Senin, 20 April 2015

The Photograph.

I’m never really a big fan of crowded places.
Namun karena sudah terlalu sering menolak undangan Andra, sahabat gue dari jaman SMA, kali ini mau nggak mau gue dateng ke new year’s eve party yang selalu diadakan Keluarga Widjajanto setiap tahunnya. Entah sudah berapa puluh kali gue menolak undangan Andra untuk datang ikut serta dalam acara itu, namun setelah gue pikir-pikir mungkin nggak ada salahnya untuk datang dan ikut serta dalam euforia kebahagiaan menyambut tahun baru. Dan menurut gue Andra benar karena gue memang sudah terlalu lama menyendiri dengan ratusan kamera koleksi Almarhum Ayah. Bahkan gue sempat berpikir kalau gue berubah menjadi gay karena sudah terlalu lama tidak berbaur dengan manusia sekitar gue. Jadi malam itu, gue putuskan untuk datang.
Tapi sesaat setelah gue menginjakkan kaki di depan sebuah rumah besar kediaman Keluarga Widjajanto, gue segera menyesali keputusan gue malam itu. Mungkin memang sudah dari sananya seorang Andi Supriyo lebih suka menyendiri dengan koleksi kameranya, juga dengan ruang gelap miliknya. Karena setelah gue melihat banyaknya manusia yang berlalu lalang masuk ke dalam rumah besar itu, gue segera meringis. Sebagai seorang pecinta fotografi, gue lebih menyukai ketenangan ketimbang keramaian. Karena dengan ketenangan, gue lebih mudah mengabadikan sebuah momen yang menurut gue memang patut untuk diabadikan.
“Akhirnya lo dateng juga, Ndi!” Andra yang melihat gue dari kejauhan segera berjalan menghampiri dan memeluk gue layaknya seorang teman yang lama tak jumpa. Nyatanya, Andra adalah partner in crime gue dalam setiap acara hunting tempat. “Gimana hasil foto lo kemaren di Kota Tua?”
Lagi-lagi, gue meringis. “Udah sering banget kita ke sana dan hasil foto yang gue dapet selalu plain seperti waktu kita pertama kali hunting ke sana. You know, same old.
Andra hanya menjawabnya dengan gelak tawa khas miliknya. “Man, lo cuma belum nemuin obyek indah untuk lo potret dengan setting Kota Tua itu sendiri. Percaya deh, waktu lo udah nemuin obyek yang gue maksud itu, lo bakal ngerasa Kota Tua adalah tempat paling indah.”
Keluarga Widjajanto adalah keluarga kalangan atas yang sangat dikenal dengan keberhasilan setiap anaknya dalam segala bentuk bidang artistik yang mereka geluti. Pak Anton Widjajanto, ayah dari Andra sendiri adalah seniman lawas kenamaan yang namanya begitu tersohor seantero negeri. Jadi gak heran, kalau gue sebenarnya masih harus belajar banyak dari Andra yang memang basic-nya berasal dari keluarga artistik.
“Eh Ndi, gue tinggal lo sebentar ya? Kayaknya nyokap manggil gue tuh di sana.” Andra menepuk pundak gue pelan. “Have fun, ok?” gue pun mengangguk pelan, membiarkan sosok Andra menghilang begitu saja di balik kerumunan manusia lalu lalang yang semuanya asing buat gue.
Di tengah sesaknya kerumunan itu, gue seakan ikut membaur dengan banyaknya manusia yang hadir malam itu. Kolega-kolega Keluarga Widjajanto itu semuanya berpakaian rapi layaknya artis papan atas yang datang ke sebuah perhelatan agung. Dan gue rasa memang hanya gue aja yang mengenakan polo shirt putih polos gue, juga celana jeans kesayangan yang udah entah berapa lama belum gue laundry, dan tidak lupa Converse butut yang gak pernah sampai hati gue buang sampai saat ini. Inilah gue, Andi Supriyo, seorang introvert yang lebih suka menghabiskan waktu gue dalam kesendirian, bukan dalam keramaian seperti malam ini.
Namun kemudian pandangan ini tertuju pada seseorang di atas stage sana. Seseorang berperawakan ramping, dengan pakaian boho nya yang membuat dirinya  seperti pusat perhatian, juga flower crown yang ia kenakan di kepalanya. Perempuan itu—dengan atraktifnya—menyanyikan lagu The 1975 yang Sex. Wow, gue rasa ekspresi gue memang berlebihan, tapi entah kenapa gue ngerasa cewe ini salah tempat. Salah tempat untuk menyanyikan lagu ini. Salah tempat juga dalam berpakaian. This is definitely not Coachella, girl. Itulah satu-satunya hal yang terlintas di otak gue saat itu. But man, I’ll admit she has this rare kind of beauty.
Semua hadirin yang datang bertepuk tangan saat perempuan itu telah usai bernyanyi, membungkukkan tubuhnya memberi hormat terima kasih kemudian kembali mendekatkan microphone itu ke depan mulutnya dan berkata, “Happy New Year, guys!” Dan semudah itulah, setelahnya ia turun dari panggung digantikan oleh rekannya sesama penyanyi yang lain. Dan entah mengapa, sebegitu mudah pula tubuh ini menyeret gue untuk menemui perempuan itu.
“Hei!” ucap gue dengan awkward-nya saat perempuan hippie itu tengah menenggak sebotol air mineralnya. “Gue Andi.”
Really, Ndi? Selama itukah lo udah gak bersosialisasi sama orang sampai harus segitu bodohnya?
Dalam hati, gue menampar diri keras-keras karena kebodohan gue dalam memilih kata-kata. Namun perempuan itu dengan sumringahnya membalas ucapan gue dengan senyum dan berkata, “Hai, Andi! Aku Kallista.”
And that happened. I swear to God, that just happened.
˟˟˟˟˟
Namanya Kallista Widya Widjajanto. Usianya 22 tahun, occupation-nya song writer/singer. Punya band dengan aliran musik indie dengan empat sahabatnya sejak SMP yang selalu bolak-balik Australia buat manggung di festival-festival musik yang memang sering banget diadakan di sana. Jadi bagian dari Keluarga Besar Widjajanto bukanlah bagian terbaiknya, ungkapnya bercerita, tapi malah tantangan yang di berikan kepada masing-masing dari kami semua untuk berkarya dalam segala macam bentuk bidang artistik yang kami geluti itulah hal terbaiknya.
Entah kenapa, gue setuju banget dengan ucapannya itu karena memang Andra pun sudah berkali kali mengatakan hal yang sama seperti Kallista. Hidup di keluarga artistik membuat mereka selalu di dorong untuk terus berkarya dan terus menjadi pribadi yang lebih baik lagi dalam bidang yang mereka geluti. Dan Andra, dia memilih seni fotografi untuk dia geluti, sama seperti gue. Yang mana gue sendiri sadar, walau kami adalah partner in crime, kami masih harus terus belajar untuk terus mengabadikan momen yang ada.
You’re such a terrible dancer, Ndi.” Kallista tertawa dengan renyahnya, menengadahkan kepalanya seakan terlalu mendramatisir lelucon itu. Namun ia benar, gue bukanlah penari terbaik. “But you’re definitely not that bad.
Gue hanya bisa mengedikkan bahu dan tersenyum simpul, merasa terlalu aneh dengan euphoria yang gue rasakan saat ini. Di tengah keramaian orang-orang yang berdansa menjelang detik-detik pergantian tahun, kami berdua larut dan tenggelam dalam sesaknya manusia. Dan entah bagaimana ceritanya, gue dapat merasakan sosok Kallista yang semakin tajam di hadapan gue ini dan sosok orang-orang di sekitar gue yang semakin kabur. It feels like she’s the kind of object I need to capture right now.  “Kal, cabut yuk, let’s have our moments together.” Dan secepat itulah ucapan itu meluncur dari bibir gue.
Kallista hanya tersenyum, mengangguk mengiyakan ucapan gue seraya menarik tangan gue untuk pergi dan keluar dari kerumunan orang-orang itu. Saat kami sudah berada di depan pelataran Rumah Widjajanto, gue pamit permisi kepada Kallista untuk mengambil mobil gue di parkiran. Dan saat gue sampai di depan pelataran rumah itu dengan mobil gue, Kallista pun segera masuk dan gue segera menancapkan gas untuk pergi dari tempat itu. Samar-samar, gue dapat mendengar sayup-sayup orang-orang di dalam yang menghitung mundur waktu sebelum tahun berganti.
Lima… empat… tiga… dua… satu…
Kallista tidak mengatakan apapun, hanya menggenggam tangan gue erat dan tersenyum ke arah gue seakan mengatakan selamat kepada gue atas pergantian tahun ini. 2015. This is a new start I know that and having her here right now in my new chapter of life feels like a brand new beginning for me. Selama ini, semenjak Almarhum Ayah meninggal, gue gak pernah benar benar serius mencari seseorang untuk gue kencani atau bahkan sekedar seseorang untuk gue tiduri. Nope, I’m never that kind of person at all. Bunda memang selalu bertanya kapan gue akan membawa “calon” gue yang entah sudah berapa kali gue tanggapi dengan dengusan kesal. Gue sadar, di usia gue yang hampir 25 ini gue harus mencari seseorang. Dan gue rasa, mungkin… Kallista bisa menjadi sosok itu. Entahlah.
“Ndi,” Kallista akhirnya angkat bicara. Kami sedang berada di tol yang mana gue sendiri sebenarnya gak tau mau kemana. Gue hanya nyetir tanpa arah membawa Kallista pergi jauh dari tempat itu karena gue mau dia buat gue sendiri. “Kita mau kemana?”
Gue mengedikkan bahu pelan dan menjawab, “Gue sendiri gak tau, Kal. Mungkin Puncak atau Bandung, I don’t know. Sesampainya kita aja nanti.”
Dan lagi-lagi ia tersenyum tipis mengangguk. Entah untuk beberapa saat, keheningan kembali menemani kami sebelum akhirnya ia menggumamkan sebait dua bait lirik lagu yang ia ciptakan. Menenangkan. “Ndi, aku gak pernah pergi sejauh ini sama orang yang baru aja aku kenal lho. It feels like I’m being kidnapped right now. But I like this feeling, I like being kidnapped by you, Ndi.
Sekaku-kakunya sifat introvert gue, harus gue akui ucapan Kallista ada benarnya. Walaupun kami baru saja bertemu beberapa jam lalu, tapi gue bisa merasakan perasaan nyaman itu. “Kal, nyanyi lagi dong, suara lo enak banget.”
“Tapi bayar aku ya, Ndi.” Lalu ia tertawa dengan tawa renyah khasnya, kemudian kembali menggumamkan lirik-lirik lagu yang tak pernah gue dengar sebelumnya. “Ndi, tell me something about you.” ucapnya memotong dendang lagu yang sedari tadi ia gumamkan. “Setelah kupikir pikir daritadi kita di acara New Year’s Eve Party, kamu gak cerita apapun selain latar belakang kamu yang sama dengan Andra.”
“Gak ada yang perlu dan bisa diceritain dari gue, Kal. I’m nothing special, really. Just this big awkward guy who’d rather choose to drown himself in his camera than to socialize.
“Aku rasa gak salah kok untuk lebih milih kameramu, because I know that must be something you really love the most. Aren’t I right?
Yup, lo bener banget, Kal. And I think… just for a split second though, gue rasa lo bakal jadi the next thing I really love the most in life.
***
Puncak. 03:00 subuh.
Kallista yang kini terlelap di bangku penumpang nampak begitu indah bahkan dengan dengkuran halusnya sekalipun. Gue yang baru saja sampai di Puncak, memutuskan untuk minggir sebentar untuk beristirahat sejenak. Perjalanan tanpa arah gue kali itu terasa begitu menyenangkan karena Kallista. Mungkin karena jiwa hippie yang ia miliki, yang bisa membuat gue ikut masuk ke dalam dunia penuh damainya itu. Tadi, selama perjalanan Kallista sukses bikin gue cerita ini itu dari kecintaan gue terhadap fotografi sampai kejadian-kejadian memalukan yang pernah gue dan Andra alami. Dan Kallista yang bernotabene sepupu Andra itu jelas langsung terbahak mendengar semua itu, berjanji bahwa ia akan mengungkit hal itu di depan Andra untuk mempermalukannya.
Hell, she was so beautiful. Bahkan dalam balutan floral summer dress-nya itu, dia tetap terlihat seperti bidadari di depan gue. Tak ingin kehilangan momen itu, gue segera mengambil tas kamera gue yang gue simpen di jok belakang, membuka tas itu dan segera mengambil isinya. Gue membuka penutup lensa kamera tua Nikon fm10 kesayangan gue itu dan gue arahkan tepat di depan Kallista sebelum akhirnya, gue bidikkan kamera gue dengan sekali jepret. Sebut gue mesum karena udah motret cewe yang sedang tidur dengan seenaknya, tapi buat gue setiap momen memang selalu harus diabadikan.
Lantas merasa bersalah, akhirnya gue pun membangunkan dia dengan sekali guncangan pelan di bahunya. “Kal, bangun, Kal. Kita udah sampe Puncak ini.”
Yang dibangunkan itu hanya membuka matanya dengan malas, menghela napas panjang sebelum akhirnya bangun dengan benar untuk memperhatikan sekitarnya. Jalanan di Pundak pada dini hari memang remang-remang, namun pencahayaan remang remang inilah yang menurut gue sukses membuat Puncak nampak cantik pada waktu malam. “Puncak, Ndi?” gue mengangguk mengiyakan pertanyaan Kallista. Dan setelah beberapa saat memproses anggukan kepala gue akhirnya Kallista tersadar dengan mata segarnya. “Serius? Puncak? Ayo tunggu apalagi, kita keluar, Ndi!”
Kallista yang begitu bersemangat pun keluar dari mobil untuk menikmati pemandangan sekitar. Gue yang masih bersiap untuk keluar pun dapat dengan jelas melihat bahwa hawa dingin yang dibawa Puncak membuat tubuh mungil itu menggigil kedinginan. Jadi segera saja gue ambil sweater coklat kesayangan gue yang selalu ada di jok belakang mobil gue yang berantakan. Dengan berbekal kamera yang gue sampirkan di bahu, gue pun keluar dari mobil. Melihat Kallista yang kedinginan itu, gue segera melempar sweater gue sambil berkata, “Pake tuh, Kal. Jangan lo sampe sakit abis gue bawa kabur gini. Nanti Andra marah-marah lagi sepupu kesayangannya sakit abis gue culik.”
Kallista hanya cengengesan, menerima sweater gue dan segera memakainya. Kebesaran memang, tapi gue suka ngeliat itu dipakai di badan mungilnya. “Nih, gantinya kamu pakai ini ya, Ndi.” Kallista melepas flower crown dari kepalanya dan memakaikannya di atas kepala gue. “You look terribly cute.
Gue hanya mendengus setengah tersenyum. “I look terribly weird.
Kallista menggeleng. “Let’s take a picture to prove then. Aku baru inget kalo aku bawa instax.” Kallista pun mengeluarkan sebuah instax nya dan menyeret gue lebih dekat dengannya, dan klik. Dengan sekali jepretan sebuah kertas foto itu keluar dari dalam kamera tersebut. I’m never really that lover of instant camera like that. Karena satu hal yang selalu gue suka dan benci tentang roll film, adalah kemungkinan tentang hasil cetak foto itu sampai gue mencetaknya. Sesaat Kallista mengibas-ngibaskan kertas film itu yang awalnya hitam, mencoba mendapatkan hasil yang ia inginkan. Dan setelah beberapa menit berusaha, ia segera menunjukkan hasil foto itu kepada gue dengan cengirannya itu. “See? I told you, right? Kamu gak aneh kok dengan flower crown itu.”
Gue, yang bernotabene seorang pecinta, penikmat, juga pemerhati fotografi, hanya bisa meringis melihat hasil jepretan Kallista yang begitu amatir itu. “Bukan gue, Kal, yang aneh dengan flower crown itu. Tapi flower crown itu yang aneh dipadukan dengan gue.”
Lagi-lagi, Kallista tertawa dengan renyahnya. “Kamu terlalu mandang diri kamu rendah, tau gak? Padahal nyatanya ada begitu banyak di hidup kamu yang bisa kamu appreciate. Your pretty face boy, I’d date you, really.
“Kal, may I?” Kallista hanya diam, mungkin sedikit tercengang dengan ucapan gue, namun gue menyodorkan kamera tua gue itu meminta excuse untuk memotretnya. Karena mengerti akan gesture gue itu, Kallista pun tersenyum mengiyakan. Gue, dengan kamera tua kesayangan gue itu di depan wajah gue, menatap Kallista dari balik kamera, jujur gue merasa puas dengan momen ini. Di tambah dengan ekspresi Kallista yang begitu tenang namun menghayati seakan jiwanya ikut terhanyut dalam dinginnya suasana Puncak yang indah. Dan dalam hitungan detik, gue pun dapat menagabadikan raut wajah itu.
“Gimana hasilnya?” Kallista melompat dengan bersemangat mendekat ke arah gue.
“Lo keliatan cantik,” ucap gue yakin dengan percaya diri. “Kaya biasanya.” Lalu semburat merah itupun muncul begitu saja menghiasa kedua belah pipi tembamnya. “But, Kal, talking about dates… dulu Andra sering banget nyuruh gue nge-date gitu, but he’s the worst on setting up blind dates.” Ucap gue kini mulai bercerita kembali.
Namun, seketika senyum di wajah Kallista luntur begitu saja digantikan oleh sebuah raut sedih yang tak pernah gue lihat sebelumnya. Seorang Kallista yang baru beberapa jam saja  gue kenal itu merupakan gadis yang ceria, dan jujur gue merasa sedih melihat raut itu tersirat di wajahnya. “He’s not the worst, Ndi. You were.
“Maksud lo?” gue mengernyit bingung.
“Tiga bulan yang lalu, harusnya kamu dateng nurutin Andra yang nge-set blind date buat kamu. Kamu seharusnya jemput aku di Kedai Cozy waktu itu.” Kallista tersenyum tipis, namun gue yakin betul itu hanya sebuah topeng. Sial, gue memang bodoh.
Shit, I should’ve known that, Kal.” gue merutuki kesal menyadari hal itu.
“Apa bedanya kalau kamu tau itu aku? Apa kamu akan datang? Nyatanya gak akan ada yang tau kemungkinan itu, Ndi.” Kallista hanya terdiam, pandangannya melayang jauh entah kemana. “Seperti yang selalu kamu bilang tentang kecintaan kamu tentang roll film, kamu gak pernah tau suatu hal sampai kamu benar-benar mengetahuinya. Dan setelah kupikir-pikir, aku rasa filosofi kamu terhadap roll film itu gak jauh beda sama kisah kita.”
“Pas tadi aku turun panggung dan kamu dateng, jujur aku kaget lho, Ndi. Aku tau kamu itu Andi Supriyo, karena sedikit banyak aku tau tentang kamu dari Andra. Andra suka banget cerita emang tentang kamu, dan jujur akupun ngeiyain ajakan Andra waktu itu buat blind date sama kamu karena aku penasaran sama sosok kamu. But see, you stood me up, Ndi, and you didn’t take the chance.
I didn’t take the chance, yes I know. Sebut gue pecundang, Kal, tapi gue minta maaf karena udah ngelakuin itu sama lo.” Gue hanya bergeming di tempat gue berdiri, ingin sekali meraih tubuh mungil rapuh itu ke dalam pelukan gue, namun gue tau gue harus memberi jarak. “But I would really like to take you on dates for real, if you don’t mind.
Dan pada akhirnya, Kallista pun kembali menyunggingkan senyum itu. Jujur, kata-kata gue tadi memang diluar dugaan karena gue gak pernah mempersiapkan diri buat hal semacam ini. “Aku tau!” Nada suara Kallista kembali berubah ceria. “Kamu bilang kamu gak pernah tau bagaimana hasil foto di roll film kamu itu sebelum kamu mencucinya, kan?” Gue mengangguk ragu, lalu membiarkan sosoknya melanjutkan apa yang ia ingin katakan. “How about this… gimana kalo kamu cuci roll film itu dan liat hasil jepretan kamu yang ada akunya itu. Kalau hasil fotonya gak buram, temui aku di Kedai Kopi Cozy hari Jumat minggu ini jam 7 malem? Tapi kalau hasilnya buram, then don’t come at all.”
Gue menghela napas, pada akhirnya menerima tantangan yang Kallista berikan. Tak ada jalan untuk kembali, gue harus nyuci foto itu untuk tau hasilnya. Dan dalam hati, gue tau apa yang benar-benar gue inginkan tentang bagaimana hasil foto itu nantinya.
˟˟˟˟˟
Cozy Coffee Shop. 07:00 pm.
Keadaan kedai kopi malam itu cukup lengang, namun dapat dikatakan sibuk juga dalam waktu yang bersamaan. Mereka yang sekedar mampir untuk order kopi. Mereka yang tengah sibuk dengan secangkir kopi juga laptop di depan meja mereka. Mereka yang asyik berbincang dengan secangkir kopi di masing-masing genggaman tangan mereka. Juga mereka… yang entah dengan gelisah menunggu seseorang yang dijanjikan akan datang. Yang salah satunya adalah Kallista.
Kallista melirik jam Swatch nya sekali lagi yang kini tepat menunjukkan pukul tujuh. Sedikit kecewa, ia menghela napas panjang mencoba untuk bersabar beberapa saat lagi. Dalam hati kecilnya ia tau betul apa yang ia inginkan. Namun untuk seukuran lelaki introvert seperti Andi, Kallista sedikit ragu tentang kesempatan-kesempatan kecil yang akan ia ambil. This is the sad truth about her, pada akhirnya ia hanya akan menunggu dan menunggu tanpa akhir yang jelas, menanti sosok yang tak kunjung datang yang pada akhirnya hanya akan mengecewakannya saja.
Seharusnya ia tau, bahwa semuanya akan sama seperti kejadian 3 bulan yang lalu. Tapi entah mengapa Kallista tetap yakin pada sosok yang ia akan temui itu. Karena mulai gelisah, Kallista menyesap macchiato nya yang kini mulai dingin, mencoba memberi dirinya reasuransi bahwa sosok itu akan datang. Sekali lagi, Kallista melirik jam tangannya sekali lagi, mendapati bahwa waktu telah menunjukkan ia telah menunggu sepuluh menit lebih lama dari yang seharusnya dijanjikan. Dengan berat hati karena kecewa, ia pun merapikan barangnya dari meja dan bergegas untuk meninggalkan kedai kopi itu.
Namun, baru saja ia melangkahkan kaki beberapa langkah, ia mendapati Andi yang tengah terduduk di bagian lain kedai kopi itu, tengah menyesap kopinya yang masih hangat dan menggenggam secarik kertas foto seraya matanya berkelana memerhatikan pintu kedai, berharap bahwa sosok itu akan datang. Kallista pun tersenyum, mendekati sosok itu dan menggungcang bahu itu pelan. “Andi?”
Yang dipanggil itu menoleh, mendapati sosok itu tengah berdiri di depannya, lalu seketika tersenyum seraya langsung mendekap tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. “Kali ini gue gak akan nyia-nyiain kesempatan gue, Kal. I promise you that.”
Dan foto itu, ia biarkan tergeletak begitu saja di meja seraya mereka menghambur dalam pelukan masing-maing. Foto itu, sebuah foto yang menandakan keberhasilan Andi, akan selalu menjadi pertanda bahwa di luar sana kesempatan tidak datang begitu saja, karena kesempatan kedua akan datang bersama dengan sebuah keajaiban. Dan ia percaya, bahwa Kallista adalah pembawa keajaiban itu sendiri.
“Kal, let’s go on a real date now.” Bisik Andi pelan, yang hanya dijawab Kallista dengan sekali anggukan saja.
Malam itu, sebuah foto telah berhasil menjawab segalanya.


*****
idektatablake ® April 2015.
Untuk seorang teman yang tak pernah kutemui sebelumnya, cerita kali ini kudedikasikan untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar