Senin, 07 September 2015

Kamu dan Sebuah Definisi Tentang Rumah.

Aku menemukannya di sana, di tempat yang paling tak terduga. Pemilik tulang rusukku itu, nyatanya merupakan sosok yang tak pernah kusangka sebelumnya. Di sebuah pantai tak terjamahi itu, aku menemukannya.
Menurutku semua itu lucu, bagaimana konsep belahan jiwa itu sebenarnya nyata adanya. Yang tak pernah kita sangka adalah fakta bahwa sebenarnya sosok itu kerap kali lebih dekat dari yang kita bayangkan. Untukku sendiri, ingatan itu masih sesegar luka yang tersiram alkohol—menyakitkan namun menenangkan pula pada saat yang bersamaan.
Kala itu, deru ombak yang terhempas oleh terumbu karang menciptakan alunan senandung malam yang indah, menemani langkah-langkah patahku yang merindu. Aku rindu rumah, itulah satu-satunya hal yang terlintas di otakku. Sebagai seorang jurnalis untuk laman pariwisataku, jelas aku menghabiskan sebagian besar waktuku di luar rumah. Dan walau kecintaanku terhadap apa yang aku jalani ini begitu besar, tak ada yang bisa mengalahkan perasaan hangat saat aku berada di rumah.
Malam itu, aku terus menitikan langkahku di sepanjang bibir pantai, berandai-andai dan membangun skenario tentang kembaliku ke rumah yang hanya akan eksis dalam benak ini saja. Semenjak kepergian Ibu, aku tak pernah berminat untuk kembali pulang. Terlebih dengan keberadaan lelaki yang seumur-umurku hidup adalah lelaki pertama yang menyakitiku dan Ibu, aku selalu enggan untuk menginjakkan kaki kembali untuk pulang.
Namun aku merindu. Perasaan hangat kala menggenggam daun pintu rumah untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan lamanya tak pulang, perasaan hangat kala mencium aroma masakan ibu, perasaan hangat kala menyesap teh sore bersama Tante Nung di teras rumah—semua perasaan itulah yang selalu kurindu, perasaan saat kembali pulang. Dan entah sudah berapa lama, perasaan itu tak pernah lagi bisa kutemukan setelah kepergian Ibu.
Malam terus melarut, menyisakan aroma pasir basah yang kian pekat. Di tempat seindah Pulau Samalona ini, aku masih tak dapat menemukan alasan untuk kembali pulang. Mungkin benar aku rindu rumah, tapi aku lebih merindukan dekapan sosok yang akan menyapaku hangat saat kembali pulang. Dan seindah apapun tempat yang kupijaki kini, tak ada yang bisa mengalahkan perasaan kembali pulang.
"Mba?" Suara itu serta merta membuatku melompat karena kaget. Malam sudah hampir menunjukkan pukul 10, jangan salahkan aku jika aku tidak berekspektasi tentang keberadaan orang baru.
Aku berbalik, menemukan sosok lelaki yang kira-kira usianya sama denganku sedang menatapku lekat-lekat di manik mata. "Jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh ya, mba. Sayang orang rumah mba, pasti mereka sedih kalo mba ngelakuin hal yang engga-engga."
Aksennya jelas menunjukkan bahwa ia adalah penduduk asli. Keramahannya nampak jelas tersirat di raut wajahnya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun otot-otot bisep yang kulihat di balik siluetnya nampak jelas membuktikan bahwa tangan-tangan itu sudah sering melakukan aktifitas berat sehingga menciptakan bisep kekar itu.
Dari ucapannya tadi, jelas saja langsung membuatku terkekeh hangat. "Tenang aja, saya gak akan ngelakuin hal aneh seperti menenggelamkan diri ke laut kok. Dan oh, tolong jangan panggil mba, panggil Arinka saja."
"Dari Jakarta ya, mba—eh Rin maksudnya?"
Aku mengangguk dan tersenyum hangat. "Penduduk asli sini?"
Lelaki itu menggeleng pelan. "Saya dari Makassar, cuma sekedar refreshing saja ke sini. Sudah lama gak kabur dari rumah."
Aku kembali terkekeh. "Oh pemilik Pantai Losari itu?" Menurutku, semua penduduk Makassar adalah pemilik Pantai Losari, sebuah aset terbesar yang mereka miliki di tempat ini. Sama halnya seperti kami orang Jakarta yang memiliki Monas sebagai aset kota kami, menurutku penduduk Makassar adalah orang-orang hebat yang patut untuk dihargai.
"Wah, Pantai Losari bukan punya saya, Rin. Losari milik alam Indonesia."
"Iya, saya tau. Alam Indonesia itu cantik ya?" Mataku menatap kosong ke arah rembulan yang tengah purnama. "Gak habis pikir deh, punya banyak pulau seindah Samalona, tapi masih banyak yang memilih untuk pergi ke luar negeri."
"Setuju sama Arinka. Indonesia itu rumah kita, harusnya sebagai anak Indonesia itu kita bersyukur."
"Sayangnya, banyak yang gak menyadari itu. Mereka pikir, Indonesia hanyalah sebuah titel kewarganegaraan mereka. Padahal nyatanya ada banyak yang bisa mereka banggakan dari titel itu sendiri."
Aku bisa merasakan lelaki itu menatapku lekat-lekat dari balik siluetnya. Inilah hal yang biasa kulakukan, berbicara panjang lebar entah tentang apapun itu kepada orang baru. Menurutku, hal terbaik dari menjadi seorang traveller adalah berjumpa dengan wajah-wajah baru itu, menemui sosok-sosok tak dikenal itu, bertukar pikiran baru, berbagi, bercanda, tertawa, dan membuat sebanyak memori yang dapat kita buat. Dan malam ini, alam Indonesia lah yang menjadi perbincanganku.
"Pernah bertemu dengan orang-orang seperti itu—orang-orang yang hanya berpikir kalo Indonesia itu hanyalah titel kewarganegaraan semata?"
Aku mengangguk pelan. "Di Jakarta, banyak sekali anak muda yang seperti itu, yang cuma bisa ngikutin arus globalisasi, trus tutup kuping tutup mata dengan keadaan sekitar yang ada. Semakin hari Indonesia itu makin kacau, sayangnya jarang ada anak muda yang mau turun tangan untuk bantu melestarikan apa yang Indonesia punya.
Menurutku kamu benar, Indonesia itu rumah kita. Harusnya kita bangga dengan hal itu. Saya—pergi travelling keliling Indonesia seperti ini—ini cara saya untuk melestarikan,untuk mengetahui, untuk ikut andil dalam bagian yang ada, untuk terus memupuk rasa bangga yang saya punya terhadap rumah saya, alam Indonesia."
Aku bisa merasakan lelaki itu tersenyum dari ekor mataku. "Rin, boleh jujur gak? Sebenernya saya bisa lihat, selantang apapun kamu bilang kamu bangga terhadap Indonesia, sebenarnya kamu lebih bangga terhadap rumah kamu jauh di Jakarta sana sampai-sampai kamu rindu berada di sana."
Mataku membulat kaget, kutolehkan kepalaku ke arahnya, mendapati raut tenang itu di wajahnya. "Kamu tau darimana saya rindu rumah?"
"Saya sudah sering bertemu traveller seperti kamu, Rin. Tapi kebanyakan dari mereka itu hanya sekedar berlibur dan kebanyakan dari mereka itu menikmati apa yang tengah mereka jalani. Tapi kamu... yang saya lihat hanya tatapan sedih saat berkata seperti itu. Mata kamu melayang pergi entah kemana, menyusup di balik awan malam menembus bintang, kosong ke tempat entah dimana."
Senyum miris itu refleks berkembang di kedua belah bibir ini. "Rumah untuk aku pulang udah gak ada."
"Kenapa?" Adalah satu-satunya pertanyaan yang ia lontarkan padaku.
"Beberapa tahun lalu Ibu meninggal karena penyakit ginjalnya. Aku yang waktu itu lagi berada di Nusa Dua Bali buru-buru balik ke Jakarta. Dan ternyata, Ayah terlambat bawa Ibu ke rumah sakit sampai akhirnya Ibu gagal ginjal di jalan menuju rumah sakit. Penanganan yang terlambat itu sampai sekarang membuatku benci Ayah. Dia yang salah, yang buat Ibu jadi gak ada sekarang. Dan semenjak itu, definisi rumah untukku udah beda. Sejak itu aku gak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah hanya sekedar untuk bertemu dengan Ayah."
Itu memang benar, semenjak kepergian Ibu, tak pernah sekalipun aku mampir ke rumah hanya untuk sekedar bersua dengan Ayah. Kapan terakhir kali aku melakukan itu? Oh aku lupa. Yang jelas, sejak itu aku terus mencari alasan untuk kembali pulang—mencari sosok yang bisa memberiku alasan itu, sebuah definisi sederhanaku tentang kembali pulang ke rumah.
"Rin, dari tadi saya belum memperkenalkan diri lho. Sadar gak?" Aku menoleh ke arahnya, seketika teringat dan terkekeh pelan. Di antara pembicaraan berat itu, aku suka caranya menimpali obrolan dengan ringan. "Nama saya Fajri—dari kata fajar yang artinya matahari terbit. Tau gak kenapa nama saya begitu?"
Aku menggeleng pelan, menantikan penjelasan darinya. "Karena orang tua saya ingin saya menjadi sebuah pengharapan baru bagi jiwa-jiwa yang rapuh. Karena matahari terbit itu perlambang harapan baru bagi sebuah hari baru. Gak bisa saya pungkiri juga, tapi saya selalu senang bisa menjadi alasan seseorang untuk kembali menghidupkan satu harapan yang hampir mati.
Rin, saya tau saya ini bukan siapa-siapanya Arinka. Tapi pulang itu perlu lho, hanya untuk sekedar mengingatkan kalo kamu itu punya tempat kembali. Kemana pun kamu pulang dan di manapun tempat kamu kembali, di sanalah definisi rumah itu sendiri."
Aku kembali menatap mata itu lekat-lekat, mencari setitik dusta dalam matanya. Namun aku tak menemukan apapun—nihil; karena alih-alih menemukan dusta, yang kutemukan malah sebuah ketulusan dalam matanya. Aku ingat, setelahnya kami menghabiskan semalaman berbincang tentang banyak hal hingga akhirnya surya menyembul di balik bahari.
Dengannya, entah mengapa aku merasa seperti kembali pulang ke rumah. Dan tanpa kusangka, sekembaliku ke Jakarta hubungan kami terus berjalan seperti itu adanya. Lalu beberapa bulan setelahnya ia memutuskan untuk ikut bertualang denganku untuk mengelilingi alam Indonesia ini. Dan singkat cerita, setelah beberapa tahun menjadi partner seperjalanan, ia melamarku dan meresmikan titel "partner hidup" seperjalanan itu.
Menurutku lucu, di tempat se-tak-terduga itu, aku menemukannya. Di tengah kerinduanku akan rumah, ialah pelepas dahaga. Di Timur Indonesia itu, aku menemukannya. Sosok lelaki yang kutemui di pelosok negeri dengan nama sesederhana Fajri entah mengapa berhasil memberiku sebuah alasan baru yang sejak dulu selalu kucari itu. Dan dari sana, aku merasa selalu siap untuk menyongsong hari baru.





*****
idektatablake ® September 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar