Senin, 25 Mei 2015

Coincidence in The Rain.

Hari itu, lagi-lagi hujan kembali turun membasahi ibukota Jakarta tercinta, membuat kami para pekerja kewalahan bagaimana harus pulang. Di pertengahan bulan Juli seperti ini, seharusnya matahari bersinar cerah tanpa tertutupi awan kelabu yang membuat semua jiwa gelisah. Walau sejujurnya aku pun merupakan salah seorang pecinta hujan, namun lama kelamaan akupun meragu akan kebahagiaan yang hujan bawa untukku.
Aku menengadahkan kepalaku, memerhatikan betapa derasnya hujan mengguyur ibukota, membuat seluruh isi kota seakan membeku karena hujannya yang menghentikan aktivitas kami semua. Dulu sekali, saat aku masih kecil, aku selalu mempercayai cerita Ayah tentang hujan yang akan selalu membawa kedamaian juga kebahagiaan bagi siapa saja yang sabar dan mempercayainya. Dulu sekali, aku selalu mempercayai perihal hujan yang akan membawa pergi tangisan juga kesedihan dan menggantinya dengan sebuah kegembiraan yang baru di balik pelangi itu.
Namun, semenjak hari itu sosoknya meninggalkanku sendiri terperangkap dalam hujan yang begitu deras, aku mulai berfikir bahwa hujan hanya akan membawa bencana bagi jiwa-jiwa yang rapuh dan malang. Derasnya hujan hari itu serasa ribuan jarum yang menusuk tubuhku. Dinginnya hujan hari itu serasa begitu tajam menusuk pori-poriku. Walau hujan membuat tangisanku saru, aku tetap merasakan sakit yang begitu menusuk hingga aku sendiri merasa kelu seakan mati rasa.
Semenjak itu, aku selalu bersembunyi ketika hujan datang. Seakan sedang bermain kejar-kejarn, aku tak pernah ingin tertangkap oleh hujan yang pada akhirnya hanya dapat membuatku terperangkap dalam dinginnya hawa yang ia bawa. Terkadang aku sendiri sedih mengingat fakta, bagaimana dahulu hujan adalah satu-satunya temanku dikala aku merindu serta sendu, namun hanya karena sosoknya yang meninggalkanku di tengah hujan yang deras, semua perspektifku mengenai hujan berubah seketika begitu saja.
Aku melirik jam tanganku yang ternyata telah menunjukkan pukul 5:30 sore. Belum terlalu gelap seharusnya, namun awan kelabu sore itu menutupi sinar mentari yang aku butuhkan. Karena takut akan pulang kemalaman, aku pun mulai menerjang hujan. Sekali ini saja, bertahanlah. Kurapalkan ucapan itu berkali kali dalam hati, hanya untuk menguatkanku agar tidak mengingat rasa sakit yang pernah kurasakan dahulu karena perbuatan hujan sialan. Selangkah… dua langkah… tiga langkah… hingga akhirnya aku serasa sedang menari bersama hujan, aku mulai memperlambat kecepatan berlariku, hingga akhirnya aku benar-benar berhenti di tengah hujan yang deras itu.
Rasanya masih sama, sakit karena rintik hujan yang menderas itu serasa menusuk seluruh permukaan kulitku. Begitu juga hawa dingin yang ia bawa, selalu berhasil menusuk seluruh pori-poriku. Namun jika memang sebegini sakitnya, mengapa aku berhenti? Sejenak, aku dapat merasakan air mata itu kembali mengalir bebas. But guess what, this is the perk of crying in the rain, hujan akan membuat saru tangisanmu dan membawanya pergi tanpa jejak bersamanya.


“Mba,” saat aku sedang membiarkan tubuh ini kembali membaur dengan perasaan familiar itu, aku merasakan sebuah tangan menepuk pundakku pelan. Sedikit kaget, akupun mendongak hanya untuk mendapati sebuah wajah baru yang sebenarnya tak asing bagiku. Ia adalah seorang anak baru di kantorku dari divisi yang berbeda. Pagi tadi aku melihatnya sibuk membawa barang-barangnya ke kubikel kosong tempatnya akan bekerja. Berada satu lift dengannya pagi tadi, membuatku sedikit bertanya tentangnya. Namun aku kelu, tak dapat menjawab sapaannya itu. Hingga akhirnya ia kembali melanjutkan,
“Hujannya deras, mba. Neduh dulu yuk.” Ia membagi tempat untukku di bawah payung hitam yang ia kembangkan itu. Menuntun tubuhku yang sudah terlanjur basah untuk menepi dan berteduh.
Untuk sesaat, keheningan yang ada di antara kami berdua hanya diisi oleh suara air hujan yang menghantap permukaan tanah, membuat suara gemericik air. Hingga pikiran ini kembali mengingat perasaan nyeri yang begitu familiar itu, yang tanpa sengaja membuat air mata ini kembali mengalir jatuh bebas tanpa bisa aku tutupi. Dan lelaki itu, yang menyadari keberadaan air mata itu, segera melirik ke arahku sedikit awas. “Kenapa, mba?”
Aku segera menghapus air mata itu dan menggeleng pelan. “Nggak, nggak ada apa-apa kok, mas.”
“Yakin, mba? Karena kalo ini tentang perasaan sedih yang hujan bawa bersamanya, seharusnya mba bersyukur.” Aku menoleh ke arahnya, setengah penasaran atas ucapannya. “Galau yang hujan bawa membuat kesenduan itu semakin menjadi-jadi. Tapi setelah hujan reda, hujan akan mengganti sendu itu dengan sebentuk kebahagiaan yang baru, mba. Percaya atau tidak, itu terserah mba, tapi sebagai penikmat hujan, saya percaya segala bentuk kesedihan yang hujan bawa, akan meluruh juga bersama air hujan yang mengalir, yang nantinya akan hujan ganti dengan secercah cahaya matahari di balik awan kelabunya yang akan kembali memberikan reasuransi untuk jiwa-jiwa rapuh seperti mba.”
Aku segera menggeleng kembali, tidak ingin disebut rapuh karena tangisanku. “Dulu sekali, saya juga seorang penikmat hujan, bahkan pecinta hujan bisa dibilang. Namun ada satu hal fatal yang membuat perspektif ini berubah letak pandang. Sejak itu, saya tidak pernah menatap hujan dengan perasaan yang sama lagi.”
“Mungkin, hal itu masuk akal. Tapi mba, menurut saya, mba harus tetap memberi kesempatan untuk semua yang mungkin akan dibawa hujan untuk mba. Walau nampak kelam dan kelabu, tapi hujan selalu ampuh memberi reasuransi akan jiwa-jiwa yang hampir remuk karena kesenduan itu.”
“Tapi bagaimana caranya untuk kembali percaya saat hujan telah menghancurkan segalanya?”
Perlahan-lahan, hujan yang awalnya begitu deras membasahi bumi pertiwi ini mulai mereda dengan sedikit rintiknya yang masih turun dengan ringan. Ia yang telah mendapati hujan telah mulai mereda itu segera mengedikkan bahunya seraya berkata, “Saya tidak tahu cara pastinya, tapi yang saya tau mba harus mulai melepaskan fakta pahit itu dan berdamai dengan hujan. Saya yakin, hujan akan membawa hal baru dalam hidup mba setelahnya.” Ia tersenyum lalu kembali melanjutkan ucapannya, “Hujannya sudah reda, mba. Saya pamit duluan ya. Oh ya, ngomong-ngomong, nama saya Putra.” Ia memberikan sebuah tangan besar untuk kujabat.
Dan aku, nampak jelas bahwa mataku segera terbelalak saat mendengar nama itu di sebutkan. Mungkin, hanya mungkin, Putra benar. Mungkin aku harus merelakan fakta pahit yang dulu pernah hujan bagi padaku, dan mulai kembali mempercayakan semuanya kepada hujan selanjutnya. Karena saat mendengar nama itu disebut, aku yakin betul bahwa semua ini bukan kebetulan yang hujan bawa. Karena setelahnya aku segera menjabat tangan besar itu dan berkata,
“Nama saya Putri.”






*****
idektatablake ® Mei 2015.
Untuk kalian siapapun di luar sana, jangan pernah berhenti percaya. Semua kemungkinan akan takdir muncul begitu saja dalam sebentuk kebetulan yang tak akan pernah kalian sangka. Jadi, bukalah mata kalian dan perhatikan dengan seksama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar