Rabu, 17 Februari 2016

Adelaide Sky.

Jalan-jalan kota Adelaide mulai dipadati manusia hari itu. Banyak dari mereka yang ingin datang dan berkunjung ke WOMAdelaide, salah satu pagelaran musik, seni, dan budaya terbesar di dunia yang diadakan setiap tahunnya di Adelaide. Botanic Park of Adelaide, yang berada tepat di jantung kota, tak kalah ramainya dengan sudut-sudut jalan kota lainnya. Langit Kota Adelaide yang sepagian tadi masih begitu cerah membiru entah mengapa kini berubah kelabu. Banyak pasak-pasak tenda didirikan demi menahan hujan yang mungkin akan segera tiba mengguyur.

Karena tengah menunggu malam tiba untuk menonton acara musik yang akan diisi oleh berbagai musisi, aku memilih untuk bersantai di sebuah kedai di persimpangan Rundle St. yang jaraknya tak jauh dari Botanic Park tempat dimana festival musik akan berlangsung. Sepagian aku datang dan terduduk gelisah, berharap cemas tentang kemungkinan aku akan menemukannya atau tidak di tempat ini. Aku sendiri sebenarnya tak tau apa yang tengah aku lakukan di tempat ini, jauh dari rumah, jauh dari sahabat, jauh dari zona amanku.

Namun saat tau dirinya akan berada di panggung pagelaran musik WOMAdelaide, aku segera membeli tiket penerbangan tercepat dari Melbourne. Dan di sinilah diriku hari ini, berpikir tentang kemungkinan apakah benar ia dan kawan-kawannya akan mengisi acara atau tidak. Telepon genggam yang sepagian berdering karena teman-temanku yang khawatir itupun akhirnya berhenti juga karena baterai yang mulai melemah. Alhasil, aku hanya bisa puas dengan secangkir kopi hitam plain kesukaanku, sebuah jurnal yang biasa menemani hari-hariku menulis, serta beberapa puluh dollar dalam tas Deuter tua yang kerapkali menemani perjalanan tak terdugaku menuju antah berantah.

See you one day, Nya. Mungkin saat gitar tua ini udah bisa buktiin kalo gue pantes buat elo. One day.

Tiga kalimat. Lima belas kata. Tujuh puluh satu karakter. Satu pesan singkat yang tak pernah aku lupa isinya sejak lima tahun lalu, sejak keberangkatanku ke Melbourne untuk pertama kalinya, sejak kali terakhir aku menginjakkan kaki di kota yang membesarkan dan mempertemukanku dengan dirinya, sejak entah sudah berapa lama kali terakhir aku mendengar kabar tentangnya. Oh, kabar mengenainya memang kudapat beberapa waktu lalu, dari seorang sahabat lama di Jakarta yang kembali mengirimiku surel sejak entah kapan terakhir kalinya. Ia bilang, sosok itu telah menjelma menjadi seorang musisi dalam negeri yang dielu-elukan para remaja karena ketampanannya. Katanya, sosoknya telah berubah menjadi musisi bertalenta yang tak pernah habis ide akan musik-musik cemerlangnya. Katanya, sosok itu telah lama digosipkan menyendiri karena tengah menunggu seseorang kembali. Namun dari semua "katanya", apa itu mengusik pikiranku?

Tentu saja.

Namanya Rangga Zaky, seorang lelaki berperawakan tubuh kecil, dengan tinggi 175 cm, berbibir tebal dan kacamata yang dulu jarang sekali ia gunakan dengan alasan, "kacamata ini bikin aku keliatan jelek, Nya". Aku bertemu untuk pertama kalinya di sebuah festival sekolah saat ia mengisi acara dengan kawan-kawannya kala itu. Singkat cerita; kami bertemu, kami jatuh cinta, kami berpisah. End of story. Sebuah tipikal cerita cinta masa SMA yang mungkin seiring berjalannya waktu cerita itu akan menguap begitu saja menjadi sebuah kenangan. Namun lantas apa yang membuat hati ini masih tertaut pada sosok itu? Dengan jarak ratusan mil yang memisahkan, bisa saja ia sudah bertemu sosok pengganti yang mampu mengobati luka lama itu. Dengan kesuksesan yang kini telah ia dapat, bisa saja ia mencari siapapun yang ia inginkan—mengencani para artis cantik itu, meniduri perempuan manapun yang ia temui di bar, mencium model video klip yang akan menjadi perbincangan hangat dalam negeri. Apapun. Tapi mengapa harus tetap sendiri dalam kesuksesannya itu?

Mungkin memang salahku, yang hari itu berteriak ke arahnya karena dengan begitu egoisnya memintaku tetap tinggal dan melihat dirinya sukses untukku. Atau mungkin memang salahnya, yang dengan egoisnya memintaku tinggal tanpa memikirkan impian-impianku yang bahkan belum tercapai sedikitpun. Mungkin memang kami, yang memiliki dua impian berbeda namun menginginkan satu sama lain untuk tetap tinggal dan menyaksikan sebuah kesuksesan salah satu dari kami tanpa memikirkan impian yang lain. Atau mungkin memang aku, yang kala itu tidak pernah tau apa mimpiku dan iri terhadapnya yang sudah sejak kecil bermimpi untuk menjadi musisi. Aku sendiri tak pernah tau yang mana.

Tapi saat aku mendapat kiriman surel hari itu, aku segera pergi.

Waktu telah menunjukkan pukul 16:50 dan langit Adelaide belum menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan berhenti menangis. Beberapa jam lalu, hujan turun dengan derasnya mengguyur seisi kota, membuat mereka yang berada di venue acara pontang panting kebingungan mencari tempat aman untuk berteduh dan menjaga diri mereka tetap kering. Sedangkan aku, masih dengan santai menyesap cangkir kopi hitam ketigaku yang kini mulai dingin. Mungkin aku rindu pada sosoknya, bagaimana cangkir kopi hitamku selalu terasa senada lebih manis setelah aku mencuri sesesap Earl Grey favoritnya. Mungkin aku rindu pada akhir pekan yang selalu kami habiskan dengan mengelilingi seisi kota Jakarta; Kota Tua, Senayan, Menteng, Kemang, Gading, Tebet, Benhil, dan berbagai pelosok Jakarta lainnya yang menjadi saksi bisu indahnya masa remaja kami. Mungkin juga aku rindu pada caranya mengirimiku sebait dua bait lagu dalam voice note kala mood yang buruk menyerangku. God, I miss him that much.

Aku ingat kala pertengkaran terakhir kami pecah begitu saja. Waktu terasa bergulir begitu cepat bagai pasir putih yang tergerus ombak lepas pantai begitu saja. Hujan di luar terasa begitu dingin dengan hawanya yang terasa seperti ratusan jarum yang menusuk sekujur pori-pori tubuhku. Bibir itu terdiam, nampak jelas bahwa ada begitu banyak hal yang ingin disampaikannya namun hanya berhasil disampaikan memalui mata yang menatapku intens. Kalau suatu hari—atau mungkin hari ini—kita bertemu lagi, apa kamu akan mengingat itu semua, Zaky?

"Miss, you've been here for a while. Aren't you going to see the festival? The rain has stopped, the music festival's going to start in a few minutes." Sesosok lelaki tua mid forties berambut kecoklatan yang aku yakini sebagai pemilik kedai, menghampiri mejaku dan berkata dengan hangatnya. Yang selanjutnya kubalas dengan sebuah senyum dan ucapan terimakasih karena telah mengingatkan. Dan setelah membereskan barang-barang, akupun bergegas meninggalkan kedai yang sedaritadi kutumpangi sebagai tempat menunggu.

Langit Kota Adelaide kala itu sudah mulai menjingga, bersatu dengan bau basah sehabis hujan sesiangan tadi dan aroma rempah kudapan-kudapan yang tersedia di stand makanan di kanan kiri jalan. Aku menengadah, mendapati satu lagi momen cantik yang mengingatkanku akan sosoknya—sosok yang dulu pernah menemaniku berkendara sembilan jam lamanya Jakarta - Pelabuhan Ratu demi melihat sunset indah di Pantai Karang Hawu. Langit jingga yang tengah kulihat mungkin berbeda dari langit yang dulu pernah kami lihat bersama, namun memikirkan bahwa mungkin kini sosoknya tengah melihat langit yang sama denganku membuat hati ini kembali ngilu karena perasaan rindu itu. Dan dengan segenap kegilaan yang menyusup tubuhku, aku mengeluarkan telepon genggam itu dan mengetikkan beberapa kata singkat, lalu mengirimkannya ke sebuah nomor lama yang masih tersimpan di dalam kontak tanpa pernah tau apakah nomor itu masih aktif atau tidak.

Sent.

I hope you see that, dickhead.

˟˟˟˟˟

Pesawat yang delay beberapa jam karena perkiraan cuaca buruk di Adelaide itu membuat Iqbal, kawan satu band gue itu uring-uringan setengah mampus. Entah sudah berbagai macam cara kami kerahkan untuk membuat dia stay sane hingga akhirnya pesawat kami kembali on board dan dapat membawa kami terbang menuju Adelaide dengan selamat. Perjalanan tengah malam yang hampir memakan waktu lebih dari 7 jam itu jelas membuat sekujur tubuh gue remuk. Seorang Zaky yang mungkin suka banget travelling selalu benci konsep mengambang bebas di udara tanpa tau kepastian apa kami semua akan sampai dengan selamat atau tidak. Selama ini, gue benci terbang. Hingga akhirnya gue bertemu dengan satu perempuan dari masa lalu yang mengajarkan gue bahwa terbang memang tidak semenakutkan itu, akhirnya phobia gue akan terbang berkurang sedikit demi sedikit. Walau pada akhirnya saat sosok itu pergi ninggalin gue begitu aja, gue kembali membenci konsep terbang dan mengambang bebas di udara itu.

Namun persetan dengan terbang dan perempuan yang gue sebut-sebut tadi, karena saat gue sampai di kamar hotel yang memang jaraknya tidak jauh dari pusat Kota Adelaide, gue pun segera merebahkan diri di kasur yang rasanya lebih empuk dari marshmallow.

"Zaky, hape lo nyala!" Sapta, sahabat yang merangkap sebagai manager band kami mulai pontang panting kewalahan dengan kami semua yang mulai irresponsible dengan koper-koper kami yang tergeletak begitu saja sesaat kami sampai di kamar hotel dan bertemu dengan kasur.

Gue menengadah, mendapati begitu banyak pesan masuk dari berbagai wanita yang bahkan gak gue ingat wajahnya. "Gak penting, Ta. Udah beresin barang kita aja, baru abis itu tidur-tidur unyu bareng."

Sapta menggeleng nampak kesal. "Dasar homo. Dikira gue babu kali ya, kerja keras gue jadi manager dihargain sama kaya pembantu."

Iqbal yang kala itu sudah setengah terlelap seketika tertawa mendengar Sapta, yang kemudian diikuti oleh gelak Gilang dan Seno. "Ta, behind a great band, there's always a great manager. Jauh-jauh sampe ke Adelaide dengan gue uring-uringan, harusnya lo bangga bisa bawa band kita sampe negara orang." Iqbal tiba-tiba saja mengeluarkan sejurus ucapan saktinya yang gak bisa gue pungkiri ada benernya juga.

"Berhubung lo bilang gue great manager, Bal, mending kalian siap-siap. Nanti jam lima sore kita harus langsung caw ke venue buat rehearsal. Harus gue ingetin lagi ya, guys, no time for fooling around. Kalo setelahnya kalian mau ngapa-ngapain, baru boleh. For now, jaga stamina aja dulu."

"Ta, kita tau lo segitu sayangnya sama kita. But let us get some sleep, will you?" ucap Seno menimpali.

Yang lagi-lagi hanya bisa dibalas dengan gelengan kepala pasrah oleh Sapta. "Udah jauh-jauh gue bawa kalian sampe Aussie, tapi kelakuan tetep kaya gini. Bingung gue kenapa kalian bisa terkenal dengan kelakuan urakan gini."

Dan gue pun hanya bisa tertawa mendengarnya, bangkit dari tempat gue tertidur dan segera menuju balkon kamar untuk menyesap sebatang rokok yang sejak kemarin berangkat belum sempat gue konsumsi satu pun. This is it, satu lagi pencapaian gue di usia keduapuluhdua yang kadang masih sering membuat gue teringat akan sosoknya—sosok yang entah bagaimana selalu menjadi bagian terkelam dalam hidup gue yang selalu pengen gue cari dan buktikan tentang semua ini.

Namanya Tanya Darmawangsa, berambut hitam mahogani sepundak, berbibir tipis pucat, dengan perawakan mungil dan tinggi tak sampai 160 cm itu membuat mata bulatnya nampak seperti sorot mata anak berusia lima tahun yang gak pernah bisa gue lupa. Langit Adelaide siang itu nampak kelabu. Mungkin akan hujan beberapa saat lagi, entahlah. Namun gue kembali melanjutkan ritual mengisap rokok demi menghilangkan pusing hasil jet lag karena baru sampai. Langit Adelaide ya… apa kira-kira Anya lagi di Adelaide? Atau mungkin masih dengan bahagianya menulis bait demi bait prosa di sebuah apartemen nyamannya di Melbourne? Kalau aja gue bisa kabur sekarang juga, dengan jarak yang hanya beberap mil jauhnya ini, gue akan nyusul Anya ke Melbourne saat ini juga. But I couldn't, can I?

Isapan rokok yang sedari awal bertujuan untuk menghilangkan pusing entah mengapa seketika menjelma menjadi alasan penghilang stress. Lima tahun sudah berlalu dan gue bahkan masih belum bisa lupa perempuan brengsek satu itu. Perempuan yang dulu gak pernah absen dateng ke berbagai gig manggung gue, perempuan yang dengan imutnya kerapkali datang ke rumah pagi-pagi dengan bawain bekal makanan untuk gue yang pada akhirnya habis karena dimakan Bunda, perempuan yang dulu merupakan cinta pertama gue, perempuan yang hingga kini masih gak pernah bisa gue lupa rasa bibirnya itu. Vanilla, rasa bibir yang selalu gue ingat itu. Brengsek, bahkan setelah sekian tahun lamanya, ingatan kecil tentang dia masih begitu padat melekat.

Asap rokok itu mengepul bebas di udara, menguap tak teratur dari hidung gue yang mulai tak keruan irama napasnya. Bagaimana gue bisa lupa, saat kenyataannya dia adalah perempuan pertama yang gue ajak serius di usia semuda itu namun pergi menghilang begitu saja saat gue sedang mencoba untuk menghasilkan materi untuk masa depan gue dan dia kelak? Persetan. Setelah dia, gue lupa sudah berapa banyak perempuan yang gue kencani dari pertemuan gue di bar, yang lalu berakhir dengan one night stand yang bahkan buat gue selalu terasa hambar.

Kadang gue sering berandai-andai, apa yang akan terjadi kalau dia kembali. Mungkin gue akan berlutut meminta kesempatan kedua. Atau mungkin gue akan menatap mata itu dengan dinginnya karena ternyata perasaan mengendap yang tertinggal selama ini ternyata hanyalah ilusi semata. Mungkin gue akan menangis dan memeluk tubuh mungil itu. Atau mungkin gue akan memaki sosok yang dulu begitu gue sayang karena ternyata rindu yang selama ini gue rasakan hanyalah kebencian yang sedang menunggu untuk diluapkan. Gue gak pernah tau. Tapi sosoknya, God only knows, adalah sosok pertama yang sangat ingin gue hubungi ketika gue tau akan mengisi acara di Adelaide.

Setetes demi setetes hujan kini mulai menemani senyap yang gue rasakan. Rokok dan hujan. Satu perpaduan yang entah kenapa selalu gue suka. Dan kalau aja Anya ada di sini, gue yakin dia akan membuat secangkir kopi hitam plain tanpa gula untuknya dan secangkir Earl Grey tea untuk gue lengkap dengan tiga sendok teh gula yang selalu ia ingat. Lalu kami akan berbincang—tanpa rokok tentunya—dan membicarakan apapun yang dapat kami bicarakan kala hujan masih menggelayuti hari. Sebelum rokok, dia adalah tembakau yang membuat gue candu. Dan gue selalu ingat hari itu, hari saat Ayahandanya meninggal karena kanker paru-paru yang dideritanya. Sejak itu, ia selalu benci orang-orang yang menyakiti diri mereka sendiri dengan merokok. Tapi tolong jangan salahkan gue, karena setelah sosoknya, gue bahkan tidak tau apa lagi yang bisa membuat gue secandu ini selain rokok. Setelah Anya, buat gue rokok adalah sebuah teman, sebuah jawaban atas malam-malam kesepian gue behind the closed door.

Damn you, Nya.

Gue kembali menyalakan batang kelima gue saat hujan sedikit demi sedikit sudah mereda. Di dalam, Sapta mulai sibuk membangunkan para lelaki hidung belang yang gue sebut sahabat itu. Di sini, gue masih terdiam dengan rokok yang selalu membuat gue candu tanpa adanya gangguan sedikitpun dari Sapta. Gue tau, sebenarnya merekapun tau apa yang gue rasain sekarang ini. Dan mungkin hal ini terdengar begitu homo jika gue mengucapkannya, tapi gue pun begitu sadar bahwa deep down mereka mengerti tentang permasalahan gue yang masih belum bisa getting over seorang Anya. Dan mungkin terkadang hal ini membuat gue senang, karena saat gue membutuhkan waktu sendiri mereka mengerti untuk segera memberi jarak. Seperti saat ini, gue mengerti kalau Sapta pun sedang memberi gue jarak sampai otak gue cukup waras kembali.

Tapi oh, mungkin gak juga. Karena saat gue berpikir begitu, pintu balkon terbuka dengan Sapta yang berdiri di ambang pintu dengan sebuah telepon genggam gue dalam genggamannya dan berkata, "Hape lo berisik, Zak. Silent aja kalo bisa, ato lo buka-bukain dulu itu chat dari cewe-cewe simpenan lo itu trus lo block semua kontak gak penting itu. Cape gue denger notif dari hape lo yang krang kring krang kring mulu."

Gue hanya bisa tergelak ringan mendengar keluhan manager kesayangan gue yang satu itu dan menerima dengan pasrah sebuah telepon genggam yang mungkin sudah sedari dulu menjadi akar permasalahan atas keluhannya. Gue pun segera menghapus setiap chat gak penting itu dan memblokir semua kontak para perempuan yang gak pernah benar-benar gue kenal itu. Namun satu pesan singkat itu bersembunyi diantara ratusan notifikasi tak berujung itu. Sebuah nomor lokal yang bahkan gak pernah gue tau sebelumnya. Isinya hanya sebuah kalimat sederhana dengan delapan kata yang entah mengapa membuat gue kenal betul dengan tulisan si pengirimnya.

Dada gue tercekat, masih tak percaya dengan pesan yang baru aja gue terima.

Is that really you, Nya?

˟˟˟˟˟

He's there. He's really there.

Entah mengapa, aku merasakan sebuah perasaan hangat familiar yang entah sudah berapa lama tidak aku rasakan. Aku rindu sosoknya, itu sudah pasti tak dapat kupungkiri. Lelaki itu masih tetap sama, dengan tubuh kurus dan tingginya, serta suara merdu yang masih berhasil menggetarkan hatiku, kini ia hanya memiliki rambut yang sedikit panjang saja dari terakhir kali aku melihatnya. Apa ia melihatku? Sejujurnya aku ragu karena Botanic Park yang digunakan untuk pagelaran musik festival WOMAdelaide dipadati ribuan manusia. Dan memang mustahil jika ia dapat menemukanku di tengah lautan manusia ini. Apa ia menerima pesanku? Ah, yang satu itu aku hampir saja ragu jika saja aku tidak mendapat balasan sesingkat,

Meet me in the backstage, we have a lot to talk.

Dan entah mengapa, balasan itu lebih nampak seperti sebuah perintah ketimbang gagasan untuk kembali bersua. Aku sendiri ragu jika perasaan itu masih ada. Lagipula, untuk apa mengingat perempuan bodoh yang dengan pengecutnya pergi menghilang saat ia sedang berusaha membangun sebuah komitmen denganku? If only you knew how much I still love and think about you, Zak.

˟˟˟˟˟

Setelah acara selesai, gue segera pamit ke Sapta untuk kabur dengan Anya semalaman. Gue memang pernah berlibur ke Adelaide beberapa kali sampai gue masih hafal jalan-jalan apa saja yang harus gue tempuh dan transportasi apa saja yang harus gue gunakan. Tadi malam, sesaat setelah gue turun panggung dengan kalap karena gak bisa nemuin sosoknya ditengah lautan manusia, gue akhirnya kembali menemukan sosok brengsek itu di belakang panggung. Perempuan brengsek yang masih sama cantiknya dengan saat terakhir kali gue melihatnya. Perempuan brengsek yang masih bertubuh mungil itu. Perempuan brengsek yang masih memiliki hati gue sampai detik ini. Dengan kalap, gue berlari ke arahnya dan mendekap tubuh itu erat seaakan gue gak rela if she slipped away for one more time. Dan setelah beberapa saat gue merasa cukup, gue pun akhirnya berpamitan kepada rekan gue untuk cabut dengan perempuan brengsek ini, perempuan yang tangannya tengah gue genggam erat di dalam trem yang tengah membawa kami menuju alun-alun Moseley Square, seakan gue takut bahwa dia akan berlari pergi untuk kedua kalinya.

Namun Anya hanya bergeming di tempatnya sedari tadi berdiri, tak mengeluarkan suara sedikitpun ataupun perlawanan untuk melepaskan genggaman gue yang begitu erat. Kami pun belum berbicara sepatah kata sedikitpun, hanya gestur-gestur sederhana yang menjadi cara kami berkomunikasi. Dengan genggaman gue yang mungkin terlalu erat, dengan lengan kanannya yang melingkar di tangan kanan gue, dengan lengan gue yang kemudian merengkuh tubuh mungil itu kedalam dekapan gue, dengan dia yang kemudian bersandar hangat dalam dekapan gue. Vanilla, bahkan wangi itu masih tetap sama. Gue gak pernah tau apa itu parfumnya, ataupun shampoo dan sabun yang ia gunakan. Namun wangi itu selalu membuat gue candu, seakan rokok yang selama ini menemani hari-hari kesepian gue gak pernah eksis.

Sampai akhirnya kami turun di pemberhentian Moseley Square tepat di alun-alun, kami melanjutkan perjalanan lewat tengah malam itu dengan berjalan kaki menuju Glenelg Beach. Gue ingat, dulu sekali, gue pernah berjanji gue akan membawanya berkeliling Indonesia suatu hari nanti. Dan karena janji itu sudah terlalu lama, mungkin hanya ini yang bisa gue beri untuk Anya. Kami pun terduduk di atas pasir putih dengan memandang langit malam Kota Adelaide yang berbintang. She's here. She's right here and I can't believe it.

Setelah beberapa saat masih memproses bahwa sosok yang berada di samping gue kini adalah Anya, gue pun memberanikan diri untuk mengeluarkan suara yang masih tercekat. "Nya…" Perempuan itu menoleh. "I know it's too late but—"

"—no, I'm sorry…" Anya memotong, menatap mata gue lekat dengan sepasang mata bulat itu. Persis seperti bocah yang merasa bersalah karena menghancurkan pekerjaan ayahnya. "… for everything I've done to you, for leaving you, for being a coward and running away. For everything, Zak. Forgive me, will you?"

Gue bahkan udah maafin elo jauh sebelum hari ini, Nya.

"Nya, gue udah sukses. See? Gue udah jadi musisi seperti yang gue impi-impikan dulu. Gak ada yang perlu dimaafkan."

Anya menggeleng pelan. "Kamu, kamu lakuin itu semua buat buktiin ke aku kalo kamu mampu. Tapi aku apa? Bahkan di sini aku belum bisa menghasilkan apapun untuk ditunjukkin ke kamu kalo aku juga mampu."

"Nya, dengan lo mampu nunggu gue aja itu udah cukup, Nya. Can't you see?All these songs, Nya." Gue bisa melihat rautnya yang tertegun. "Waktu kemarin tau bakal ada gig di Adelaide, I've been meaning to call you soon. But we're in different times and you might not be home. Jadi gue cuma bisa ngerasa puas buat mikir, somewhere in Aussie, lo ada dan kita sedang menginjakkan kaki di benua yang sama. Dan gue cuma bisa berandai, mungkin saat ini kita lagi mandang langit yang sama. Entah lo di Melbourne atau dimanapun lo berada kemarin waktu gue tiba."

"Zaky…"

"Besok, saat kita balik ke kota, lo balik ke Melbourne, mungkin gue juga akan balik ke Jakarta. I'll fly away tomorrow, Nya. But I'll admit a cliché that things won't be the same without you."

"Then what, Zak? Setelah ini kita apa?"

Gue menarik tubuh itu lebih erat kedalam dekapan gue, membiarkan langit subuh kala itu mulai berubah warna. Terkadang gue rindu, dengan hal-hal kecil yang biasa kami lakukan, dengan tubuh kecil yang dengan sangat mudah gue kalahkan, dengan harum vanilla yang selalu melekat di tubuh perempuan ini, dengan aroma kopi hitam yang menjadi teman setianya. God, I miss her too much.

Gue tidak menjawab pertanyaannya itu. Dan rasanya Anya sendiri mengerti jawaban dari pertanyaannya sendiri. Karena alih-alih menangih jawaban, ia mendongak dan menatap gue seraya bertanya, "Zaky, gimana kamu tau pesan itu dari aku?"

Gue tersenyum simpul, mengingat isi pesan yang berisi sebuah potongan lagu yang dulu sering kami dendangkan bersama. Judulnya Adelaide Sky, waktu itu gue tulis lagu itu dalam perjalanan gue menuju Adelaide beberapa tahun lalu saat gue harus meninggalkan Anya sendiri di Jakarta. Delapan kata dan satu kalimat yang begitu gue kenal,





























Would you be kind enough to remember, Zak?


#nowplaying: Adhitia Sofyan - Adelaide Sky






*****
idektatablake ® February 2016.
It's been a long time, hasn't it? I miss this blog already. After a few months of going through a battle field of writer's block, I'm finally able to write something properly. Today, this story is dedicated to those guys whose band's name I didn't mention. Let's just say I know you guys. So if you ever found this writing, I hope you like it just as much.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar