Minggu, 19 April 2015

Back To Zero.

Aku memutar ring fokus kameraku untuk sepersekian detik, menghembuskan nafas pelan sebelum akhirnya membidikkan kameraku tepat ke arahnya yang berlatar belakang laut yang sudah mulai menjingga. Dia, seseorang yang kujadikan objek itu, tengah asyik dengan travel journal yang ada di pangkuanya tanpa sadar dengan apa yang baru saja kulakukan. Aku melirik sepintas hasil gambar yang baru saja kuambil, tersenyum tipis merasa puas dengan hasil yang kudapat sebelum akhirnya kembali menengadahkan kepalaku ke arahnya. Dan masih pada posisi yang sama, ia tetap sibuk menuliskan sesuatu dalam travel journal-nya itu.
Terkadang aku heran, di tempat seindah ini, selalu saja ada waktu baginya untuk mengisi lembar demi lembar travel journal yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Bagiku sendiri, momen seperti ini harus diabadikan lewat jepretan jepretan tanganku yang walau memang tak seindah profesional namun tetap memiliki nilainya tersendiri bagiku. Aku sendiri sadar, coretan-coretan tangannya dalam travel journal miliknya itu adalah caranya sendiri dalam mengabadikan tiap momen yang ia lewati. Dan walau cara kami berbeda, aku tetap mengerti perasaannya mengenai konsep pengabadian sebuah momen yang dilalui.
Ageng Inas Saputra.
Dipertemukan pertama kali dengannya lima tahun yang lalu pada tahun terakhir sekolah menengah, lalu dipaksa masuk ke ruang lingkup perkuliahan yang sama pula dengannya, membuatku mau tak mau mengenal sosoknya dengan baik. Dan tanpa kusadari, we’re already these two people travelling places together. Terkadang aku suka berandai-andai tentang kemungkinan masa lalu. Bagaimana jika hari itu aku tidak pernah bertemu dengannya? Dengan siapa aku akan berada di sini hari ini? Apa ia akan merindukan sosokku yang tak pernah eksis di dunianya—nun jauh di sana?
Those are just some of the examples of how I think sometimes, which is always bothering me of course.

“Nas, nulis mulu sih. Come on, live a little. Tinggalin tuh buku jurnal lo and let’s have some fun here.” Ucapku mengajaknya, namun diriku sendiri pun masih tenggelam di balik lensa kamera DSLR kesayanganku mengabadikan tiap momen yang ada saat ini.
Dan dia, orang yang baru saja kupanggil namanya itu, mendongakkan kepalanya ke arahku, mengernyitkan dahinya sambil berkata, “Berisik lo, Cil. Lo aja masih asyik sama kamera lo.”
Akupun berhenti menenggelamkan diri di balik lensa kameraku, menoleh ke arahnya dan berkata, “I’m capturing the moment, you know. I’m living my life right now.
That,” Ia menunjuk ke arah kameraku sebelum akhirnya melanjutkan, “is how you capture your moment. While there’s me writing my stuff on my travel journal to capture my own moment. We all know that, Cil. So shut up and take more good pictures.” Lalu kembali tenggelam dalam coretan coretan tangannya yang entah aku sendiri tak pernah tau apa isinya.
Aku pun hanya bisa mengedikkan bahuku, kembali menenggelamkan diri dalam kesenangan yang kami punya masing-masing.
Namun apa yang dikatakannya memang benar. Kami berdua memang memiliki cara kami masing-masing dalam mengabadikan sebuah momen. Dia dengan coretan dalam journalnya dan aku dengan jepretan dalam kameraku. Semua orang tau itu. Bahkan kedua orangtua kami sekalipun. Namun walau begitu, kecintaan kami terhadap alam Indonesia yang indah ini tetaplah sama.
Aku ingat betul, sekitar 3 tahun yang lalu saat usiaku masih 19, untuk pertama kalinya ibu akhirnya memperbolehkanku melakukan perjalanan kami sendiri. And since then, it’s just me and him travelling places together. Terkadang lucu mendengar lelucon teman-teman kami tentang kami, bagaimana mereka selalu mengatakan kami cocok atau apalah itu. But we’re just purely travelling partners.
Atau mungkin, hanya ia saja yang menganggap begitu.
“Cil, udah puas belom?” ucapannya kembali membawaku pada realita, membuatku tersadar dari lamunanku. “Balik yuk, udah sore. Airnya udah mulai pasang nih, ntar kalo lo keasyikan ngambil gambar trus keseret arus pantai kan gue juga yang repot, Cil.”
“Satu lagi, Nas.” Aku mengatur irama nafasku sekali lagi sebelum akhirnya mendapatkan momen tepat untuk membidikkan kameraku ke arah laut lepas yang sudah menjingga karena bias cahaya langit sore itu. Klik. Lalu akupun menyudahinya. Kututup lensa kameraku itu dan kukalungi kameraku seraya aku berlari kecil ke arahnya. “Yuk.” Ucapku dengan nada sedikit bersemangat.
Jika harus aku jujur, momen seperti saat inilah sebenarnya momen yang sangat ingin aku abadikan dengan kameraku. Namun saat-saat seperti ini tidak akan bisa diabadikan dengan satu bidikkan kamera saja, karena momen seperti ini hanya dapat dirasakan dan diabadikan dalam hati. Saat-saat seperti ini—saat perjalanan pulang kami ke villa penginapan, saat bisu yang menenangkan menemani perjalanan kami kembali pulang—adalah saat-saat yang selalu ingin aku abadikan.
Lima tahun mengenal sosoknya adalah lima tahun terbahagia untukku. Sebelum sosoknya, tak pernah aku benar-benar merasa bahagia dalam menjalani hidup. Ia bagaikan teman hidup yang mengerti betul siapa diriku dan bagaimana kecintaanku terhadap fotografi, alam, dan travelling. But know what the sad part of all? Aku hanyalah si Kecil travelling partner untuknya. Sedih memang jika mengingat bagian itu, tapi jika harus memilih antara tetap berada di sini atau keluar dari zona aman kami, aku akan memilih yang pertama.
Call me nuts, but I’m comfortable already having him around in my life.
“Cil,” ditengah perjalanan ia membuka pembicaraan itu. “Besok mau kemana lagi?”
Aku mengedikkan bahuku. “Katanya mau ke Tugu Kilometer Nol?”
“Jadi kita ke sana?”
Aku meliriknya setengah pedas. Taun ini, Pulau Weh adalah destinasi terakhir kami karena ini sudah menjelang penghujung tahun dan aku mengerti betul bahwa kami harus kembali ke Jakarta untuk berkumpul dengan keluarga masing-masing untuk merayakan pergantian tahun bersama keluarga. Dan aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan kami di sini. “Jadilah, Nas, gila kali kita udah jauh-jauh ke Pulau Weh tapi gak ke Tugu Kilometer Nol.”
Yang kusembur itu hanya tertawa kecil melihatku marah. Entah mengapa, sudah memang dari sananya sepertinya ia senang melihatku marah. “Lucu lu, Cil, kalo lagi kesel gini. Pipi tembem idung pesek… makin pesek itu nanti hidung kalo lo kesel mulu.”
“Gak lucu elah.” Ucapku kesal.
“Yah jangan marah beneran dong, Cil.” Karena sadar, iapun segera menarikku dalam rangkulannya, sambil mengacak rambutku yang sudah mulai tak berbentuk ini. “Ini kan perjalanan terakhir kita sebelum balik ke Jakarta, gue kasih apa aja yang lo mau deh besok. Tapi jangan ngambek gini lagi ya, Cil.”
Aku mau kamu, Nas.
Sedih rasanya mendengar hatiku sendiri berkata seperti itu tanpa memiliki daya apapun untuk mengatakannya langsung. “Gue gak mau apa-apa, Nas.” Ucapku pelan. “Cuma mau tetep di sini kita jalan-jalan terus travelling ke mana kek.”
“Yah, Cil, udah tanggal 24 ini juga. Besok natal aja pasti banyak yang mau pulang kampung. Kita juga harus pulang kampung ke Jakarta, Cil. Ntar kan abis tahun baru juga kita mau naik Rinjani sama anak anak.”
Tapi maunya berdua kamu aja, Nas.
“Yah tapi gak seru, Nas. Gak bisa bebas kalo sama anak-anak yang lain.” Sebagai anak antropologi, sudah jelas kami semua satu almamater senang jalan-jalan ke manapun itu. Namun memang benar apa yang kukatakan tadi, bahwa hanya saat bersama Inas lah aku bisa merasa benar-benar bebas saat di perjalanan.
“Yahilah sama aja kok, sama-sama jalan kan? Sama anak-anak juga malah lebih seru, lebih banyak yang bisa di bagi bareng. Kalo berdua ginikan kenangannya cuma bisa dibagi berdua, gak bisa dibagi rame-rame.”
That’s the point, Nas. I just want the memory for the both of us.
Aku pun hanya dapat menghela nafas lelah, membiarkan kata-katanya mengambang di udara tanpa aku balas. Dan setelah beberapa menit keheningan itu, tanpa kusadari kami telah sampai di depan villa penginapan kami. Langkah yang tercekat itu kini hanya bisa membuat kami bergeming di tempat.
“Ya udah gih, masuk kamar lo, mandi, istirahat, sekalian jangan lupa packing. Ntar makan malem kita cari bareng aja di luar.” Inas kembali mengacak rambutku. “Besok destinasi terakhir kita nih, Cil. Simpen tuh tenaganya buat besok.”
Aku pun tersenyum, mengiyakan ucapannya dengan anggukan kepala. Walau dalam hati merasa sedih karena perjalanan kami tahun ini akan segera berakhir esok hari.
***
Pagi itu, kami bergegas mengepak barang kami dalam mobil sewaan sebelum akhirnya mobil itu membawa kami ke destinasi terakhir kami tahun ini. Tugu Monumen Kilometer Nol yang terletak di areal Hutan Wisata Sabang tepatnya di Desa Iboih Ujong Ba’u, Kecamatan Sukakarya, sekitar 5 km dari Pantai Iboih tempat penginapan kami berada. Letaknya di sebelah barat Kota Sabang sekitar 29 km atau memakan waktu sekitar 40 menit berkendara.
Perjalanan yang hening itu lantas membuatku kembali tenggelam dalam perandaian yang ada dalam otakku. All those what if’s possibilities that flying around my head. Melihatnya nampak serius mengemudikan mobil membuatku merasa bahagia dan sedih dalam waktu yang bersamaan. Bahagia karena aku masih dapat merasakan waktu-waktu terakhirku bersamanya sebelum kembali pulang ke Jakarta. Sedih karena ini adalah perjalanan penghujung tahun kami yang akan menguap begitu saja menjadi kenangan setelah pergantian tahun.
Inas yang menyadari lamunanku itu melirik ke arahku sebelum mengembalikan pandangannya ke arah jalanan kecil yang ada di depan kami. “Cil, gue liat-liat dari kemarin di Pantai Iboih lo jadi sering ngelamun, kenapa sih?”
Aku menggeleng pelan, tak ingin mengatakan apa yang sedari kemarin mengambang-ambang di atas kepalaku. “Ngelamun apaan?”
“Yeh nih anak satu sok gak tau.” Dia menjitakku kesal. “Seriusan ini gue. Ada apaan lo diem mulu?”
Aku yang tengah mengaduh kesakitan pun hanya bisa menjawab, “Gak ada apa-apaan astaga, sakit tau!” Lalu kubalas jitakkan itu di kepalanya.
“Astaga, nih anak seneng banget bales dendam buset dah.” Inas pun hanya bisa mengusap kepalanya yang kujitak itu.
Dan begitu saja, pikiran itupun menguap begitu saja dari kepalaku digantikan dengan pertengkaran-pertengkaran kecil di antara kami. Semua orang selalu bilang bahwa kami seperti adik abang atau bahkan terkadang ada yang berani berkata bahwa kami sangat cocok bersama yang pada akhirnya hanya akan membuat harapanku tentangnya melambung tanpa ada reasuransi darinya. Namun entahlah, mungkin pada akhirnya kita hanya akan tetap menjadi travelling partner, tak lebih.
Ketika sampai, aku dengan excited-nya keluar dari mobil dan berlari ke pelataran monumen seperti anak kecil. Walau sedih jika harus mengingat Inas, tapi aku tetap ingin merasa bahagia karena tempat-tempat yang kukunjungi. Jadi dengan bersemangat akupun menarik narik tangan Inas agar kami segera sampai di atas pelat monumen yang menandakan penghujung Indonesia paling timur itu.
We’re finally here, Nas.” Aku membuka penutup lensa kameraku, memotret pelat monumen yang ada di depan kami, lalu berhenti sejenak untuk menyunggingkan senyum sumringahku ke arahnya. “We’re finally here.” Ucapku lirih.
Sedih? Pasti. Namun aku sudah sampai di sini hari ini dan menurutku tak ada yang perlu kutangisi untuk itu. Yang aku perlukan hanyalah kamera kesayanganku dan objek potret terindah yang ada di depanku saat ini. Inas. Klik. Dengan sekali jepret, akupun dapat mengabadikan satu lagi momen itu. Seorang Inas yang membalas senyumku dengan sama sumringahnya. Seorang Inas yang terlalu sibuk tenggelam dalam jurnalnya. Seorang Inas yang terlalu kagum untuk menyadari keindahan sekelilingnya. Sudah terlalu banyak momen kecil itu yang kuabadikan. Ratusan, atau mungkin ribuan. Aku tidak ingat lagi.
“Cil,” aku yang tengah sibuk mengambil gambar sekitar kini diganggu dengan suara itu. Akupun mendongak, menatapnya dengan penuh tanda tanya di wajah. “Nikah yuk.”
Skakmat.
“Kesambet apaan lo, Nas?”
Yang kutanyai itupun hanya mengedikkan bahunya, mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berusaha untuk tidak menatapku. “Yaudah kalo lo gak mau gue ajak nikah.”
“Ya gak maulah kalo cuma bercandaan doang.”
Baru setelah kukatakan itu, ia kembali mengalihkan tatapannya ke arahku. “Yang ini gue serius, Cil. Mau gak?” Aku menelan ludah, merasakan kelu di lidahku karena tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. “Sebenernya gue udah kepikiran ini dari lama, cuma baru berani buat nyatain ini sekarang aja. Selama ini gue selalu mikir, kita travelling bareng terus kemana-mana berdua terus, gue suka ngerasa sedih aja. Liat lo tiap hari yang atraktif motret ini itu, sumringah tiap ngedatengin tempat baru, cerita ini itu kaya anak kecil, gue seneng sama semua itu.”
“Tapi apa ya, Cil…” dia terdiam sejenak, menghela nafas pelan sebelum akhirnya kembali melanjutkan, “Suka sedih aja deh pokoknya kalo nginget selama ini kita sama-sama kaya gini cuma karena kita ini travelling partner doang, gak lebih. Ngeliat lo yang sumringah, ngeliat lo yang kaya anak kecil, ngeliat lo yang suka jatoh tiba-tiba, entah gue selalu pengen milikin semua momen itu buat gue sendiri, Cil, gak pengen gue bagi-bagi sama orang lain deh pokoknya. Gue pengen jadi partner hidup lo, pengen jadi satu-satunya saksi hidup lo sampe tua nanti, yang bisa jadi saksi ke anak-anak lo segimana bahagianya hidup lo sekarang ini.”
“Lo lagi serius kan, Nas? Gak bercanda?”
Inas hanya bergeming tanpa menjawab pertanyaanku itu, merogoh kantung celananya sesaat sampai akhirnya aku menyadari apa yang tengah ia lakukan. Kotak merah beludu itu ia buka seraya ia berlutut tepat di depanku. “Gue tau ini keliatan konyol karena gue yang ngelakuin ini di depan lo sekarang, but will you be my partner for the rest of my life?
Inas benar, hal seperti ini memang konyol karena kami sering menertawakan film roman picisan yang selalu berakhir bahagia. Menurut kami, hal tersebut tidak realistis. Apalagi jika suatu adegan sudah diakhiri dengan sang lelaki yang berlutut di depan perempuannya, memintanya untuk menikah dengannya. Jujur, aku sadar bahwa kami bukanlah dua jiwa romantis yang dapat mendramatisir kejadian konyol semacam ini. Tapi percayalah, jika hal itu dilakukan oleh orang yang tepat, semua akan terasa indah pada waktunya.
Dan jangan tanya apa jawabanku untuk pertanyaan satu itu, karena kuyakin saat aku menariknya dalam pelukanku, aksi itu sudah dapat dengan jelas menjawab pertanyaannya. Di sini, tepat di depan plat Tugu Kilometer Nol Indonesia, kami kembali memulai semuanya dari nol. Dan kamu, Inas, kuharap perjalanan kita mengelilingi Indonesia tercinta tak berhenti sampai di sini saja.










*****
idektatablake ® April 2015.
Untuk seorang kakak yang baru saja melepas masa kebersamaannya, seseorang yang lain masih menunggumu di sana, menanti kebersamaan kalian mengelilingi alam Indonesia yang indah kelak. Dan untuk seseorang yang namanya kupakai, kutitipkan namamu untuk sepotong kisah fiksiku ini.

3 komentar: