah lamunan indahku tentang tempat ini. Saat aku menoleh, berdiri sesosok lelaki berdada bidang berkulit kecoklatan dengan papan selancar di tangan kanannya. “Dari Jakarta ya, Mba?”

“Ah iya.” Aku mengangguk pelan.

“Nayara, bukan?” Lagi-lagi, pertanyaannya hanya bisa kujawab dengan anggukan. “Gue Pujangga, Nay, kenalannya Genta. Di sini dititipin Nayara sama Genta buat diajak keliling.”

“Oh, Genta ya?” Entah mengapa hanya kata itu yang berhasil keluar dari mulutku. Namun saat Pujabegitu lelaki itu ingin disebutmengajakku berkeliling, aku segera mengikutinya.

Dan di sanalah kakiku berhenti melangkah. Tak jauh dari Pantai Lakey, bangunan sederhana itu kokoh berdiri. Di bagian kiri bangunan itu, terdapat tempat peminjaman alat-alat surfing juga alat-alat snorkeling ataupun diving yang dibutuhkan oleh para turis yang haus akan tempat ini. Namanya Harapan Project. Dinamakan begitu, karena tempat ini memiliki harapan untuk mengembangkan pariwisata serta sumber daya yang masih belum begitu berkembang di tempat ini. Dan sesaat setelah Puja masuk ke rumah sederhana itu, Puja kembali keluar dengan sesosok lelaki kaukasoid berperawakan tinggi.

Namanya Carlos. Ia adalah pemilik tempat ini. Ia bilang, ia membangun tempat ini beberapa tahun silam dengan bekal sebuah harapan untuk memajukan tempat indah ini.

“Nayara, semoga kerasan ya di tempat ini.” Carlos, lelaki kaukasoid yang berbicara fasih bahasa Indonesia itu, merangkulku hangat. “Genta adalah seorang teman yang sering datang ke sini, menjadi relawan juga donatur untuk tempat ini. Kamu itu salah seorang yang saya tau Genta pedulikan, Nayara.”

Aku menatap heran Carlos. Aku tau, Genta memang sayang padaku. Namun aku tidak pernah tau kalau dia sesayang itu padaku. “Genta itu atasan saya di Jakarta sana, Carlos.”

“Tidak lebih?” nadanya terdengar meragukanku.

Yang kemudian hanya bisa kubalas dengan ringisan pelan dan jawaban, “Mungkin sahabat. Tapi tidak lebih dari itu, Carlos.”

“Ah, I see.” Carlos mengangguk. “Mau lihat-lihat tempat ini dengan Pujangga kah, Nayara?”

Aku mengangguk, lalu segera berpamitan kepada Carlos untuk ramah tamah yang begitu hangat itu.

“Carlos itu hebat lho, Nay.” Selama perjalanan berkeliling, Puja akhirnya angkat bicara.

“Intinya nih ya, Nay, Carlos itu hebat.” Puja pun mulai bercerita. “Dia itu dulunya pengacara di Spanyol. Tapi satu hari dia liburan ke sini, dia seketika jatuh cinta sama tempat ini. Jauh-jauh ke sini, dia pindah dan akhirnya ngediriin Yayasan Harapan Project ini.” Aku mengangguk takjup dengan cerita itu. “And you know what, Nay? Gue ini juga dulunya pengacara di Jakarta. Tapi end up di tempat ini juga kaya Carlos. Gue ini dulu temen deketnya Genta, Nay, di Jakarta. Ketemu waktu sama-sama baru lulus dan lagi nyari kerja, pas keterima dengan posisi yang sama, akhirnya jadi teman sependeritaan. Dulu Genta juga masih belum punya kantor advokat nya sendiri itu, Nay.”

“Gue inget nih yak, waktu itu kita berdua ngambil cuti dan mulai backpacking dengan rute Bali – Lombok – Flores. Tapi lalu nyasar ke sini karena waktu itu pesawatnya bermasalah. Akhirnya kita jalan di sekitaran Bima di hari pertama, lalu nyari referensi kalau di sini ada yang namanya Pantai Lakey. Singkat ceritanya, di sini juga kita berdua ketemu Carlos. Mungkin ngerasa kaya akhirnya pulang ke rumah dan nemu tempat dimana gue bisa ngerasa bener-bener membantu, akhirnya beberapa bulan setelahnya gue ngurus surat-surat pengunduran diri, gue balik lagi ke tempat ini dan join Carlos buat bangun tempat ini.”

“Sayangnya, Genta gak ikut gue. Tapi dia akhirnya jadi donatur tetap buat tempat ini. Kadang kalo ada waktu senggang, dia ambil cuti cuma buat main ke tempat ini. Kalo bisa dibilang, gue rasa tempat ini juga udah kayak rumah kedua buat Genta. I don’t know what’s inside his mind, Nay. Tapi untuk ukuran seorang Genta yang gue kenal, delapan tahun lebih gue kenal dia, delapan tahun lebih juga gue gak pernah lihat Genta bawa cewek ke tempat ini atau ngirim cewek manapun untuk liburan ke tempat ini. Now I see you today, I know what’s exactly on his mind.

Pembicaraan itu mengambang, Puja mengenalkanku ke anak-anak sekitar yang dibantu pendidikannya oleh mereka, ke para penduduk yang sudah mereka anggap saudara, ke turis-turis asing yang mereka kenal karena kerap kali berkunjung ke tempat ini. Entah mengapa, perkataan Pujangga dan Carlos terus melekat dalam pikiran, tak dapat kucabut begitu saja dari tempatnya.

˟˟˟˟˟

“How was it, Nay? Liburannya menyenangkan gak? Apa kabar penduduk Pantai Lakey?”

Malam itu aku terdiam, suara deburan ombak dari kejauhan sayup-sayup terdengar dari kamar hostelku. “It was good, I guess.

“Gak kesepian kan? Udah ketemu Carlos sama Pujangga belum?” Nada suaranya diujung telepon sana terdengar begitu gembira, persis seperti anak usia lima tahun yang karyanya akhirnya dilihat orang banyak. “Anak-anak di sana udah pada gede ya, Nay? Pantai Lakey ombaknya masih gerak ke kiri gak?”

Aku tergelak pelan. Lucunya, disela pikiranku yang masih bercabang karena perkataan Carlos dan Pujangga tadi siang, Genta masih belum bisa mencium tanda-tanda gusarnya pikiran ini dan masih bisa menanyakan hal-hal sesepele ombak yang bergerak ke kiri itu. “Genta, fun fact macam apa sih itu?”

“FYI ya, Nay, ombak di sana itu geraknya emang ke kiri, jadi kalo lo pengen surfing di sana ya harus bisa ngikutin arus ombak yang kidal. Oh ya, gimana kabar Carlos? Puja udah berhasil dapet cewek bule belom, Nay, di sana? Jangan sampe kemakan omongannya Pujangga itu ya, Nay. Mulutnya manis banget kalo udah ngerayu. Dulu nih ya—”

“Genta, kamu ini kenapasih?”

There you go, Nayara Sarasvati. Kamu? Seriously? Semudah itu lo kepikiran seorang Genta Cakrabima?

“Kenapa apanya?”

“Ini?”

“Ini apa?”

“Ya ini, liburan ini. Apa maksudnya sih?”

“Lho bukannya tempo hari udah gue jelasin kenapa? Kok masih nanya lagi sih, Nay?”

“Ta, di sini sepi gak ada kamu. Kalo aku bilang aku pengen liburan di sini ditemenin kamu, what will you say, Ta? Hell no, scratch that. What will you do?

Aku bisa mencium pikiran Genta yang juga mulai bercabang di seberang telepon. “Ini ada apa sih, Nay? Kok tiba-tiba ngomongnya aku-kamu?”

You tell me why, Genta Cakrabima Hadi.”

Suara itu kembali terdiam, entah mengapa aku bisa mendengar ketegangan dalam irama napasnya. “Lo minta jawaban, Nayara? Ok, I’ll fly away tomorrow dan nyusul lo ke sana. Bilang Pujangga besok sore gue sampe Lakey. You’d better rest now, karena besok kita punya obrolan penting.”

Sambungan telepon itu terputus. Dan dalam 27 tahun aku hidup di dunia ini, aku merasa menyesali seluruh kehidupan dan keputusanku ini. Lebih menyesal bahkan ketimbang menerima kekalahan atas persidangan beberapa hari silam.

˟˟˟˟˟

Langit mulai menjingga kala aku terduduk di hamparan pasirnya. Bau basah air asin makin menjadi kala Sang Surya kembali bersembunyi di balik bahari. Air yang mulai pasang membuat pasir-pasir halus sekitaran jemari kaki ini tergerus lepas ombaknya. Di sampingku, terduduk lelaki berperawakan tinggi masih lengkap dengan setelan kemeja dan dasi kerjanya.

Genta Cakrabima.

I assume it’s too obvious ya, Nay?” lelaki itu mulai angkat bicara. “Gue jadi atasan lo, gue jadi sahabat lo, gue ngasih tiket liburan ke bawahan gue yang lagi stress. Emang segitu keliatannya ya?”

Ya Tuhan, rasanya ingin sekali menenggelamkan diri di Lakey.

“Sebenernya gue pun gak pernah nge-plan kalau hari ini kejadian. Tapi mungkin emang udah ketauan, ya… so let me explain.

Aku terdiam, tak berani sejengkalpun menolehkan kepala untuk meliriknya.

Long ago ya, Nay, waktu lo masih jadi junior gue di UI, gue sering liat elo. Bisa dibilang, hampir tiap hari gue liat elo. I actually noticed you even. Nayara Sarasvati, mahasiswi fakultas hukum, selalu order morning tea instead of morning coffee, kalo lagi ada di perpustakaan buat ngerjain tugasnya selalu nguap abis-abisan waktu baca buku Undang Undang, Ketatanegaraan, KUHP, atau segala macem yang menyangkut bahasan anak hukum. Gue bahkan sadar lho, Nay, hukum itu gak benar-benar bidang lo.”

“Lalu gue lulus, gue kerja, gue usaha hingga akhirnya gue punya kantor advokat gue sendiri bahkan di usia semuda ini. Lalu tiba-tiba, gue kembali dipertemukan sama sosok lo, Nay. Dengan badan dan muka yang masih kaya maba yang baru lulus SMA, lo ngelamar kerja di kantor advokat gue. Dan lo tau apa? Gue sendiri kaget waktu liat nama lo di berkas pelamar pekerjaan, makanya hari itu gue turun tangan langsung buat wawancara elo.”

“Dari situ gue inget, Nay, lo mulai ini semua dari bawah. Di kantor gue. Which is a good thing for me karena gue ngerasa bangga dengan sosok lo yang udah menjadi bagian dari keluarga advokat yang gue bangun dari nol juga. Dan dari situ juga semuanya bermula; gue ngasih kerjaan ini itu ke elo yang waktu masih anak baru, gue yang mulai ngajak lo ikutserta dalam persidangan hanya agar lo bisa mulai belajar dengan suasana ruang sidang, gue yang mulai percayain kasus-kasus kecil ke elo. And see what you’ve become now, Nayara? Sejujurnya, itu adalah cara-cara kecil gue buat nunjukin semua ini.”

Ini apa, Ta?

“Beberapa tahun lalu, waktu gue masih belum jadi apa-apa. Gue ketemu Puja di salah satu law firm tempat gue kerja dulu. Kita jadi akrab dari situ, dan mulai membagi suka dukanya kerja jadi pengacara. Sampe satu hari kita mutusin buat pergi dan mulai perjalanan kita sendiri, kita sampai juga di tempat ini. Nama pantainya Lakey, Nya. Jujur gue sendiri gak sadar kalo setelahnya gue bakal ketemu sosok Carlos di sini lalu jatuh cinta dengan tempat ini. Dengan Yayasan Harapan Project nya ini, gue bisa ngeliat mata-mata penuh pengharapan itu dari warga sekitar sini. They love Carlos, Nay. Sampe akhirnya, Puja hengkang dari law firm hanya untuk bergabung dengan Carlos di tempat ini. Singkat ceritanya, Nay, tempat ini berubah dari nowhere and nothing jadi rumah juga hal yang membuat gue jatuh cinta lagi dan lagi.”

“Beberapa hari yang lalu, waktu denger kabar lo kalah dalam persidangan, gue tau banget otak lo bakal kacau amburadul karena satu kasus ini. Gue tau, Nay, elo itu besar di keluarga yang kacau balau. Almarhum bokap lo yang polisi itu meninggal ditembak seseorang anonim yang ternyata adalah perampok yang beberapa tahun sebelumnya bokap lo tangkep dengan tuduhan perampokan. Gue tau, Nay, lo jadi pengacara berbekal dengan luka lama kan? Lo jadi pengacara semata-mata karena lo ingin dilihat cukup dewasa untuk membela yang gak bersalah kan? I see that in you, Nay. Gue percaya itu.”

“Jadi saat gue tau pikiran lo bakal sekacau itu, gue beli tiket tercepat untuk lo liburan ke sini. Dan gue harap… gue harap setelah lo kenal Carlos, Pujangga, juga penduduk sekitar sini, lo bisa lihat, Nay, di luar sana masih banyak harapan bertebaran untuk kita percaya. And Carlos is definitely a living proof to that. Gue gak pernah kepikiran buat ngutarain semua ini ke elo, Nay. Because I guess I know what you would have said if I told you about this. Dan gue rasa gak ada jalan balik buat ini semua. Jadi gue harap, gue harap setidaknya kita masih bisa tetep temenan dan jadi atasan-bawahan yang professional. Nayara, gue—”

“Genta, lo tau gak sih lo itu cerita kaya lagi speech depan gue sama laut? You’re like having a speech for someone who’s being told by her office-partner about his feelings.” Mataku sejujurnya sudah berair sejak ia mulai bercerita. Namun lucunya kini aku hanya bisa tergelak halus mendengar selaanku sendiri. “Kemarin waktu ketemu Carlos, dia bilang aku ini orang yang spesial buat kamu. Puja juga bilang begitu, katanya aku ini perempuan pertama yang kamu kirim ke sini buat liburan. And I didn’t know if I should feel flattered for that or not. Yang jelas, setelah mereka ngomong gitu aku kepikiran kamu semalaman.”

“Nayara,” Genta memutar bola matanya kesal. Aku tau, ia benci bagaimana aku selalu menyela pembicaraannya. “Jangan aku-kamu ke gue, it feels weird to have you saying that to me.”

Lagi-lagi, aku tergelak. Ternyata untuk seukuran lelaki yang hampir berkepala tiga, seorang Genta itu kaku banget kalau udah ngomongin cinta-cintaan kaya gini, which is funny I guess. “Ta, tau gak sih? Kamu itu kayak bocah SMP baru ngerasain yang namanya jatuh cinta, di-aku-kamu-in sedikit aja langsung kaku gitu.”

Well that’s because you’re actually the second thing I fell in love with after this place, Nay. Jangan salahin kalo Genta yang selama ini lo kenal ternyata sekaku ini dalam urusan cinta-cintaan.”

Untuk kesekian kalinya, aku tergelak. Setelah kupikir-pikir lagi, Genta adalah lelaki termanis yang pernah aku kenal. Semua effort kecilnya, selalu berhasil membuatku tersenyum. “Nayara, it’s okay to be sad. Itu doang yang gue mau lo tau. Tapi harapan itu ada dimana-mana. Di kantor advokat kita; basically karena pengacara dan notaris yang kita punya adalah dewa dewi pemberi pengharapan bagi mereka yang hampir hilang kepercayaan, di ibukota kita Jakarta; yang walaupun kacau balau dengan segala ingar bingar kotanya tetap memberi harapan bagi kita semua untuk terus hidup dalam kekacauannya, ataupun di bagian lain negeri ini seperti di Lakey; gue mau lo tau harapan itu ada di mana-mana.”

“Indonesia itu luas, hebat, keren, Nay. Semuanya nyampur jadi satu. Dan tempat ini memang tempat yang gue janji ke diri gue sendiri bakal gue tunjukkin ke perempuan yang kelak mau gue ajak tua bareng. Alam Indonesia, Nay, kalo lo tau, dia nyimpen semua keadilan dan harapan bagi tiap manusianya. Cuma kitanya aja yang gak pernah lihat dengan seksama dan bersyukur dengan apa yang kita punya. Gue jatuh cinta sama tempat ini, Nay. Dengan semua ini, Nay. But please let me tell you one cheesiest thing I’m ever gonna say to you; I guess it’s you, Nay. I guess it’s you the first thing that crossed my mind when I think about this place. And I guess that’s because you’re the second thing I fell in love with after this place. I don’t want to be pushy or anything, tapi gue pengen lo tau kalau dengan membawa diri lo ke tempat ini juga adalah satu bentuk cara gue buat nunjukkin rasa yang gue punya buat elo.”

Aku terdiam. Benar-benar terdiam kala itu. Aku tak tau apa namanya ini. Proposal kah? Atau hanya gurauan kah? Aku sendiri tidak bisa memastikan. Namun yang pasti setelah aku memberanikan diri menatap Genta tepat di manik matanya, aku ingat ia kembali berkata, “Let’s get married, Nay. Gue tau ini terlalu cepet dan gue pun gak tau apa yang bakal lo bilang sebagai jawabannya. Gue tau mungkin lo gak pernah benar-benar notice gue dulu back then in Uni dan gue pun tau kalo sekarang pun lo gak pernah mikir buat mungkin end up and settle down with me. Tapi kemarin setelah gue pikir-pikir, mungkin gue harus coba. Dan kalaupun pada akhirnya lo nolak, gue rasa—”

“Genta, tau ucapan orang, just shut up and kiss me gak?” Genta melongo, nampak jelas wajah itu kaget dengan ucapanku. “Lo itu gak lagi pidato, Genta. So just shut up now and kiss me already, mkay?” Genta masih tetap terdiam melongo, saat pada akhirnya aku harus menarik kaus putih yang melekat di tubuh lelaki bidang itu hanya agar bibir itu dapat kuraih untuk kucumbu. Awalnya bibir itu tegang, namun setelah sepersekian detik berlalu aku sendiri bisa merasakan bibirnya yang masih bau asap rokok itu mulai melemas dan hanyut dalam sebuah ciuman itu. Di pertengahan, aku menghentikan aksi itu, tersenyum di tengah ciuman itu seraya berkata, “I want my proposal ring now, Genta. And please, no more gue-elo between us.

Ia mengerang patuh, menarik tubuh ini lebih dekat dan kembali mencumbuku dengan hangat. Namun sialnya, ia menghentikan aksi itu persis seperti yang aku lakukan sebelumnya. “Just in case you should know, Nay, I’ve been waiting for this my whole life. To have your body this close to mine, to have your lips this intimate in mine. Please stay like this, Nay. Just like this because you’re my new hope now.

Aku tersenyum, kembali menenggelamkan tubuh ini di balik pundak yang bidang itu. Kalau saja kamu tau, Ta, Genta itu artinya gema. Dan kamu itu tak pernah berhenti menjadi gema di telinga juga hati ini. Aku tau harapan itu ada dimana-mana. Tapi, Genta, kamulah definisi dari harapan itu sendiri. If only you knew that…









˟˟˟˟˟
idektatablake ® April 2016.
Mari dukung pengembangan Harapan Project dengan visit http://proyectoharapan.org/en dan kunjungi Lakey (bila ada kesempatan). Indahnya Indonesia gak hanya sekitaran Bali aja kok :) Ayo dukung terus pariwisata Indonesia dengan terus mengunjungi tempat-tempat pariwisata di Indonesia. [All the source comes from the video of Jalan-Jalan Men 2015 Edisi Sumbawa - Lakey Lakey Sejati Part 1 and Part 2]

3 komentar: