Minggu, 14 Juni 2015

Through The Ashes.

Senja di kota Denpasar terasa begitu indah saat hiruk pikuk keramaian mulai mengendurkan kehidupannya. Nampak diberbagai sisi jalan tergeletak sesajen yang merupakan persembahan untuk para leluhur dari para warganya. Pun juga dedaunan tua dari ranting pohon mulai berguguran menandakan kelelahannya akan hiruk pikuk keramaian kota Denpasar di kala senja.
Di jalan setapak daerah Legian itu, aku tetap menyusuri jalanku tanpa mengindahkan sekitar, membiarkan diri ini nampak kabur di balik banyaknya turis mancanegara maupun domestik yang berlalulalang. Dari tempatku terus berjalan, nampak sebuah pantai indah yang terkenal dengan sunset nya yang semakin kudekati semakin memberikan kerinduan yang mendalam dalam dada. Dan saat langkahku berhenti di depan pintu masuknya, aku menghela napas pelan, berharap tak ada rindu yang berubah menjadi sendu.
Senja hari itu sedikit demi sedikit telah membuat air laut menjadi pasang, memaksa kami para turis untuk tetap pada jarak aman. Dan aku, ketimbang menyusuri sepanjang bibir pantai sendirian, aku lebih memilih untuk duduk di atas pasir dan menyaksikan fenomena terbenamnya matahari yang begitu indah. Dengan sebuah buku catatan perjalananku, aku kembali siap merekam semua perjalanan yang telah aku lalui.
Hai sayangku,
Apa kabar? Ingat Pantai Kuta? Hari ini akhirnya aku kembali kemari, merasakan gejolak kerinduan akan hadirnya kamu di sini. Pantai Kuta tetap terasa indah walau keindahan itu terasa hambar tanpa hadirnya kamu. Aku merindu, sayangku. Sedetik... Dua detik... Tiga detik... Tak pernah ada waktu sedetikpun yang tak aku lewatkan tanpa memikirkan kamu, sayangku. Maaf, keterlambatanku untuk datang kemari membuat tubuh mu pun terlambat memulai perjalanan panjangmu yang tiada akhir untuk menyusuri seisi dunia ini. Beberapa bulan yang kuhabiskan sebelum memberanikan diri kesini semata mata kugunakan untuk menenangkan diri. Bagaimana bisa kulepaskan kamu sendiri berkelana tanpa aku sebagai partner perjalananmu? Namun sayangku, kujanjikan kamu akan kebebasan nanti malam. Beberapa jam saja, sebelum aku benar benar membebaskanmu berkelana seperti persis yang kamu inginkan dalam wasiatmu itu. Dan oh sayangku, jangan lupa tunggu aku ya. Karena akupun akan segera menyusulmu.
Salam hangat dari Kuta,
Adelia.
˟˟˟˟˟
Malam telah menunjukkan pukul 8 saat aku bergegas membawa sebuah vas di tanganku. Hotel tempatku menginap memang berada di pusat kota, memudahkanku untuk berjalan menyusuri jalan setapak tanpa harus menggunakan kendaraan apapun. Bahkan keramaian Kota Denpasar sendiri semakin menjadi saat malam. Bar dan kelab malam yang bertebaran di sepanjang daerah Legian membuat diriku semakin kabur dalam hiruk pikuk keramaian kota ini. Semakin kabur hingga bahkan tak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku di antara mereka.
Namun aku suka perasaan itu.
Sebuah perasaan yang sama dikala dulu beberapa tahun silam saat aku memulai perjalananku untuk berkelana sendiri di mulai di tempat ini. Berjalan di kala malam menyusuri jalan setapak yang juga sesak akan keramaian, tenggelam dan menjadi sosok kabur di antara kerumunan orang banyak, hingga pada akhirnya kutabrak sosok itu tanpa sengaja. Sosok itu bukanlah salah satu sosok kabur di tengah kerumunan orang lalu lalang, ia lebih nampak seperti penduduk setempat yang berusaha berbaur dengan sekitar. Terlebih dengan wajah khas Bali yang ia miliki tak dapat memungkiri keaslian darah Bali yang ada dalam dirinya.
Namanya Wayan, pertanda anak pertama. Perawakannya kurus dan garis wajahnya nampak keras namun menenangkan pada saat yang bersamaan. Kala itu aku lupa siapa yang meminta maaf pada siapa. Yang kuingat hanyalah kebetulan itu pada akhirnya menuntunku pada sebuah tali pertemanan yang lebih erat. Sepulangnya dari Bali, kami tetap bertukar sapa baik lewat email maupun sekedar sms. Dan hingga akhirnya hari itu, Wayan memutuskan untuk menyusulku ke Jakarta dan memulai perjalanan kita bersama sebagai dua sosok pecinta alam yang sangat ingin menyusuri seisi bumi ini. Awalnya tak pernah terlintas di kepalaku tentang semua itu, memiliki seorang travelling partner yang akan selalu bersama hingga suatu hari kelak kami menemukan sosok yang tepat. Tak pernah terlintas di otak kami akan keberadaan satu sama lain. Namun begitulah adanya, hingga kami mulai terhanyut dalam buaian indah surga dunia yang kami jejaki selama perjalanan bersama kami.
Sesosok pria keturunan Bali itu jelas telah menjungkirbalikkan seluruh isi hidupku. Dimulai dari perjalanan domestik kami mengelilingi sekitaran Sumatera-Jawa-Bali-Flores hingga sebuah trip Eropa yang lebih besar. Semua itu jelas kami bagi bersama tanpa adanya keinginan untuk melepas satu sama lainnya. Aku bahkan masih ingat perkataannya perihal keinginannya untuk terus menjelajah bahkan hingga jasadnya telah menjadi abu sekalipun. Klise, namun terdengar indah pada saat yang bersamaan dikala ia mengucapkan itu.
Kami bahagia. Itu yang terpenting. Namun kebahagiaan itu rasanya begitu sulit untuk ditarik kembali kala Tuhan menuliskan suratan takdir yang berbeda pada sosoknya. Sebuah kecelakaan pesawat yang merenggut nyawanya itu, membuatku lupa akan semua arti kebahagiaan yang sempat kami bagi bersama. Kemudian, jasadnya kembali di bawa pulang ke kampung halamannya untuk segera dikremasikan. Aku, yang kala itu masih begitu terpukul dengan kepergiannya, mau tak mau harus turut hadir dalam upacara kremasi tersebut. Hingga akhirnya upacara itu selesai, sesosok wanita Bali yang nampak begitu familiar di mataku mendatangiku dengan sebuah vas ditangannya,
"Mbok Adel, saya Putu adiknya Bli Wayan, ingin memberikan ini pada Mbok Adel."
Dan begitu singkatnya, keluarga menyerahkan abu kremasinya padaku sesuai dengan permintaan Wayan dulu. Mereka bilang, Wayan sangat bahagia saat bersamaku, karena bersamaku ia menjadi pribadi yang lebih ceria. Mereka bilang, Wayan ingin sekali abu kremasinya disebar agar jiwanya tetap menyatu dengan alam dan dapat kembali bertualang walau sukmanya telah tiada. Sedih? Itu jelas. Abu itu kubawa kembali pulang ke Jakarta, kusimpan vas itu dalam apartemenku selama beberapa lama. Tak pernah sampai hati aku ingin menebar abu itu selama beberapa bulan pertama kepergiannya.
Hingga sampailah aku pada hari ini, tepat di tempat kami pertama kali bertemu. Beberapa hari lalu, aku bermimpi tentang sosoknya yang memanggil manggil namaku dari kejauhan. Suara burung camar terdengar sayup sayup ditelingaku sebelum akhirnya aku menyadari keberadaanku dalam mimpi. Di sebuah pantai indah dengan pemandangan matahari terbenamnya yang indah, yang aku yakini sebagai sebuah tempat kami pertama kali bertemu. Dan begitu saja, aku terbangun dari tidurku kala itu, memberikan sebuah tamparan telak tentang sosoknya itu. Ia menginginkan kebebasan, itulah satu satunya hal yang terlintas di otakku. Dan semudah itu, aku segera kembali ke tempat ini.
Kubuka penutup vas itu, dan kutebar abu itu membiarkan angin membawanya berkelana. Deburan ombak yang kian menjadi membuat isak ini saru dengan riaknya. Aku tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Bahkan, dikala sukmanya telah tiada, sosoknya tetap memberiku banyak pelajaran akan hidup. Bagaimana caranya melepaskan dan bagaimana caranya untuk tetap hidup berkelana walau raga dan sukmanya tak lagi nyata.
Sayangku, rasa itu akan selalu menjadi saru dengan tangisku. Karena dikala nanti fajar berganti senja, sakitku akan pergi berkelana bersama dengan abumu.






Prompt: Hai rasa, tak ada setitik noda yang tak pernah kulupa. Dikala senja menyapa, diantara daun yang tak pernah murka.




*****
idektatablake ® Juni 2015.
Untuk seorang dengan sebutan pesan tanpa nama, kali ini prompt indah milikmulah yang menginspirasi tulisanku hari ini.

1 komentar:

  1. 2018, which means that it's been three years down the road tata. I know you used to want to write about Bali so bad you never knew where to begin with. Now three years later, I'm so amazed of what you're capable of. You've went there and actually been living there for a while. I'm so proud of you, that's what I want you to know. Take care. x

    BalasHapus