Minggu, 19 Oktober 2014

Menjadi Dongeng.

Kalau saja hari itu aku tidak menabrakmu ditengah derasnya hujan di pertengahan bulan Desember, aku yakin takdir tidak akan pernah membawa kita sejauh ini. Kita hanyalah manusia biasa saat itu, yang tidak pernah menyangka takdir akan sejauh ini membawa kita. Sepeninggal ayah beberapa tahun silam, aku telah menutup rapat-rapat pintu hati ini, membuang kuncinya jauh-jauh, berlari sekencangku, tidak membiarkan siapapun mengetuk untuk masuk. Namun kamu, entah bagaimana caramu memasuki pintu itu, kamu berhasil menembus pintu itu. Bagaikan takdir, kamu sepertinya sudah memiliki kunci cadangannya. Dan secepat hujan yang mereda, secepat itulah kau memasuki pintu itu.

Kamu baik. Secara general, baik memiliki banyak arti. Aku tidak akan menambahkan kata sekali karena itu hanya akan menjadi penilaian secara subjektif dari perspektifku saja. Sebagai sesama pecinta hujan, fotografi, serta kopi, aku masih akan tetap menilaimu secara general saja, universal tanpa membeda bedakan. Namun dengan kecerdasanmu berbicara serta berargumen saat kita membicarakan tentang kopi beraroma terbaik di dunia, aku sedikit banyak mulai terpikat, memberi sedikit saja nilai plus untukmu.

Sepeninggal ayah beberapa tahun silam, berkali kali aku selalu mengatakan pada diri sendiri untuk berhati-hati. Tidak boleh jatuh terlalu dalam. Tidak boleh menyayangi terlalu berlebih. Karena apa? Karena di penghujung hari, saat kelak mereka meninggalkanmu, mereka pun akan meninggalkan jejaknya. Baik yang berkesan maupun luka. Namun kebanyakan, saat seseorang pergi, yang mereka tinggalkan hanyalah luka. Dan seperti itu pula, aku membentengi diriku untuk tidak jatuh kepada sosokmu. Barangkali kamu tidak akan menangkapku saat jatuh, aku tidak perlu merasa lebih sakit dari yang sudah kurasakan.

Namun seperti yang kukatakan tadi, bagaikan takdir yang telah menggarisi semua jalan kita, kamu selalu saja memiliki cara agar aku tidak membentengi diriku lagi di depanmu. Dengan kepiawaianmu memikat semua hati anak kecil, sulit bagiku untuk tidak menyayangi sosokmu. Apalagi, jika hati anak kecil yang kamu pikat adalah anak-anak penderita kanker yang rutin kudatangi setiap minggunya karena aku relawan di sebuah rumah sakit anak kenamaan di bilangan Jakarta. Aku ingat percakapan kita pagi itu, saat kita tengah berkendara ditengah kelengangan jalanan kota Jakarta yang biasanya begitu padat,

"Aku punya empat adik perempuan, Na. Karena ayah sama ibu cerai pas aku umur 15, jadi mau gak mau aku harus siap gantiin ayah buat adik-adikku. Pas itu ibu lagi hamil tua, lagi ngandung dua adik kembarku yang waktu itu aku ceritain. Jadi, jangan heran yaa kalo di rumah sakit semua anak kecil pada mau deket deket sama aku."

Lalu kamu tertawa kecil, memamerkan sebuah senyum bangga karena bisa begitu saja menaklukan hati anak kecil. Dan benar saja, baru saja sampai, anak anak kecil yang sudah menjadi teman temanku itu segera mengerubungi kamu. Mulai dari, "Wahh Ka Ina bawa teman baru yaaa?" sampai ucapan, "Pacarnya Mba Ina ganteng yaaa" datang membanjiri kamu  secara bertubi-tubi. Saat itu, yang aku lihat hanya senyum bahagia, walau aku tau sebenarnya dalam hati kamu pun sedih melihat anak anak itu, mengingat keadaan keluargamu yang tidak lebih baik dari nasib mereka. Aku tau, kamu juga membentengi dirimu. Aku tau tapi  seperti halnya kamu, akupun menganggap semuanya tidak penting dan tidak perlu untuk dibicarakan. Seakan, itu adalah pengetahuan biasa yang tidak pernah kita besar-besarkan, cukup masing-masing dari kita saja yang tau apa yang terjadi dalam diri masing-masing.


Aku juga ingat, bagaimana saat aku membawamu berkunjung ke rumahku untuk pertama kalinya, ketiga adikku yang semuanya perempuan segera heboh karena aku membawa lelaki main ke rumah. Saat itu bunda hanya tersenyum, walau dalam hati ia tau bahwa akhirnya aku membuka pintu hati ini juga. Tujuh tahun sejak kepergian ayah, aku tidak pernah sekalipun membawa lelaki datang untuk sekedar main ke rumah. Dan mungkin, aku rasa, bunda bahagia karena akhirnya anak sulungnya memutuskan untuk membuka pintu hatinya juga. Namun bunda salah. Kita hanya teman, kan? Aku ingat reaksi ketiga adikku yang semuanya terbilang remaja yang begitu heboh karena kerupawananmu. Dan aku ingat, bunda bertanya,

"Sudah berapa lama deket kalian? Gak cerita-cerita ih kamu sama bunda, Na."

Dan kamupun hanya terkekeh, lalu menjawab singkat, "Alhamdulillah sudah 6 bulan, tante."

Lucunya, kamu sama sekali tidak menyanggah pikiran bunda yang mengira bahwa kamu adalah lelakiku, milikku. Sebagai perempuan yang sedikit demi sedikit telah membuka hatinya, akupun tak kuasa untuk tersenyum bahagia. Apalagi dengan senyuman ikhlasmu yang begitu tulus pada saat kamu akhirnya diharuskan untuk pulang. Di depan gerbang rumah, kamu berkata,

"Bunda kamu lucu ya, ngiranya kita apaan padahal kita apaan."

Dan telak, percikan rasa sesak itu entah mengapa muncul begitu saja. Sudah berapa lama aku tidak merasakan rasa sakit seperti ini? Memang kita apa? Teman, kan? Namun kenapa rasanya ada yang janggal? Aku lihat kamu hanya terdiam, menunggu untuk sepersekian detik sebelum akhirnya kamu kembali menutup pintu mobilmu, berbalik, dan mengatakan,

"Na, mau jadi yang kaya bunda kamu kira gak?"

Skakmat. Telak.

Aku hanya bisa mengembangkan sebuah senyum sambil mengangguk dan berkata, "Mau."


****

Sejak kecil, ayah selalu membacakan dongeng penghantar tidur setiap malamnya. Seperti pendongeng ulung, beliau bagaikan tidak habisnya bahan bacaan. Dan dari banyaknya cerita yang beliau telah dongengkan untukku, aku selalu suka dongeng putri duyung naif dan pangeran. Puitis, klise, namun bermakna dalam. Entah darimana aku menyimpulkan itu, namun aku suka pencitraan jiwa putri duyung yang begitu naif hingga ia rela menukar suara indahnya dengan sepasang kaki manusia yang setiap langkahnya hanya akan menyakiti dirinya demi seorang pangeran. Putri duyung itu bahkan rela menukar jiwanya untuk menjadi buih jika ia gagal meyakini sang pangeran bahwa ia adalah cinta sejatinya.

Dan seperti halnya kisah putri duyung yang naif itu, sebenarnya aku tau kita tidak jauh berbeda dari mereka. Kita tidak pernah tau tentang apa yang ada di depan kita namun kita tetap mempertaruhkan segalanya di atas cinta. Dan berselang 3 tahun dari hari pertama kita bertemu di pertengahan bulan Desember, hari pernikahan itupun tiba. Apakah aku senang? Pasti. Bagaimana tidak? Aku sudah mengenalmu begitu lama dan akhirnya hari inipun tiba. Aku sendiri tidak tau harus mengapresiasikan kebahagiaan ini dengan senyum atau tangisan.

Kamu begitu tampan, Sayang. Dengan setelan tuksedo hitam yang kupilihkan waktu itu, kamu tampak begitu gagah di depan altar. Walau terlihat setengah gugup, aku kembali tersenyum padamu dari kejauhan untuk menghilangkan perasaan gugup itu. Orang bilang, kamu akan segera melepaskan rasa gugup itu sesaat setelah kamu melihat mempelaimu. Dan dari sorotmu yang kulihat, setelah aku mengembangkan senyumku, kamupun nampak lebih tenang dari sebelumnya. Dan entah mengapa, setelah sampai di depan altar, setelah mengucap janji suci, setelah semua kegugupan berakhir, aku merasa lega. Lega melepas semua kegugupan, lega melihat tak ada satupun orang yang tidak merestui. Namun yang lebih penting, aku lega melihatmu bahagia juga.

Di tempat resepsi pernikahan, undangan yang kebanyakan merupakan sanak saudara juga teman dekat, tampak begitu bahagia melihat ketampanan kamu. Berkali kali mereka memujimu yang nampak begitu gagah dan berwibawa di depan altar tadi. Dan karena terlalu asik berbincang dengan sanak saudara, aku sampai-sampai kehilangan kamu. Jadi, dengan segera aku mencarimu di tengah keramaian orang-orang. Aku bahkan lupa, aku belum menyelamati kamu. Kita teman, kan? Dan benar saja, tanpa perasaan sakit yang beberapa hari lalu sempat kurasakan, tanpa perasaan terbebani lagi, aku rasa aku sudah benar-benar menerima semua ini. Kamu bahagia, itu yang terpenting. Dengan ceria aku segera melompat ke arahmu sambil memelukmu,

"Eh sombong yang udah nikah, lupa sama temen yang tadi udah nyemangatin. Selamat yaaa! Semoga langgeng sampe kakek nenek."

Kamu terdiam untuk sepersekian detik, lalu memaksakan sebuah senyum untuk mengembang di kedua belah bibirmu. Aku tau, pasti hati itupun masih sedikit belum menerima kenyataan ini, bukan? Karena itu, aku segera mengatakan,

"Ina udah gapapa kok. Asal kamu bahagia, Ina juga pasti bakal seneng."

Lalu kamupun mengangguk, kembali tersenyum dan mengatakan, "Iya, kamu juga cepet nyusul yaa. Gak baik nunggu terlalu lama, ayah disana pasti mau kamu cepet cepet nyusul aku."

"Gampangg!" Aku mengacungkan dua jempolku untuk memastikan aku baik-baik saja.

"Na, gak usah sok merelakan kalo belum sepenuhnya merelakan. Tenang aja, kita bakal terus temenan kok. Aku bakal terus doain kamu yang terbaik. Dan nanti, kalo aku udah punya anak kelak, aku bakal ceritain tentang kamu ke mereka."

Aku mengangguk, mengiyakan perkataannya, lalu memaksakan senyum itu. Aku ingat, di hari aku mengiyakan pernyataan cintamu hari itu, setelah kamu pulang dan aku kembali ke kamar, aku segera termenung. Aku ingat, yang ada dipikiranku hari itu adalah bagaimana takdir kita ke depannya. Suatu hari nanti, di kala malam tiba, aku akan berada di kamar anak-anakmu, berdongeng atau menjadi dongeng. Dan hari ini, aku rasa aku telah mendapatkan jawaban dari renunganku hari itu.

Dan aku rasa, opsi kedualah yang menjadi jawabanku hari ini.







*****
idektatablake ® Oktober 2014.
"Kelak, ketika malam datang, saya akan ada di kamar anak-anak kamu. Berdongeng atau menjadi dongeng." - @matamatahari_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar