Jumat, 02 Mei 2014

Pertemuan Singkat.

Hari ini, kita kembali dipertemukan.

Kapan terakhir kali aku melihat kamu, Sayangku? Setahun yang lalu kah? Lima tahun yang lalu kah? Atau bahkan, sepuluh tahun yang lalu? Entahlah, aku rasa kita sudah lupa untuk menghitung. It's been a very long time, my dear. Mengapa kamu harus berekspektasi bahwa aku baik-baik saja? Aku sadar, kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama.

Namun, saat aku tanpa sengaja menabrakmu di tengah sibuknya jalanan kota New York, saat lalu aku meminta maaf dan kamu mengatakan bahwa kamu baik-baik saja, saat setelahnya kamu mendongak dan kita mendapati diri masing-masing terlalu kelu untuk bergeming, dan saat kemudian aku memecah keheningan dengan berkata hai padamu... saat itulah aku tersadar bahwa aku salah. Aku rasa, inilah yang mereka sebut takdir. Maksudku, kita tak akan pernah berada di sini saat ini jika Tuhan tidak mengkehendakinya.

Dan lalu kamu memecah pikiranku dengan berbalik menyapaku dan menanyakan kabarku. Awalnya kupikir kamu tak akan mengingatku. Well, setelah sepuluh tahun lamanya tak bertemu, kita kembali dipertemukan dengan ingatan yang masih sesegar dulu... tidak kah itu sebuah kebetulan? Aku rasa tidak.

Aku sempat terdiam untuk sesaat, memikirkan matang-matang tentang apa yang akan aku katakan sebagai jawabanku. Apa kabarku? Aku rasa aku baik-baik saja. Entahlah. Aku rasa begitu, namun benarkah aku baik-baik saja? Setelah kejadian menyakitkan sepuluh tahun yang lalu, aku sendiri sebenarnya ragu apa aku baik-baik saja atau tidak. Namun, alih alih mengatakan dengan jujur jawabanku yang sebenarnya, aku malah mengatakan,

"Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?" Dengan senyum yang kupaksakan itu, kamu lalu mengajakku menepi dan mengatakan bahwa kamupun baik-baik saja, begitupun dengan dirinya.

Sepuluh tahun lamanya menyendiri, aku lupa bagaimana rasanya tersakiti. Namun, saat kamu kembali menyebutkan nama itu, rasa itu kembali hadir di dalam hati yang sudah lama tidak bekerja ini. Sebut aku drama, namun bukankah begitu adanya? Dulu sekali, saat hari-hari berseragam putih abu-abu masih mendominasi kehidupan remaja kita, kamu selalu berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa kita akan selamanya bersama, bahwa tak ada yang harus dikhawatirkan. Namun saat hari kelulusan tiba, saat kamu kembali berjanji padaku bahwa semua akan baik-baik saja, saat lalu kita harus berpisah untuk mencari jati diri masing-masing, saat itulah kamu kemudian menemukan sosok itu. Sosok lain yang kamu temukan di belahan dunia yang lain.

Dulu, kamu bilang bahwa mungkin kamu bukanlah sosok yang terbaik untukku, bahwa nun jauh di sana, sosok prince charming itu masih setia menunggu keberadaanku di dekatnya. Namun dulu—maksudku saat itu—aku sadar bahwa maksudmu yang sebenarnya adalah bahwa sesungguhnya aku bukanlah sosok yang terbaik untukmu. Apa aku sedih? Ya. Apa aku menangisimu? Tidak. Faktanya, saat itu aku hanya terdiam, terlalu bingung bagaimana caranya menjawab pernyataanmu. Dan nyatanya, semua janji yang kamu buat hari itu, tiga tahun yang lalu, semuanya hilang begitu saja bagaikan tertelan bumi.

Mereka bilang, waktu terus berjalan dan aku tidak dapat berdiam di tempatku berdiri terus menerus. Kamu pun telah kembali berjalan. Walau bukan dengan sosokku, namun kamu tetap berjalan beriringan dengan waktu. Tanpa aku yang masih jauh tertinggal di belakangmu. Setahun berjalan, duniaku belum juga berputar. Dan yang kulihat dari profile facebook mu, kamu masih tetap berjalan, meninggalkanku semakin jauh tertinggal di belakang. Dan terus seperti itu, hari tetap berganti, begitu juga dengan minggu, bulan, dan tahun. Hingga akhirnya tiga tahun berlalu.... surat itu datang di penghujung bulan Desember. Dengan berat hati, kubuka amplop biru itu dan kulihat namamu terukir begitu indah berdampingan dengan nama perempuan itu. Seingatku, kamu tak pernah menyebutkan nama perempuan itu. Namun lalu kini, aku harus mengetahui namanya dari amplop biru ini, sebuah amplop yang mewakili tanggal pernikahan kalian nanti. Dan kamu tau apa?

Aku tak pernah datang.

Lima tahun berlalu, aku tetap menyendiri di tanah kelahiran kita. Tak pernah kudengar sedikitpun tentangmu dari kawan lama kita. Walau pernah sesekali kudengar bahwa kamu telah bahagia, aku tidak lagi memerdulikannya. Atau harus kukatakan bahwa aku sudah kebal dengan perasaan menusuk itu. Dan lalu, akhirnya aku memutuskan untuk kembali berjalan, mengejar ketinggalanku yang telah lama itu. Mencoba peruntunganku di negeri orang sepertimu, adalah resiko terbesar yang kuambil untuk kembali berjalan dan mengejar semua ketinggalanku dari kamu waktu itu. Dan New York.... adalah pilihanku untuk mengejar semua itu.
Lima tahun berlalu dari hari kelulusan, lima tahun berlalu dari waktu menyakitkan itu, lima tahun berlalu dari saat kamu mengucapkan selamat tinggalmu yang terakhir, lima tahun berlalu dari semua kesedihan itu. Awalnya, kupikir aku sudah benar-benar berdamai dengan masa lalu. Tapi nyatanya aku salah. Nyatanya, aku hanya melarikan diri dari masalah, mencoba mencoba melupakan namun dengan cara yang salah. Ya, lima tahun berlalu, aku masih tetap hidup dalam bayang-bayangmu. Tidak pernah sekalipun aku menyalahkan kamu atas semua ini, sayangku. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri karena membiarkan diriku jatuh terlalu dalam lima tahun yang lalu, membiarkan lebam biru itu membekas di hatiku. So let me remind you this; you're never the one to blame, my dear.

Dan hari ini, kita kembali dipertemukan. Kulihat kamu menyesap kopi hitam mu yang sudah dingin, persis seperti yang dulu kamu suka. Dengan dua sendok teh gula, kamu biasa menyesap kopi hitam itu saat suhunya telah hampir dingin. Hari ini, sepuluh tahun sudah berlalu, dan aku masih tetap belum dapat melupakan masa lalu. Dan seperti benang takdir yang mengaitkan kita, dua cucu Adam dan Hawa kembali dipertemukan di tengah keramaian kota. Aku lupa siapa persisnya yang tersenyum lebih dulu, namun aku ingat, tadi, akulah yang menyapamu lebih dulu. Lalu, dengan gentle kamu mengajakku menepi dan menawarkanku secangkir kopi di kedai kopi terdekat. Dan dengan kikuk, aku menjawab ya.

Jika saja tadi aku menolak tawaranmu, jalan takdir kita tidak akan seperti ini. Jika saja tadi aku menolak tawaranmu, mungkin saja aku telah sampai ke apartemen dengan wajah lelah tanpa seorangpun yang menyapaku hangat. Jika saja tadi aku menolak tawaranmu, mungkin aku tidak akan dapat menyaksikanmu menyesap kopimu yang hampir dingin itu seperti dulu. Dan jika saja tadi aku menolak tawaranmu, mungkin aku tak perlu mendengar pernyataanmu itu....

"Athena, sepuluh tahun berlalu, entah mengapa aku masih terus merasa bersalah sama kamu." Ucapmu pelan, namun lalu kamu kembali melanjutkan, "Namun walau begitu, aku telah menemukan kebahagiaanku." Kamu, dengan fitur wajah yang tak urungnya berubah, mengembangkan sebuah senyum simpul di kedua belah bibirmu. "Maaf jika selama sepuluh tajun belakangan, yang kutinggalkan hanya luka, namun yang aku inginkan cuma buat kamu bahagia, Athena."

Skakmat. Air mata itu mengalir bebas tanpa dapat aku kendalikan.

"Kamu tau apa? Sekarang, aku sudah bahagia. Dengan dia sebagai istriku juga sepasang anak kembar yang usianya kini telah masuk lima tahun, aku bahagia, Athena. Tapi, dari cerita kawan lama yang kudengar, kamu masih belum bisa berdamai... kenapa?"

Kamu mau jawabannya? Karena sepuluh tahun yang lalu, yang kubayangkan adalah sosokmu yang bertemu seseorang di jalan, lalu mereka menanyakan kabarmu, lalu kamu akan menceritakan betapa bahagianya kamu hidup bersamaku. Karena sepuluh tahun yang lalu, yang kubayangkan adalah sosokmu yang tersenyum bahagia saat menceritakan mereka perihal aku. Karena sepuluh tahun yang lalu, skenario yang tengah kita jalani tidak pernah eksis dalam jurnalku.

"Namanya Lily dan Daisy. Mereka begitu atraktif hingga aku sulit menangani mereka berdua. Seperti halnya kamu, Athena, mereka pun suka sekali dengan cerita negeri dongeng dan konsep happily ever after itu. Kadang aku berpikir, kenapa mereka harus begitu mirip denganmu? Namun lalu aku sadar, walau begitu, aku tetap menyayangi mereka seperti aku sayang kamu dulu."

Dulu. Ha, lucunya karena aku bahkan tertawa miris mendengarnya.

"Kamu adalah masa laluku, Athena. Apa kita harus membuka ini semua? Aku sudah bahagia dengan dirinya, kenapa kamu tidak bisa seperti itu?"

Karena aku belum menemukan sosok yang seperti kamu.

"Jangan cari sosok sepertiku, Athena. There are plenty of fish in the sea, kamu bahkan bisa memilih yang mana saja. Tapi jangan pilih yang seperti aku. Kamu bisa menemukan yang lebih baik, menikah, lalu hidup bahagia selamanya seperti dalam cerita dongeng kesukaanmu. Seperti aku sekarang, kamu bisa bahagia. Love again, Athena."

Haruskah aku? Bagaimana jika aku masih terlalu takut untuk mencoba mencintai lagi? Bagaimana jika pada akhirnya, mereka akan sama saja sepertimu, meninggalkanku begitu saja hingga sepuluh tahun lamanya tak berjumpa lalu memohon padaku untuk berhenti mengharapkan sosok mereka? Dear, you can never expect me to be alright again after all.

"Aku gak tau kapan kita akan bertemu lagi. But, can you promise me one thing? Please, let your heart love again. Biarkan pertemuan singkat kita sore ini menjadi bendera putih perdamaian kita."

Dengan sorot mataku yang melayang begitu jauh, aku terdiam.

"Please Athena, for this one last time, will you be happy? For me?"

Saat kamu menggenggam tanganku, sebuah rasa itu menyengat seluruh tubuhku. Dan karena terlalu asing dengan perasaan itu, aku menatapmu tepat di manik mata. Dan yang kulihat... hanyalah sebuah sorot memohon yang begitu kukenali. Dan dari sepersekiandetik yang telah berlalu, akhirnya aku berkata, "I will."

Mungkin aku tak yakin, jika aku dapat bangun keesokan pagi tanpa bayanganmu yang selalu menghantuiku seperti biasanya, tersenyum tanpa perasaan terpaksa, lalu kembali mencintai. Entahlah, aku tak tau. Namun yang kutau, aku akan berhenti memohon semua tentang kamu. Hari ini, di kedai kopi ini, pertemuan singkat kita masih terus berlangsung. Namun aku tau kemana semua ini akan membawa kita. Besok, kamu akan terbangun dengan sosok yang kamu sayang itu di sampingmu, lalu kamu akan tersenyum dan memulai segala aktifitasmu dengan sebuah energi baru, tanpa secuilpun mengingatku, kamu akan terus bahagia. Dan besok, aku pun juga akan terbangun, namun tanpa siapapun di sampingku, menjalani hariku dengan berat, terus mengingat kamu, dan terus mencoba berdamai dengan masa lalu. Pertemuan singkat ini memang bukan segalanya untukmu. Namun untukku.... pertemuan singkat ini adalah alasanku untuk terus mencoba bahagia. Untuk kamu.











*****
idektatablake ® Mei 2014.
Untuk seorang anonim, kuucapkan terima kasihku atas prompt indahnya. Walau tak sama seperti puisi indahmu, aku tetap terinspirasi. Terinspirasi untuk tetap menulis... juga untuk tetap mencoba melupakan yang ada di masa laluku. Juga untuk seorang "kakak" yang begitu setia menjadi tempat berbagiku, kuucapkan terima kasihku atas dukungan menulisnya. Kamu, juga karya-karyamu, adalah satu-satunya penyemangat saat aku tengah lelah menulis. Jadi kuharap, kita dapat sukses bersama dalam menggapai impian masing-masing. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar