Kamis, 02 Januari 2014

Waiting What's Long Gone.

Kamu adalah berkas pertama cahaya mentari pagi yang menembus tirai kamarku. Kamu adalah semilir angin malam yang menusuk kulitku. Kamu adalah tetesan hujan pertama di bulan Desember yang membasahi tubuhku. Kamu adalah suasana damai di pagi hari yang menenangkan jiwaku. Kamu adalah kamu, mariyuanaku, kecanduan terbesarku, seluruh hidupku yang mana tanpa adanya kamu, akupun tak akan dapat bertahan hidup. Sebut aku gila, tapi itu nyata. Seperti saat kamu meninggalkanku hari itu, aku sendiri masih tidak yakin dimana aku berpijak hingga hari ini.

Sejak kamu pergi dari hidupku sepuluh tahun yang lalu, aku tak pernah berhenti berharap bahwa kamu akan kembali ke sini. Mereka bilang kamu pergi untuk menggapai impianmu. Yang aku pertanyakan adalah, apakah tak ada cara lain untuk menggapai mimpimu itu disini? Kenapa harus meninggalkanku? Kenapa harus pergi jika dapat tetap tinggal? Apa aku adalah sebuah kesalahan dalam hidupmu? Apa aku adalah sebuah kesalahan hingga kamu harus pergi dan lari menjauh? Kamu tidak pernah bilang apa yang mengganjal, Ezra.

Kemarin, aku mendapat kiriman email dari seorang rekan lama kita dulu. Ingat Jenna? Ya, Ia bilang sekolah lama kita akan mengadakan reuni akbar. Dan ia bilang, kamu akan ada disana. Saat untuk pertama kalinya namamu kembali disebut setelah sekian lama, tanganku seketika berhenti bekerja, tubuhku menegang entah kenapa. Ezra. Dimana kamu sekarang? Apa kabarmu? Masihkah kamu menyesap kopimu setelah dingin? Masihkah kamu berkunjung ke makam bundamu untuk sekedar bercerita singkat? Masihkah kamu lupa untuk memakai kacamatamu? Aku tak tau.

Ethan bilang, Ezra juga akan datang.

Begitulah isi email kedua yang Jenna kirimkan padaku. Entah untuk menghasutku datang atau tidak, email kedua yang Jenna kirimkan padaku siang itu cukup untuk membulatkan kemauanku untuk datang. Jadi, disinilah aku sekarang. Gedung berlantai tiga itu masih kokoh berdiri. Dengan pelataran sekolah yang tidak banyak berubah, harus kuakui bahwa aku rindu semuanya. Termasuk kamu, Ezra.

Dimana kamu? Apa tidak datang? Ataukah telat?

Aku tidak tau, namun tetap kupertanyakan juga keberadaanmu. Tadi, saat aku berkeliling menemui teman-teman lama, sempat ada keraguan yang menyeruak dalam dada bahwa kamu tidak akan datang, bahwa aku akan gagal menemukanmu setelah sepuluh tahun tidak berjumpa.

Namun semua keraguan itu musnah saat akhirnya aku menemukanmu di sana. Di tengah kerumunan teman-teman lama, dengan setelan jas yang terasa asing dimataku, serta garis wajah dingin yang tak pernah berubah itu, kamu datang. Aku sempat tak percaya, melihatmu berdiri di sana, terlihat bingung dengan wajah-wajah lama yang kini terasa asing bagimu, serta garis-garis wajah tegas yang tidak berubah sedikitpun. Ya, kamu datang. Sejujurnya, saat meyakinkan diriku untuk kesekian kalinya bahwa sosokmu memang benar yang tengah kulihat, aku dapat merasakan desiran hangat dalam dada yang sudah lama tak kurasakan sepuluh tahun belakangan.

Ezra...

Saat akhirnya pandangan kita bertemu, sebuah senyum hangat akhirnya meleleh juga di kedua belah bibir itu. Ya, senyum yang tak urungnya berubah. Sebuah senyum hangat di wajah dingin itu. Aku tak ingat siapa yang tersenyum lebih dulu. Yang aku ingat, kita berdua sama-sama merapat, mempersempit jarak diantara kita berdua.

Apa kabarmu? Baik-baik saja bukan? Masihkah kamu ingat aku? Masihkah kamu ingat kehidupan SMA yang dulu kita jalani bersama? Masihkah kamu ingat masa-masa indah itu?

Jawab saja tidak bila memang tidak. Aku tak akan menuntut jawaban ya. Tapi, harus kuakui, aku rindu sosokmu ini, rindu juga semua kenangan di sekolah ini.

“Stella?”
Suara itu.... kapan terakhir kali aku mendengar suara itu?

“Apa kabar, Stell? Masih baik-baik aja, kan?” seperti sosokmu yang sudah dari sananya seperti ini, kamu memasang sebuah senyum sumringah seakan perpisahan sepuluh tahun lamanya ini bukanlah apa-apa.

“Masih,” adalah jawaban singkatku atas pertanyaan nan sumringahmu itu. “Kamu.... bagaimana London?”

Kini, senyum itu tergantikan dengan sebuah senyum masam, yang entah mengapa membuatku sesak seakan aku baru saja ditinju tepat didada. “Aku.... aku akan menikah, Stell, dengan perempuan yang kutemui di London.”

Dadaku tercekat, entah mengapa rasanya sulit sekali untuk bernapas. Ingin rasanya menangis, tapi tidak bisa. Jadi, selama ini dugaanku benar. Ia telah bahagia. Tapi, bukan akulah alasan ia bahagia. Dan itu, harus kuakui, adalah hal terakhir yang ingin aku pikirkan sekarang. Untuk sesaat, kucoba untuk merekahkan sebuah senyum lemas di kedua belah bibirku. “Selamat,” adalah satu-satunya kata yang dapat kuucapkan walau sudah kuusahakan untuk berbicara lebih panjang. Dalam skenarioku, adegan ini tidak pernah eksis. Yang eksis adalah bagian dimana aku akan bercerita dan bertanya banyak padanya tentang kehidupan serta apa-apa saja yang telah kulewatkan sepuluh tahun belakangan ini.

“Maafin aku, Stell.” Kini, giliranmulah berbicara dengan nada pelan, dengan mata yang tak sanggup menatapku tepat di manik mata.

Kenapa?

Rupanya, aku masihlah diriku yang mudah untuk dibaca. Karena setelah pertanyaan itu terlintas di otakku, kamu segera menjawab, “Karena selama sepuluh tahun belakangan ini, aku nggak pernah sekalipun nyariin kamu. Karena selama tahun-tahun yang berat, aku nggak pernah sekalipun menghubungi kamu. Padahal nyatanya, ada banyak cerita yang ingin aku bagi sama kamu, Stell.”

Aku diam, tak dapat berbicara, tak dapat bergerak. Hanya diam.

“Mungkin telat untuk ngucapin ini sekarang. Tapi, dulu banget, sepuluh tahun yang lalu, waktu gedung tua sekolah ini masih jadi saksi bisu hari-hari nakal kita sebagai remaja, aku pernah suka kamu. Salah, aku pernah sayang sama kamu, Stell. Bahkan sampai sekarangpun, rasa itu masih tetap ada.” Untuk sesaat, kamu terdiam. “Waktu itu, aku nggak punya tujuan hidup, nggak tau ingin jadi apa, nggak punya cita-cita, sedangkan kamu.... waktu itu kamu udah punya cita-cita, tujuan hidup, sesuatu yang belum aku punya. Makanya, waktu hari kelulusan tiba, aku absen dan pergi ke London untuk nyari jati diri. Awalnya kupikir, ini bisa jadi surprise buat kamu, jadi seenggaknya, suatu hari aku bisa balik ke kamu dan bilang kalau kita udah seimbang, kalau kita udah sama-sama punya cita-cita.

“Nyatanya, Stell, setelah jalan lima tahun aku tinggal di London untuk nyari jati diri, aku takut untuk menguhubungi kamu, untuk seenggaknya ngasih tau kamu kalau di London aku sudah punya kehidupan yang cukup mapan. Dan waktu aku menimbang-nimbang antara menghubungi kamu atau enggak, Maria datang begitu saja. Seperti jawaban atas malam-malam kegalauanku, dia menggantikan sosok kamu sedikit demi sedikit. Dan tanpa sadar, aku lupa kalau kamu pernah eksis di hatiku.” Ya, seperti yang tanpa sadarnya kamu melupakan bahwa aku pernah eksis di hidupmu, akupun tanpa sadar lupa kalau menangis adalah sebuah emosi. Sebut aku cengeng, tapi air mata ini tidak dapat kubohongi. Kamu membuatku sakit, Ezra. Jangan suruh aku berhenti sekarang.

“Stell,” seperti kamu yang dulu, kini kamu membelai rambutku seraya menyebutkan namaku dengan sebuah irama yang familiar. “Mungkin aku telat, tapi aku sayang kamu, Stell. Maafin aku kalau selama sepuluh tahun belakangan ini, aku nggak pernah sekalipun ngasih tau kamu tentang perasaanku ini.”



Tepat pada saat ia berhenti berucap, aku tau aku telat. Ezra yang dulu tidak akan pernah kembali lagi. Tepat pada hari ini, aku kalah telak atas dirinya. Mariyuanaku tidak akan pernah bisa membuatku kembali candu. Because I'm just a foolish waiting for something that's just long gone, sesuatu yang telah lama pergi dan hilang dari hidupku. Penantian ini hanyalah sia-sia.






***
idektatablake ® Januari 2014.
School will start soon. And yet, I'm here sitting in front of my laptop at 2 am writing a piece of short story I don't know where in the goddamn world I got the whole story line idea from instead of sleeping and preparing myself for school that's gonna start in a few more days. Fact is, time flies by in the blink of an eye, Darling. So don't you ever waste your time loving someone from afar. If you're brave enough to love them, be brave enough to say it.
Just feel like to write out something meaningful on page two of chapter 2014, I hope you guys enjoy it. :) x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar