Kepenatan otak kala itu hampir saja membuat kepalaku
meradang saat kasus yang terakhir kali aku tangani berakhir kegagalan dalam meja
persidangan tadi siang. Malam itu, di ruangan berukuran 4 x 4 meter persegi
itu, aku hanya bisa manatap miris setumpukkan map berisi kasus-kasus
persidangan sebulan terakhir yang harus kurekap dan kuserahkan kepada bagian
pembukuan advokat tempatku bekerja. Aku meringis saat menggapai map yang berada
di tumpukkan teratas itu dan menghela napas kesal.
Sebagai seorang pengacara, sudah menjadi cita-citaku
untuk memenangi setiap kasus dari para klienku. Orang bilang, pekerjaan sebagai
pengacara ada pekerjaan terkotor—hanya karena menjadi pengacara ialah membela
siapapun klien mereka, salah maupun benar. Namun sesederhana kata membela
itulah keinginanku untuk menjadi pengacara berasal. Aku tak pernah benar-benar
memusingkan perkataan para sanak saudara yang kerap kali berpikir terlalu
dangkal mengenai mimpi yang tengah aku jalani kini. Untukku, membela mereka
yang tidak seharusnya bersalah adalah pekerjaan luar biasa hebat di dunia.
Berbekal dengan kenangan pahit masa lalu, membela adalah satu hal yang tak
pernah membuatku ingin berhenti higga kini.
Atau setidaknya, hingga aku sadar bahwa membela
bukanlah pekerjaan mudah.
Aku berhenti sejenak, ketukkan pintu itu seketika
membuat pikiranku buyar. Pintu kaca itu terbuka, nampak sesosok lelaki berusia
hampir tiga puluhan itu masuk dengan dua gelas plastik putih berlogo hijau
bulat ditengahnya. Merasa lega melihat sosok itu, aku segera merebahkan kembali
kepalaku yang hampir pecah itu ke sandaran kursiku.
“Nay, udahlah. Gak usah lo pikirin kasus lo yang kalah
itu.”
Namanya Genta, seorang atasan sekaligus sahabat di
advokat kenamaan ibukota tempatku bekerja. Usianya sudah hampir menginjak kepala
tiga, namun hingga kini masih juga belum menemukan sosok belahan jiwa yang
selalu ia inginkan. Bertahun-tahun lalu, aku ingat pernah menjadi juniornya di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia tempat dimana kami berdua lulus. Lucunya,
setelah lulus dan melamar pekerjaan, aku kembali menemukannya di tempat ini.
“Ta, masalahnya ini ibu-ibu dia kena KDRT suaminya. Masa iya sih dia minta
cerai dan hak asuh anak aja, ujungnya hakim ngasih hak asuh itu ke suaminya
yang abusive itu? Gak make sense, Ta.”
“Nayara, hidup lo gak kelar hanya karena satu kasus
ini lo kalah di persidangan. Gue ngerti keinginan lo untuk membela orang itu
gede banget. Tapi apa gue butuh ambil berkas dan ngasih liat seberapa besar
jauhnya perbandingan lo menangin kasus dengan saat lo kalah di persidangan?”
Genta menyodorkan gelas itu. “Spearmint
Greentea kesukaan lo nih, diminum dulu sebelum kepala lo itu beneran
pecah.”
Dengan sigap, aku menarik mundur gelas yang ia
letakkan di atas mejaku, menyesapnya pelan hingga akhirnya aku mulai merasakan
sebagian kecil beban itu terangkat dari pundakku. “Thanks for being my savior for the night, Ta. Gue hargain segelas Spearmint Greentea ini.”
“Oh, gue hampir lupa.” Genta merogoh kantung celananya
dan meletakkan selembar kertas persegi panjang berukuran tak lebih dari 10 x 5
cm itu di hadapanku. Aku mengernyit, menatap dengan seksama selembar kertas
itu. “Weekend ini, lo berangkat ke
Sumbawa.”
“Ada masalah yang harus gue tangani, Ta?”
Genta menggeleng. “Itu tiket pesawat, Nay.”
“Iya, gue tau. Tapi dalam rangka apa?”
“Liburan.”
And that’s the end of our
conversation that night.
Lusa paginya, Genta sudah menggiringku dari apartemen dengan bekal beberapa
helai pakaian yang kujejal asal ke dalam koper dan mengirimku sesegera mungkin
ke bandara Soekarno-Hatta.