Tampilkan postingan dengan label love. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label love. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 April 2016

Harapan di Lakey.

Kepenatan otak kala itu hampir saja membuat kepalaku meradang saat kasus yang terakhir kali aku tangani berakhir kegagalan dalam meja persidangan tadi siang. Malam itu, di ruangan berukuran 4 x 4 meter persegi itu, aku hanya bisa manatap miris setumpukkan map berisi kasus-kasus persidangan sebulan terakhir yang harus kurekap dan kuserahkan kepada bagian pembukuan advokat tempatku bekerja. Aku meringis saat menggapai map yang berada di tumpukkan teratas itu dan menghela napas kesal.

Sebagai seorang pengacara, sudah menjadi cita-citaku untuk memenangi setiap kasus dari para klienku. Orang bilang, pekerjaan sebagai pengacara ada pekerjaan terkotor—hanya karena menjadi pengacara ialah membela siapapun klien mereka, salah maupun benar. Namun sesederhana kata membela itulah keinginanku untuk menjadi pengacara berasal. Aku tak pernah benar-benar memusingkan perkataan para sanak saudara yang kerap kali berpikir terlalu dangkal mengenai mimpi yang tengah aku jalani kini. Untukku, membela mereka yang tidak seharusnya bersalah adalah pekerjaan luar biasa hebat di dunia. Berbekal dengan kenangan pahit masa lalu, membela adalah satu hal yang tak pernah membuatku ingin berhenti higga kini.

Atau setidaknya, hingga aku sadar bahwa membela bukanlah pekerjaan mudah.

Aku berhenti sejenak, ketukkan pintu itu seketika membuat pikiranku buyar. Pintu kaca itu terbuka, nampak sesosok lelaki berusia hampir tiga puluhan itu masuk dengan dua gelas plastik putih berlogo hijau bulat ditengahnya. Merasa lega melihat sosok itu, aku segera merebahkan kembali kepalaku yang hampir pecah itu ke sandaran kursiku.

“Nay, udahlah. Gak usah lo pikirin kasus lo yang kalah itu.”

Namanya Genta, seorang atasan sekaligus sahabat di advokat kenamaan ibukota tempatku bekerja. Usianya sudah hampir menginjak kepala tiga, namun hingga kini masih juga belum menemukan sosok belahan jiwa yang selalu ia inginkan. Bertahun-tahun lalu, aku ingat pernah menjadi juniornya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tempat dimana kami berdua lulus. Lucunya, setelah lulus dan melamar pekerjaan, aku kembali menemukannya di tempat ini.

“Ta, masalahnya ini ibu-ibu dia kena KDRT suaminya. Masa iya sih dia minta cerai dan hak asuh anak aja, ujungnya hakim ngasih hak asuh itu ke suaminya yang abusive itu? Gak make sense, Ta.

“Nayara, hidup lo gak kelar hanya karena satu kasus ini lo kalah di persidangan. Gue ngerti keinginan lo untuk membela orang itu gede banget. Tapi apa gue butuh ambil berkas dan ngasih liat seberapa besar jauhnya perbandingan lo menangin kasus dengan saat lo kalah di persidangan?” Genta menyodorkan gelas itu. “Spearmint Greentea kesukaan lo nih, diminum dulu sebelum kepala lo itu beneran pecah.”

Dengan sigap, aku menarik mundur gelas yang ia letakkan di atas mejaku, menyesapnya pelan hingga akhirnya aku mulai merasakan sebagian kecil beban itu terangkat dari pundakku. “Thanks for being my savior for the night, Ta. Gue hargain segelas Spearmint Greentea ini.”

“Oh, gue hampir lupa.” Genta merogoh kantung celananya dan meletakkan selembar kertas persegi panjang berukuran tak lebih dari 10 x 5 cm itu di hadapanku. Aku mengernyit, menatap dengan seksama selembar kertas itu. “Weekend ini, lo berangkat ke Sumbawa.”

“Ada masalah yang harus gue tangani, Ta?”

Genta menggeleng. “Itu tiket pesawat, Nay.”

“Iya, gue tau. Tapi dalam rangka apa?”

“Liburan.”

And that’s the end of our conversation that night. Lusa paginya, Genta sudah menggiringku dari apartemen dengan bekal beberapa helai pakaian yang kujejal asal ke dalam koper dan mengirimku sesegera mungkin ke bandara Soekarno-Hatta.

Rabu, 26 Agustus 2015

Ada Masa Ketika...

Ada masa ketika hari-hari berseragam putih biru itu terganti dengan seragam putih abu-abu, dimana masa orientasi itu dihabiskan bersama orang-orang baru. Tak pernah sekalipun terlintas bahwa setelahnya mereka akan menjadi bagian terbesar selama tiga tahun ke depan itu.
Ada masa ketika bocah ingusan itu berubah menjadi sosok yang dipuja-puja, sifat kekanakan itu berubah mendewasa, hari-hari kenakalan itu seketika mendominasi masa remaja kita, mulai dari olokan demi olokan terhadap beberapa guru hingga cabut berjamaah.
Ada masa ketika perasaan kagum itu berubah menjadi cinta, membuat kalut hati jiwa-jiwa yang mencinta. Ketika mereka yang berhasil membuat satu pencapaian berupa ikatan sebuah hubungan, rasa itupun kian menjadi. Ketika genggaman tangan pertama berubah menjadi sebuah ciuman pertama, jiwa-jiwa itupun kian menggembira.
Ada pula masa dimana rasa yang dulu pernah ada, seketika sirna begitu saja, membuat hati itu kelu dan hampir remuk. Sebuah kebahagiaan itu seketika berubah menjadi kesedihan, dan perasaan cinta itu seketika berubah menjadi kebencian. Mereka yang dulu pernah saling mencinta, seketika berubah menjadi dua orang yang tak saling mengenal, menjalani kehidupan masing-masing tanpa menoleh ke belakang dan mengenang bahwa mereka pernah bersama.
Ada masa ketika junior berubah menjadi senior, dan senior berubah menjadi sang penguasa sekolah. Mereka yang merasa berpengaruh, kian merajalela di setiap sudut sekolah. Mereka yang beranggapan bahwa merekalah sang empunya kian membesar kepalanya. Mereka yang cekcok, akan saling membicarakan di belakang. Si culun berubah menjadi si keren, dan si bodoh berubah menjadi si eksis. Julukan demi julukan mereka lontarkan untuk sesama, dan kenangan itu kian bertambah.
Lalu, ada masa ketika hari-hari kesenangan harus disudahi dengan berbagai rangkaian tes. Mereka yang awalnya berpengaruh, kini kembali berbaur dengan sesamanya, mencoba fokus dengan apa yang telah ada di depan mata mereka. Masa kedewasaan tengah menanti mereka semua di depan sana, dan tanpa disadari, setelah berbulan-bulan penuh perjuangan, seragam abu-abu itu tak lagi berguna untuk mereka kenakan.

Rabu, 22 Oktober 2014

Pesan Untuk Si Kecil.

But you are just a little girl, darling.

Semakin kamu besar, kamu akan menemukan semakin banyak hal, sayang. Di luar sana, dunia ini kejam. Bahkan, kamupun harus pandai mencari teman. Di dunia sekejam ini, kamu harus pandai-pandai menempatkan diri dan memasang topeng. Mungkin saja diam-diam, orang yang sangat begitu dekat denganmu pun membicarakan kamu di belakang. Atau lebih parahnya, menusukmu secara diam-diam dan perlahan sampai rasa sakitnya tak tertahankan. Di dunia sekejam ini, kamu tidak boleh menjadi sosok yang naif. Perlu kamu tau, sosok-sosok naif yang bertebaran di dunia ini adalah mereka yang ditindas, hanya karena mereka terlalu baik menilai orang. Dan kamu, kamu pun harus bisa begitu, pasang topengmu dan jangan biarkan siapapun melihat kesedihan yang kamu rasakan. Semua orang tau, kamu itu terlalu polos, Sayang. Jadi, cepat besar ya! ☺ Agar kamu bisa belajar tentang dunia yang kejam ini.

Aku tau, dia baru saja menusukmu, kan? Mereka berdua, yang notabenenya adalah dua orang yang sama-sama kamu kenal dan kamu sayangi, bersatu dengan alasan yang sama seperti alasan mengapa kamu dekat dengan mereka. Sayang. Bukankah mereka sama naifnya dengan kamu? Mereka adalah dua sosok yang tidak mau mengerti kamu hanya karena mereka egois dan menginginkan pengertian darimu. Tapi apa salah menangis karena itu? Sebenarnya, berbagai jenis emosi yang seseorang keluarkan adalah wajar. Dan menangis adalah salah satu emosi yang ada. Jadi bukan salah kamu jika kamu menangis karena sosok kedua orang itu.

Tapi sini, aku bisikkan sesuatu...