Jalan-jalan kota
Adelaide mulai dipadati manusia hari itu. Banyak dari mereka yang ingin datang
dan berkunjung ke WOMAdelaide, salah satu pagelaran musik, seni, dan budaya
terbesar di dunia yang diadakan setiap tahunnya di Adelaide. Botanic Park of Adelaide,
yang berada tepat di jantung kota, tak kalah ramainya dengan sudut-sudut jalan
kota lainnya. Langit Kota Adelaide yang sepagian tadi masih begitu cerah
membiru entah mengapa kini berubah kelabu. Banyak pasak-pasak tenda didirikan
demi menahan hujan yang mungkin akan segera tiba mengguyur.
Karena tengah menunggu
malam tiba untuk menonton acara musik yang akan diisi oleh berbagai musisi, aku
memilih untuk bersantai di sebuah kedai di persimpangan Rundle St. yang
jaraknya tak jauh dari Botanic Park tempat dimana festival musik akan
berlangsung. Sepagian aku datang dan terduduk gelisah, berharap cemas tentang
kemungkinan aku akan menemukannya atau tidak di tempat ini. Aku sendiri
sebenarnya tak tau apa yang tengah aku lakukan di tempat ini, jauh dari rumah,
jauh dari sahabat, jauh dari zona amanku.
Namun saat tau dirinya
akan berada di panggung pagelaran musik WOMAdelaide, aku segera membeli tiket
penerbangan tercepat dari Melbourne. Dan di sinilah diriku hari ini, berpikir
tentang kemungkinan apakah benar ia dan kawan-kawannya akan mengisi acara atau
tidak. Telepon genggam yang sepagian berdering karena teman-temanku yang
khawatir itupun akhirnya berhenti juga karena baterai yang mulai melemah.
Alhasil, aku hanya bisa puas dengan secangkir kopi hitam plain kesukaanku, sebuah jurnal yang biasa menemani hari-hariku
menulis, serta beberapa puluh dollar dalam tas Deuter tua yang kerapkali
menemani perjalanan tak terdugaku menuju antah berantah.
See
you one day, Nya. Mungkin saat gitar tua ini udah bisa buktiin kalo gue pantes
buat elo. One day.
Tiga kalimat. Lima
belas kata. Tujuh puluh satu karakter. Satu pesan singkat yang tak pernah aku
lupa isinya sejak lima tahun lalu, sejak keberangkatanku ke Melbourne untuk
pertama kalinya, sejak kali terakhir aku menginjakkan kaki di kota yang
membesarkan dan mempertemukanku dengan dirinya, sejak entah sudah berapa lama
kali terakhir aku mendengar kabar tentangnya. Oh, kabar mengenainya memang
kudapat beberapa waktu lalu, dari seorang sahabat lama di Jakarta yang kembali
mengirimiku surel sejak entah kapan terakhir kalinya. Ia bilang, sosok itu
telah menjelma menjadi seorang musisi dalam negeri yang dielu-elukan para
remaja karena ketampanannya. Katanya, sosoknya telah berubah menjadi musisi
bertalenta yang tak pernah habis ide akan musik-musik cemerlangnya. Katanya,
sosok itu telah lama digosipkan menyendiri karena tengah menunggu seseorang
kembali. Namun dari semua "katanya", apa itu mengusik pikiranku?
Tentu saja.
Namanya Rangga Zaky,
seorang lelaki berperawakan tubuh kecil, dengan tinggi 175 cm, berbibir tebal
dan kacamata yang dulu jarang sekali ia gunakan dengan alasan, "kacamata
ini bikin aku keliatan jelek, Nya". Aku bertemu untuk pertama kalinya di
sebuah festival sekolah saat ia mengisi acara dengan kawan-kawannya kala itu.
Singkat cerita; kami bertemu, kami jatuh cinta, kami berpisah. End of story. Sebuah tipikal cerita
cinta masa SMA yang mungkin seiring berjalannya waktu cerita itu akan menguap
begitu saja menjadi sebuah kenangan. Namun lantas apa yang membuat hati ini
masih tertaut pada sosok itu? Dengan jarak ratusan mil yang memisahkan, bisa
saja ia sudah bertemu sosok pengganti yang mampu mengobati luka lama itu.
Dengan kesuksesan yang kini telah ia dapat, bisa saja ia mencari siapapun yang
ia inginkan—mengencani para artis cantik itu, meniduri perempuan manapun yang
ia temui di bar, mencium model video klip yang akan menjadi perbincangan hangat
dalam negeri. Apapun. Tapi mengapa harus tetap sendiri dalam kesuksesannya itu?
Mungkin memang salahku,
yang hari itu berteriak ke arahnya karena dengan begitu egoisnya memintaku
tetap tinggal dan melihat dirinya sukses untukku. Atau mungkin memang salahnya,
yang dengan egoisnya memintaku tinggal tanpa memikirkan impian-impianku yang
bahkan belum tercapai sedikitpun. Mungkin memang kami, yang memiliki dua impian
berbeda namun menginginkan satu sama lain untuk tetap tinggal dan menyaksikan
sebuah kesuksesan salah satu dari kami tanpa memikirkan impian yang lain. Atau
mungkin memang aku, yang kala itu tidak pernah tau apa mimpiku dan iri
terhadapnya yang sudah sejak kecil bermimpi untuk menjadi musisi. Aku sendiri
tak pernah tau yang mana.
Tapi saat aku mendapat
kiriman surel hari itu, aku segera pergi.
Waktu telah menunjukkan
pukul 16:50 dan langit Adelaide belum menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan
berhenti menangis. Beberapa jam lalu, hujan turun dengan derasnya mengguyur
seisi kota, membuat mereka yang berada di venue
acara pontang panting kebingungan mencari tempat aman untuk berteduh dan
menjaga diri mereka tetap kering. Sedangkan aku, masih dengan santai menyesap
cangkir kopi hitam ketigaku yang kini mulai dingin. Mungkin aku rindu pada
sosoknya, bagaimana cangkir kopi hitamku selalu terasa senada lebih manis setelah
aku mencuri sesesap Earl Grey
favoritnya. Mungkin aku rindu pada akhir pekan yang selalu kami habiskan dengan
mengelilingi seisi kota Jakarta; Kota Tua, Senayan, Menteng, Kemang, Gading,
Tebet, Benhil, dan berbagai pelosok Jakarta lainnya yang menjadi saksi bisu indahnya
masa remaja kami. Mungkin juga aku rindu pada caranya mengirimiku sebait dua
bait lagu dalam voice note kala mood yang buruk menyerangku. God, I miss him that much.
Aku ingat kala
pertengkaran terakhir kami pecah begitu saja. Waktu terasa bergulir begitu
cepat bagai pasir putih yang tergerus ombak lepas pantai begitu saja. Hujan di
luar terasa begitu dingin dengan hawanya yang terasa seperti ratusan jarum yang
menusuk sekujur pori-pori tubuhku. Bibir itu terdiam, nampak jelas bahwa ada begitu
banyak hal yang ingin disampaikannya namun hanya berhasil disampaikan memalui
mata yang menatapku intens. Kalau suatu hari—atau mungkin hari ini—kita bertemu
lagi, apa kamu akan mengingat itu semua, Zaky?
"Miss, you've been here for a while. Aren't
you going to see the festival? The rain has stopped, the music festival's going
to start in a few minutes." Sesosok lelaki tua mid forties berambut kecoklatan yang aku yakini sebagai pemilik
kedai, menghampiri mejaku dan berkata dengan hangatnya. Yang selanjutnya
kubalas dengan sebuah senyum dan ucapan terimakasih karena telah mengingatkan.
Dan setelah membereskan barang-barang, akupun bergegas meninggalkan kedai yang
sedaritadi kutumpangi sebagai tempat menunggu.
Langit Kota Adelaide
kala itu sudah mulai menjingga, bersatu dengan bau basah sehabis hujan
sesiangan tadi dan aroma rempah kudapan-kudapan yang tersedia di stand makanan di kanan kiri jalan. Aku
menengadah, mendapati satu lagi momen cantik yang mengingatkanku akan
sosoknya—sosok yang dulu pernah menemaniku berkendara sembilan jam lamanya
Jakarta - Pelabuhan Ratu demi melihat sunset
indah di Pantai Karang Hawu. Langit jingga yang tengah kulihat mungkin berbeda
dari langit yang dulu pernah kami lihat bersama, namun memikirkan bahwa mungkin kini sosoknya tengah melihat
langit yang sama denganku membuat hati ini kembali ngilu karena perasaan rindu
itu. Dan dengan segenap kegilaan yang menyusup tubuhku, aku mengeluarkan
telepon genggam itu dan mengetikkan beberapa kata singkat, lalu mengirimkannya
ke sebuah nomor lama yang masih tersimpan di dalam kontak tanpa pernah tau apakah
nomor itu masih aktif atau tidak.
Sent.
I
hope you see that, dickhead.
˟˟˟˟˟
Pesawat yang delay beberapa jam karena perkiraan
cuaca buruk di Adelaide itu membuat Iqbal, kawan satu band gue itu
uring-uringan setengah mampus. Entah sudah berbagai macam cara kami kerahkan
untuk membuat dia stay sane hingga
akhirnya pesawat kami kembali on board
dan dapat membawa kami terbang menuju Adelaide dengan selamat. Perjalanan
tengah malam yang hampir memakan waktu lebih dari 7 jam itu jelas membuat
sekujur tubuh gue remuk. Seorang Zaky yang mungkin suka banget travelling selalu benci konsep
mengambang bebas di udara tanpa tau kepastian apa kami semua akan sampai dengan
selamat atau tidak. Selama ini, gue benci terbang. Hingga akhirnya gue bertemu
dengan satu perempuan dari masa lalu yang mengajarkan gue bahwa terbang memang
tidak semenakutkan itu, akhirnya phobia
gue akan terbang berkurang sedikit demi sedikit. Walau pada akhirnya saat sosok
itu pergi ninggalin gue begitu aja, gue kembali membenci konsep terbang dan
mengambang bebas di udara itu.
Namun persetan dengan
terbang dan perempuan yang gue sebut-sebut tadi, karena saat gue sampai di
kamar hotel yang memang jaraknya tidak jauh dari pusat Kota Adelaide, gue pun
segera merebahkan diri di kasur yang rasanya lebih empuk dari marshmallow.
"Zaky, hape lo
nyala!" Sapta, sahabat yang merangkap sebagai manager band kami mulai
pontang panting kewalahan dengan kami semua yang mulai irresponsible dengan koper-koper kami yang tergeletak begitu saja
sesaat kami sampai di kamar hotel dan bertemu dengan kasur.
Gue menengadah,
mendapati begitu banyak pesan masuk dari berbagai wanita yang bahkan gak gue
ingat wajahnya. "Gak penting, Ta. Udah beresin barang kita aja, baru abis
itu tidur-tidur unyu bareng."
Sapta menggeleng nampak
kesal. "Dasar homo. Dikira gue babu kali ya, kerja keras gue jadi manager
dihargain sama kaya pembantu."
Iqbal yang kala itu
sudah setengah terlelap seketika tertawa mendengar Sapta, yang kemudian diikuti
oleh gelak Gilang dan Seno. "Ta, behind
a great band, there's always a great manager. Jauh-jauh sampe ke Adelaide dengan
gue uring-uringan, harusnya lo bangga bisa bawa band kita sampe negara
orang." Iqbal tiba-tiba saja mengeluarkan sejurus ucapan saktinya yang gak
bisa gue pungkiri ada benernya juga.
"Berhubung lo
bilang gue great manager, Bal,
mending kalian siap-siap. Nanti jam lima sore kita harus langsung caw ke venue buat rehearsal. Harus gue ingetin lagi ya, guys, no time for fooling
around. Kalo setelahnya kalian mau ngapa-ngapain, baru boleh. For now, jaga stamina aja dulu."
"Ta, kita tau lo
segitu sayangnya sama kita. But let us get
some sleep, will you?" ucap Seno menimpali.
Yang lagi-lagi hanya
bisa dibalas dengan gelengan kepala pasrah oleh Sapta. "Udah jauh-jauh gue
bawa kalian sampe Aussie, tapi kelakuan tetep kaya gini. Bingung gue kenapa
kalian bisa terkenal dengan kelakuan urakan gini."
Dan gue pun hanya bisa
tertawa mendengarnya, bangkit dari tempat gue tertidur dan segera menuju balkon
kamar untuk menyesap sebatang rokok yang sejak kemarin berangkat belum sempat
gue konsumsi satu pun. This is it,
satu lagi pencapaian gue di usia keduapuluhdua yang kadang masih sering
membuat gue teringat akan sosoknya—sosok yang entah bagaimana selalu menjadi
bagian terkelam dalam hidup gue yang selalu pengen gue cari dan buktikan
tentang semua ini.
Namanya Tanya
Darmawangsa, berambut hitam mahogani sepundak, berbibir tipis pucat, dengan perawakan
mungil dan tinggi tak sampai 160 cm itu membuat mata bulatnya nampak seperti sorot
mata anak berusia lima tahun yang gak pernah bisa gue lupa. Langit Adelaide
siang itu nampak kelabu. Mungkin akan hujan beberapa saat lagi, entahlah. Namun
gue kembali melanjutkan ritual mengisap rokok demi menghilangkan pusing hasil jet lag karena baru sampai. Langit
Adelaide ya… apa kira-kira Anya lagi di Adelaide? Atau mungkin masih dengan
bahagianya menulis bait demi bait prosa di sebuah apartemen nyamannya di
Melbourne? Kalau aja gue bisa kabur sekarang juga, dengan jarak yang hanya
beberap mil jauhnya ini, gue akan nyusul Anya ke Melbourne saat ini juga. But I couldn't, can I?
Isapan rokok yang
sedari awal bertujuan untuk menghilangkan pusing entah mengapa seketika menjelma menjadi
alasan penghilang stress. Lima tahun sudah berlalu dan gue bahkan masih belum
bisa lupa perempuan brengsek satu itu. Perempuan yang dulu gak pernah absen dateng
ke berbagai gig manggung gue, perempuan
yang dengan imutnya kerapkali datang ke rumah pagi-pagi dengan bawain bekal
makanan untuk gue yang pada akhirnya habis karena dimakan Bunda, perempuan yang dulu
merupakan cinta pertama gue, perempuan yang hingga kini masih gak pernah bisa
gue lupa rasa bibirnya itu. Vanilla, rasa bibir yang selalu gue ingat itu.
Brengsek, bahkan setelah sekian tahun lamanya, ingatan kecil tentang dia masih begitu
padat melekat.
Asap rokok itu mengepul
bebas di udara, menguap tak teratur dari hidung gue yang mulai tak keruan irama
napasnya. Bagaimana gue bisa lupa, saat kenyataannya dia adalah perempuan
pertama yang gue ajak serius di usia semuda itu namun pergi menghilang begitu
saja saat gue sedang mencoba untuk menghasilkan materi untuk masa depan gue dan
dia kelak? Persetan. Setelah dia, gue lupa sudah berapa banyak perempuan yang
gue kencani dari pertemuan gue di bar, yang lalu berakhir dengan one night stand yang bahkan buat gue selalu
terasa hambar.
Kadang gue sering
berandai-andai, apa yang akan terjadi kalau dia kembali. Mungkin gue akan
berlutut meminta kesempatan kedua. Atau mungkin gue akan menatap mata itu
dengan dinginnya karena ternyata perasaan mengendap yang tertinggal selama ini ternyata
hanyalah ilusi semata. Mungkin gue akan menangis dan memeluk tubuh mungil itu.
Atau mungkin gue akan memaki sosok yang dulu begitu gue sayang karena ternyata
rindu yang selama ini gue rasakan hanyalah kebencian yang sedang menunggu untuk
diluapkan. Gue gak pernah tau. Tapi sosoknya, God only knows, adalah sosok pertama yang sangat ingin gue hubungi
ketika gue tau akan mengisi acara di Adelaide.
Setetes demi setetes
hujan kini mulai menemani senyap yang gue rasakan. Rokok dan hujan. Satu
perpaduan yang entah kenapa selalu gue suka. Dan kalau aja Anya ada di sini,
gue yakin dia akan membuat secangkir kopi hitam plain tanpa gula untuknya dan secangkir Earl Grey tea untuk gue lengkap dengan tiga sendok teh gula yang
selalu ia ingat. Lalu kami akan berbincang—tanpa rokok tentunya—dan membicarakan
apapun yang dapat kami bicarakan kala hujan masih menggelayuti hari. Sebelum
rokok, dia adalah tembakau yang membuat gue candu. Dan gue selalu ingat hari
itu, hari saat Ayahandanya meninggal karena kanker paru-paru yang dideritanya.
Sejak itu, ia selalu benci orang-orang yang menyakiti diri mereka sendiri dengan merokok.
Tapi tolong jangan salahkan gue, karena setelah sosoknya, gue bahkan tidak tau
apa lagi yang bisa membuat gue secandu ini selain rokok. Setelah Anya, buat
gue rokok adalah sebuah teman, sebuah jawaban atas malam-malam kesepian gue behind the closed door.
Damn
you, Nya.
Gue kembali menyalakan
batang kelima gue saat hujan sedikit demi sedikit sudah mereda. Di dalam, Sapta
mulai sibuk membangunkan para lelaki hidung belang yang gue sebut sahabat itu.
Di sini, gue masih terdiam dengan rokok yang selalu membuat gue candu tanpa
adanya gangguan sedikitpun dari Sapta. Gue tau, sebenarnya merekapun tau apa
yang gue rasain sekarang ini. Dan mungkin hal ini terdengar begitu homo jika gue
mengucapkannya, tapi gue pun begitu sadar bahwa deep down mereka mengerti tentang permasalahan gue yang masih belum
bisa getting over seorang Anya. Dan mungkin
terkadang hal ini membuat gue senang, karena saat gue membutuhkan waktu sendiri
mereka mengerti untuk segera memberi jarak. Seperti saat ini, gue mengerti
kalau Sapta pun sedang memberi gue jarak sampai otak gue cukup waras kembali.
Tapi oh, mungkin gak
juga. Karena saat gue berpikir begitu, pintu balkon terbuka dengan Sapta yang
berdiri di ambang pintu dengan sebuah telepon genggam gue dalam genggamannya dan berkata,
"Hape lo berisik, Zak. Silent
aja kalo bisa, ato lo buka-bukain dulu itu chat dari cewe-cewe simpenan lo itu
trus lo block semua kontak gak
penting itu. Cape gue denger notif dari hape lo yang krang kring krang kring mulu."
Gue hanya bisa tergelak
ringan mendengar keluhan manager kesayangan gue yang satu itu dan menerima
dengan pasrah sebuah telepon genggam yang mungkin sudah sedari dulu menjadi
akar permasalahan atas keluhannya. Gue pun segera menghapus setiap chat gak penting itu dan memblokir semua
kontak para perempuan yang gak pernah benar-benar gue kenal itu. Namun satu
pesan singkat itu bersembunyi diantara ratusan notifikasi tak berujung itu.
Sebuah nomor lokal yang bahkan gak pernah gue tau sebelumnya. Isinya hanya
sebuah kalimat sederhana dengan delapan kata yang entah mengapa membuat gue
kenal betul dengan tulisan si pengirimnya.
Dada gue tercekat,
masih tak percaya dengan pesan yang baru aja gue terima.
Is
that really you, Nya?
˟˟˟˟˟
He's
there. He's really there.
Entah mengapa, aku
merasakan sebuah perasaan hangat familiar yang entah sudah berapa lama tidak
aku rasakan. Aku rindu sosoknya, itu sudah pasti tak dapat kupungkiri. Lelaki
itu masih tetap sama, dengan tubuh kurus dan tingginya, serta suara merdu yang
masih berhasil menggetarkan hatiku, kini ia hanya memiliki rambut yang sedikit
panjang saja dari terakhir kali aku melihatnya. Apa ia melihatku? Sejujurnya
aku ragu karena Botanic Park yang digunakan untuk pagelaran musik festival
WOMAdelaide dipadati ribuan manusia. Dan memang mustahil jika ia dapat
menemukanku di tengah lautan manusia ini. Apa ia menerima pesanku? Ah, yang
satu itu aku hampir saja ragu jika saja aku tidak mendapat balasan sesingkat,
Meet
me in the backstage, we have a lot to talk.
Dan entah mengapa,
balasan itu lebih nampak seperti sebuah perintah ketimbang gagasan untuk
kembali bersua. Aku sendiri ragu jika perasaan itu masih ada. Lagipula, untuk
apa mengingat perempuan bodoh yang dengan pengecutnya pergi menghilang saat ia sedang
berusaha membangun sebuah komitmen denganku? If only you knew how much I still love and think about you, Zak.
˟˟˟˟˟
Setelah acara selesai,
gue segera pamit ke Sapta untuk kabur dengan Anya semalaman. Gue memang pernah
berlibur ke Adelaide beberapa kali sampai gue masih hafal jalan-jalan apa saja
yang harus gue tempuh dan transportasi apa saja yang harus gue gunakan. Tadi
malam, sesaat setelah gue turun panggung dengan kalap karena gak bisa nemuin
sosoknya ditengah lautan manusia, gue akhirnya kembali menemukan sosok brengsek
itu di belakang panggung. Perempuan brengsek yang masih sama cantiknya dengan saat terakhir kali gue
melihatnya. Perempuan brengsek yang masih bertubuh mungil itu. Perempuan brengsek yang masih memiliki hati gue
sampai detik ini. Dengan kalap, gue berlari ke arahnya dan mendekap tubuh itu
erat seaakan gue gak rela if she slipped
away for one more time. Dan setelah beberapa saat gue merasa cukup, gue pun
akhirnya berpamitan kepada rekan gue untuk cabut dengan perempuan brengsek ini,
perempuan yang tangannya tengah gue genggam erat di dalam trem yang tengah
membawa kami menuju alun-alun Moseley Square, seakan gue takut bahwa dia akan
berlari pergi untuk kedua kalinya.
Namun Anya hanya
bergeming di tempatnya sedari tadi berdiri, tak mengeluarkan suara sedikitpun
ataupun perlawanan untuk melepaskan genggaman gue yang begitu erat. Kami pun
belum berbicara sepatah kata sedikitpun, hanya gestur-gestur sederhana yang
menjadi cara kami berkomunikasi. Dengan genggaman gue yang mungkin terlalu
erat, dengan lengan kanannya yang melingkar di tangan kanan gue, dengan lengan gue
yang kemudian merengkuh tubuh mungil itu kedalam dekapan gue, dengan dia yang
kemudian bersandar hangat dalam dekapan gue. Vanilla, bahkan wangi itu masih
tetap sama. Gue gak pernah tau apa itu parfumnya, ataupun shampoo dan sabun yang ia
gunakan. Namun wangi itu selalu membuat gue candu, seakan rokok yang selama ini
menemani hari-hari kesepian gue gak pernah eksis.
Sampai akhirnya kami
turun di pemberhentian Moseley Square tepat di alun-alun, kami melanjutkan
perjalanan lewat tengah malam itu dengan berjalan kaki menuju Glenelg Beach.
Gue ingat, dulu sekali, gue pernah berjanji gue akan membawanya berkeliling
Indonesia suatu hari nanti. Dan karena janji itu sudah terlalu lama, mungkin
hanya ini yang bisa gue beri untuk Anya. Kami pun terduduk di atas pasir putih
dengan memandang langit malam Kota Adelaide yang berbintang. She's here. She's right here and I can't
believe it.
Setelah beberapa saat
masih memproses bahwa sosok yang berada di samping gue kini adalah Anya, gue pun
memberanikan diri untuk mengeluarkan suara yang masih tercekat.
"Nya…" Perempuan itu menoleh. "I know it's too late but—"
"—no, I'm sorry…" Anya memotong,
menatap mata gue lekat dengan sepasang mata bulat itu. Persis seperti bocah
yang merasa bersalah karena menghancurkan pekerjaan ayahnya. "… for everything I've done to you, for
leaving you, for being a coward and running away. For everything, Zak. Forgive
me, will you?"
Gue
bahkan udah maafin elo jauh sebelum hari ini, Nya.
"Nya, gue udah
sukses. See? Gue udah jadi musisi
seperti yang gue impi-impikan dulu. Gak ada yang perlu dimaafkan."
Anya menggeleng pelan.
"Kamu, kamu lakuin itu semua buat buktiin ke aku kalo kamu mampu. Tapi aku
apa? Bahkan di sini aku belum bisa menghasilkan apapun untuk ditunjukkin ke
kamu kalo aku juga mampu."
"Nya, dengan lo
mampu nunggu gue aja itu udah cukup, Nya. Can't
you see?All these songs, Nya." Gue bisa melihat rautnya yang tertegun.
"Waktu kemarin tau bakal ada gig
di Adelaide, I've been meaning to call
you soon. But we're in different times and you might not be home. Jadi gue
cuma bisa ngerasa puas buat mikir, somewhere
in Aussie, lo ada dan kita sedang menginjakkan kaki di benua yang sama. Dan
gue cuma bisa berandai, mungkin saat ini kita lagi mandang langit yang sama.
Entah lo di Melbourne atau dimanapun lo berada kemarin waktu gue tiba."
"Zaky…"
"Besok, saat kita
balik ke kota, lo balik ke Melbourne, mungkin gue juga akan balik ke Jakarta. I'll fly away tomorrow, Nya. But I'll admit a cliché that things won't be
the same without you."
"Then what, Zak? Setelah ini kita
apa?"
Gue menarik tubuh itu
lebih erat kedalam dekapan gue, membiarkan langit subuh kala itu mulai berubah
warna. Terkadang gue rindu, dengan hal-hal kecil yang biasa kami lakukan,
dengan tubuh kecil yang dengan sangat mudah gue kalahkan, dengan harum vanilla yang
selalu melekat di tubuh perempuan ini, dengan aroma kopi hitam yang menjadi teman setianya. God,
I miss her too much.
Gue tidak menjawab
pertanyaannya itu. Dan rasanya Anya sendiri mengerti jawaban dari pertanyaannya
sendiri. Karena alih-alih menangih jawaban, ia mendongak dan menatap gue seraya
bertanya, "Zaky, gimana kamu tau pesan itu dari aku?"
Gue tersenyum simpul,
mengingat isi pesan yang berisi sebuah potongan lagu yang dulu sering kami dendangkan
bersama. Judulnya Adelaide Sky, waktu itu gue tulis lagu itu dalam perjalanan gue
menuju Adelaide beberapa tahun lalu saat gue harus meninggalkan Anya sendiri di
Jakarta. Delapan kata dan satu kalimat yang begitu gue kenal,
Would
you be kind enough to remember, Zak?
#nowplaying: Adhitia Sofyan - Adelaide Sky
idektatablake ® February 2016.
It's been a long time, hasn't it? I miss this blog already. After a few months of going through a battle field of writer's block, I'm finally able to write something properly. Today, this story is dedicated to those guys whose band's name I didn't mention. Let's just say I know you guys. So if you ever found this writing, I hope you like it just as much.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar