Senin, 04 November 2019

Sajak Rindu untuk Jogjakarta.

Remang-remang kota Jogjakarta semakin terasa indah kala pertokoan angkringan mulai membuka lapak-lapak tendanya. Mereka yang sibuk memasang pasaknya, mereka yang lupa akan waktunya, mereka yang terlalu bahagia untuk meninggalkan kota Jogjakarta—Malioboro berhasil mencampur adukkan semua rasa yang semua orang miliki menjadi satu.
Seperti dua sosok yang tengah berjalan dengan jemari mereka yang saling menautkan diri, mereka pun tak kalah serupa dengan mereka yang menenggelamkan diri dalam eloknya remang-remang kota Jogjakarta kala malam. Syahdu rasanya, mendengar sepasang yang tengah jatuh cinta, saling bercakap dengan cara yang tak biasa. Mungkin mereka pun sama dengan pasangan yang lainnya, yang pada akhirnya memiliki keharusan untuk meninggalkan satu sama lainnya. Pun cinta yang dipersatukan oleh suatu kota, kini harus merenggangkan jaraknya.
Masih terngiang kala lelaki itu mendekap manekin kecilnya, begitu ia menyebut perempuan kebanggaanya itu. Tak urung ia mendekap dan terus mendekap hingga Sang Manekin sesak kehabisan nafas, Sang Lelaki tergelak. “Eh, jangan nakal-nakal ya di kota orang.” Sang Lelaki mulai angkat bicara. “Badan kecil kaya manekin di toko baju anak-anak gini, gak akan mungkin ada yang percaya kalo kamu bilang kamu ini mahasiswa.”
Sang Manekin mendengus. “Kecil-kecil gini juga bisa bikin orang jatuh cinta.”
“Pake apaan?” Nada itu menantang.
“Pake kata-kata puitis yang bisa bikin hati orang meleleh. Trus mereka bakal mempertanyakan deh, ini beneran anak kecil atau jenius sajak yang lagi pura-pura jadi anak kecil ya?” Sejurus kemudian lelaki itu kembali mendekap manekin kecilnya hingga kehabisan nafas.
Dan ia kembali tergelak. “Mana ada yang kaya gitu di sana.” Lalu ia terdiam, membiarkan sayup-sayup para penjual asongan di sepanjang jalan Malioboro yang tengah mereka lalui itu memanggil-manggil mereka untuk sekedar membeli barangnya. “Tapi, cil, aku serius nih. Di sana jangan lupa bahagia ya?” Lelaki itu kemudian menoleh ke arah manekin kecil kesayangannya, seraya tersenyum dan kembali menautkan tangan yang sempat terpisahkan.
Dan mereka pun kembali terdiam, tenggelam dalam arus rindu yang mungkin saja sedetik dua detik kemudian akan membuat isi kepala mereka kalang kabut ketakutan. Walau kedua jasad itu masih menautkan jemarinya, namun kedua pikiran itu melayang entah kemana. Mungkin salah satu mereka tenggelam dalam pemikiran tentang kesendiriannya di kota tempat mereka pertama kali mengadu cinta. Mungkin yang lainnya tenggelam dalam pemikiran akan tempat baru nan jauh di sana dimana ia harus merelakan jauh cinta lamanya. Namun tak pernah ada yang tahu pasti, apa yang kedua manusia itu pikirkan.
Dan kala langit malam semakin pekat, kala manusia semakin menumpuk, kala ketakutan semakin menjadi—rindu mereka menari di bawah langit Malioboro malam hari.
×××××
Dan kerlip kota yang setengah pulas
Mengingatkanku padamu,
Engkau yang tersenyum, membeku dalam lalu.” — 12.08.16
Perempuan itu terduduk dan termangu di ujung balkon lantai tiga tempat indekosnya. Kerlip malam kota Denpasar memang cantik, terlebih jika ditemani secangkir teh hangat dan jurnal berisi berlembar-lembar sajak rancu hasil hari-harinya merindu. Namun entah mengapa, semakin lama ia berpikir semakin kosong pula otaknya itu. Setelah beberapa bulan lamanya berpisah dari sosok kekasihnya, ia lupa bagaimana caranya menulis dengan baik dan benar. Tangannya selalu kelu ketika jemari itu menyentuh secarik kertas dan sebatang pensil tumpul.
Kosong. Nol.  Nihil.
Perempuan itu hampir saja frustasi ketika sajak terakhirnya itu ia baca berulang-ulang dalam hati tanpa ia dapat menciptakan yang baru. Bali gak kalah indahnya kok dari Jogja, ia ingat seorang sahabat lama mengingatkannya perihal itu. Namun walau ia sudah memberitahu dirinya sendiri bahwa hal itu memang nyata adanya, yang ia miliki dahulu di kota tua bersejarah itu, tak pernah dapat tergantikan dengan kota yang (katanya) memendam berjuta hal tak terduga.
Menurutnya Jogja indah begitu adanya. Setiap jengkal, setiap sudut, bahkan setiap sisi Kota Jogjakarta memiliki keelokan yang kerap kali sulit dideskripsikan dengan sekedarnya kata-kata. Atau mungkin semua itu karena setiap jengkalnya memiliki cerita. Entahlah. Namun ia lupa rasanya. Ia lupa rasanya menikmati senja yang hangat berburu berbagai macam bacaan filsafat favoritnya di Shopping dekat Taman Pintar. Ia lupa rasanya terduduk seru di samping lelaki itu seraya menikmati pertunjukan wayang di pojok-pojok gang kecil Malioboro pada tanggal-tanggal tertentu. Ia lupa rasanya tenggelam dalam buku sajak yang mereka lahap bersama di perpustakaan kota. Pun, ia lupa rasanya menikmati sesorean suntuk bergulat dalam catur yang tiada habisnya.
“Cil, jangan bengong eh.” Sebuah suara seketika memecahkan segalanya. Ia kini terduduk tegap seraya menoleh ke arah suara, mendapati sesosok teman indekos yang menghampirinya. “Ntar kesambet woy.”
Perempuan kecil itu terkekeh ringan. “Iyanih, lagi seret soalnya.”
“Seret ide nulis ya?” Temannya dengan telak berhasil membaca isi otaknya yang kosong. Temannya kini mengambil tempat di sampingnya, menyesap secangkir teh hangat di atas balkon yang meniupkan udara malam yang menusuk. “Seret ide nulis atau lupa caranya menulis?”
Kini ia tertegun. Ia sendiri mengerti persis maksud dari kata-kata temannya. Dan jujur, ia tak tau yang mana. Yang kemudian hanya ia jawab dengan sebuah gedikkan pelan di bahu.
“Inget-inget nih ya, Cil. Nulis itu jangan dipaksain. Selama ini inspirasimu itu dia, jadi kalo dia gak ada wajar kamu jadi lupa caranya nulis. Tapi itu normal kok. Dan kalo udah begini, kamu cuma bisa inget-inget semua rasanya biar gak hilang semua kemampuan menulismu. He’s gonna be back soon, you’re going to reunite, I promise.
Lagi-lagi, ia tertegun. Ia tak tau harus berkata apa. Namun temannya benar. Mungkin ia hanya sedang lupa bagaimana caranya menulis karena tengah jauh dari muse yang ia miliki selama ini. “Do you have one, Vee? I mean, muse?” Lalu hanya kata-kata penasaran itu yang keluar dari mulutnya.
I did. He’s just long gone and you’re lucky that you still have your whole world in your hand. Jadi kalo nanti kalian udah ketemu lagi, jangan lupa bikin satu lagi sajak bagus ya.” Temannya itu mengacungkan jempolnya seraya tersenyum menyemagati. “Jarak kalian itu cuma dipisahin satu selat, bukan dunia dan akhirat.” Mirisnya, ia mengerti ucapan temannya itu yang kini bangkit dari tempatnya terduduk. “Udah yap, lanjutin lagi aja bengong cari inspirasinya.”
Dan kemudian, ia kembali termangu sendiri.
Rindu ya...
Perempuan itu segera mengeluarkan telepon genggamnya dan mengetik sebaris kata-kata dalam chatbox untuk lelakinya itu.
Ian, aku lupa rasanya punya muse aku sendiri duduk di sampingku waktu aku nulis sajak.
Terkirim.
Ian: Ya, jangan terlalu diharapinlah yang kaya gitu. Coba kamu inget-inget aja gimana rasanya jatuh cinta, semoga bisa jadi pencerahan yaa. Hehe
Dan lalu perempuan itu kembali termangu, mencerna kata-kata kekasihnya yang berada di negeri antah berantah nun jauh di sana. Ia yang gelak tawanya selalu berhasil membuatnya jatuh cinta. Ia yang sifatnya terlalu klasik untuk disandingkan dengan berbagai aw kekinian. Ia yang misinya menggali lebih dalam kota tua ini. Ia yang walau jauh senantiasa menuliskan pesan sepanjang novel. Ia yang membuatnya terus mengingat setiap jengkal Kota Jogjakarta.
Ia yang ia sebut Ian. Ia yang mungkin, saat ini sedang sibuk mengerjakan setumpuk materi fisika dasar. Ia, yang mungkin juga sedang menunggu-nunggu satu lagi sajak perempuan itu. Entahlah, kata-kata ini mulai kembali rancu. Maafkan narasi yang tak kunjung rampung ini ya, karena saat perempuan itu menarik selembar kertas cokelat dari jurnal sajaknya, ia mulai menuliskan sekata demi sekata yang mungkin patut untuk dibaca.
You ask me why I love him?


Have you ever seen a Kuta sunset?
Besides him, that was the purest and most sacred thing I’ve ever seen


Have you ever drifted on a bayou all down to Toba Lake?
The surroundings was breathtaking, just like his existence


Or watched a cold fog come drifting in Semeru?
It and so does he worth the patience


Have you heard the lullaby of paradise birds calling in the depth of Borneo forests?
Or the chirp of the crickets deep in endless green swirl of Ubud paddi?
The music is addictive and so is his raspy voice


Or do you look with awe and wonder, the shore of Karimun Jawa?
Every particle of both him and the nature intoxicates my soul
And do you think of him when you stroll along a jet above the fluorescent Paris Van Java?


Have you seen a snowflake drifting in Jayawijaya, way up high?
Or seen the sun come blazing down complimenting the blueness of Raja Ampat?
Or felt the soothing contact of Bogor rain on your moist skin?


Being with him, I’ve never felt so alive


You ask me why I love him?
I’ve got a  million reasons why;


He is my beautiful paradise
And I’m not going to deny that he imprisoned me;
Body, heart, and soul.

Ia tersenyum melihat hasil tulisannya. Mungkin, mungkin saja, yang kali ini benar-benar patut untuk dibaca. Begitu pikirnya kala ia kembali ke kamar indekosnya dan menutup buku kenangan tentang sebuah kota indah bersejarah yang dahulu pernah mengisi hari-harinya. Namun satu hal yang ia tau pasti, kekasihnya akan selalu setia menunggu untuknya kembali.

















×××××
Idektatablake production ® September 2016.
Yang kali ini saya tak tau apa namanya. Namun saya sedang menderita amnesia caranya menulis. Maafkan penulis rancu ini karena lama tak jumpa di blog berisi ribuan kata tak bermakna miliknya. Jika boleh sedikit berkata-kata, cerita malam ini diilhami oleh seorang sahabat dan kekasihnya yang cintanya dipisahkan jarak. Dan jika boleh juga bercerita sedikit, kedua sajak yang saya italic adalah dua sajak yang saya curi dari sahabat saya itu. Maaf ya sajaknya saya curi tanpa izin, namun saya harap kamu suka dengan kata-kata nan patah si penulis yang sedang amnesia ini.

1 komentar:

  1. iklaskan saja
    salam kenal http://motivator-indonesia-heru-chaerul.blogspot.co.id/

    BalasHapus